Cerpen, cerbung, novel, novel roman, novel rumah tangga, tips kepenulisan, novel religi, novel inspirasi, drama rumah tangga, novel romantis
Menu

KLIK FOTO UNTUK MELIHAT DESKRPSI

 

 

   







El Nurien

 

Detak Cinta Shafura

 Part 41: Dendam Terpendam





“Ana harus bagaimana, Syifa? Dia menuduh ana mengkhianatinya, bahkan mungkin semua santri menuduh ana mengkhianati Aisyah."



“Ana tidak, Silmi. Ana tahu semuanya, dan ana percaya sama anti. Dan Nadhirah pun insya Allah, tidak.” 

Syifa beralih pandangannya ke arah Nadhirah. Dan menceritakan semua yang terjadi. Tentang persahabatanku dengan Kak Zaid, tentang permintaanku, kepada Zaid agar menerima lamaran Kyai Ibrahim, dan menceritakan pertemuan yang tidak direncanakan kemarin.

“Sabar, ya, Ustadzah. Semoga Allah, akan memudahkan jalannya.”

“Terima kasih Nadhirah. Untuk sementara, jika ada yang bertanya kepadamu tentang kejadian ini, cukup katakan pada mereka, ini hanya kesalahpahaman. Ana tak pernah mengkhianati Aisyah. Apa pun demi kebahagiaan Aisyah, akan ana lakukan, jadi tidak mungkin ana mengkhianati Aisyah.”

“Iya, Ustadzah. Insya Allah,” balas Nadhirah.

“Terima kasih, ya,” 

Nadhirah hanya mengangguk.

“Sabarlah, kita serahkan semuanya pada Allah. Nanti kita temui Aisyah, kita bicarakan secara baik-baik.”

“Anti mau menemani ana?” tanyaku penuh harap.

“Ana akan menemani anti, kalau perlu ana juga ikut menjelaskan semua yang ana ketahui.”

“Terima kasih Syifa. Hanya Allah yang mampu membalas kebaikan dan pengertianmu selama ini. Jazakillah khairan katsiran.”

“Wa iyyaki,” balas Syifa dengan senyum mengambang. Memberi secercah cahaya di pikiranku yang sedang berkabut.

“Assalamu ‘alaikum.” Cahya di depan pintu. 

“Wa ‘alaikum salam,” sahut kami serentak. Aku hanya bisa menjawab dengan suara lirih. Melihatnya sontak tanganku mengusap wajah. 

“Ustadzah, apa yang terjadi?” Cahya mendekatiku dengan wajah cemas. 

“Maksud anti?” Pertanyaan yang tidak  faedah. 

Memang Cahya terbiasa memojok, tetapi jika ia ke sini, berarti ia telah mendengar kabar itu. Hanya saja aku tidak tahu apa yang ia dengar. 

“Ana dengar… .” 

Aku tersenyum. “Ana tidak tahu apa yang dengar. Kalau anti dengar keributan yang barusan terjadi, iya. Tapi percayalah, ini hanya kesalahpahaman. Jangan khawatir, jika marah Ustadzah Aisyah sudah reda, ana akan menjelaskannya,” ucapku ragu-ragu. 

Aku tak yakin kemarahan Aisyah reda secepat itu. Terlebih lagi ini menyangkut masalah pernikahannya. Aisyah pasti sangat kecewa padaku, yang berstatus sahabatnya. Hanya saja, aku tidak ingin konsentrasi Cahya terganggu. 

Cahya masih menatapku cemas. “Bagaimana kalau ana jelaskan kepada Ustadzah Aisyah?”

“Maksud anti?”

“Ana percaya dengan Ustadzah. Ustadzah tidak mungkin mengkhianati Ustadzah Aisyah. Seharusnya Ustadzah Aisyah tahu ini bentuk pengorbanan Ustadzah kepadanya.”

Aku menatap Cahya lekat. Bagaimana ia begitu mempercayaiku? Apa ia tahu hubunganku dengan Zaid?

“Ana tahu siapa Ustadzah. Dan tunangan Ustadzah Aisyah itu laki-laki yang memberi Ustadzah buku tafsir itu kan? Namanya yang Ustadzah hapus di sampul tafsir itu.” 

Cahya memegang tanganku. “Ustadzah memang tidak pernah cerita itu, tapi Ustadzah adalah panutan ana. Setiap gerak-gerik Ustadzah selalu jadi perhatian ana. Bahkan tatapan Ustadzah saat ini pun ana tahu.”

Keningku mengerut. 

“Saat ini Ustadzah memikirkan tes ana kan?”

Aku tercengang.

“Ana akan jelaskan semua ini kepada Ustadzah Aisyah,” ucapnya seraya bergerak hendak berdiri. Tetapi, aku segera menarik tangannya. 

“Cahya, terima kasih atas  perhatiannya. Ana bangga pada anti. Tapi, masalah ana dengan Ustadzah Aisyah, ana akan tangani sendiri. Anti fokuslah pada persiapan tes anti. Ya."

“Tapi ... .”

“Cahya,” potongku. 

Cahya menunduk. “Baiklah,” ucapnya pasrah. “Kalau begitu ana pamit dulu.”

Aku mengangguk. “Konsentrasilah! Masalah ana, serahkan semuanya pada Allah.”

Cahya mengangguk. 


        ***

Sudah tiga kali, aku berusaha menemui Aisyah. Dia tak juga berkenan menemuiku. Mungkin ia terlalu marah. Sementara desas-desus berita tak nyaman mulai berkeliaran di daerah pondok. 

Banyak santri yang memandangku penuh kebencian, ada yang bersikap dingin, bahkan ada bersikap lancang, mencibir, bahkan tak segan-segan mencercaku. Sekarang aku lebih sering berdiam di kantor, karena jarak ruangan tes lebih dekat. Setidaknya, mengurangi tangkapan indra penglihatan, dari mata-mata kebencian. 

Hanya kepada Allah kusandarkan hati.

“Silmi, Silmi.” kata Syifa dengan terengah-engah.

“Ada apa, Syifa? Kenapa panik begitu?” tanyaku tak kalah panik.

Akhir-akhir jiwaku cenderung sensitif. Setiap orang yang berbicara di dekatku, seakan-akan akan menghinaku. 

Jika mereka memandang, bagiku seakan mau menerkamku. 

Jika ada teriakan, seakan sebuah ketuk palu hakim yang akan menyiapkan hukuman mati buatku. Dunia menjadi mengerikan. 

“Ada kabar. Pernikahan Aisyah dibatalkan.” 

“Apa? Ini tidak mungkin! Pernikahannya tinggal berapa hari lagi? Ya, Allah ini tidak boleh terjadi.” Aku tak yakin tinggal berapa hari lagi pernikahan Aisyah. Semuanya jadi jadi kacau, bahkan hari ini hari apa aku pun tidak tahu. 

“Bagaimana kita temui lagi Ustadzah Aisyah. Apa dia mau menerimaku?” tanyaku ragu.

“Entahlah. Tapi, tidak salah jika kita mencoba.”

Aku mengangguk, “temani aku, Syifa.”

        

***


“Apa Aisyah mengizinkan kami, untuk menemuinya?” tanyaku kepada Dewi dan Eka dengan tidar sabar---santriwati yang sedang piket. 

Eka menggelengkan kepalanya.

“Kenapa?” Pertanyaan yang bodoh.

“Katanya masih sibuk,” jawab Dewi dengan nada sinis. 

Dewi tetangganya Zaid, itu artinya aku dengan Dewi juga sekampung. Tapi sepertinya itu tak berlaku lagi. Mungkin di matanya aku sudah benar-benar jahat. 

Jangankan sekampung, kesalahan bahkan tidak memandang hubungan. 

“Begitu, ya? Terima kasih, ya, kami ke sebelah dulu,” kataku lemah sambil menarik pergelangan Syifa. Putus asa sudah menjalar ke seluruh urat nadiku. 

“Wi, ada kabar, katanya pernikahan Ukhti Aisyah dibatalkan, apa benar?” tanyaku hati-hati. Aku bertanya lagi padanya sambil berharap ia memandangku sebagai teman sekampung. 

“Tidak. Tidak benar. Kenapa anti bertanya begitu?” tanya Dewi, penuh selidik. Matanya menusuk ke arahku. 

“Tidak apa-apa, Ukhti. Syukurlah jika begitu, kami pergi dulu. Assalamu ‘alaikum.”

“Tunggu dulu. Jangan katakan, anti berharap pernikahan ini batal?!”

Tuduhannya benar-benar menyengatku. Mataku mulai berkaca-kaca. “Kenapa anti berkata begitu?”

“Iya, bisa saja. Bukankah anti juga mengharapkan Abdurrahman?! Oh bukan Zaid ya? Zaid juga memanggilmu Shafura kan?!” Dewi memandang pergelanganku. “Mana arlojinya. Jangan-jangan dia sudah gantikan yang baru?!”

Aku terperangah. 

“Heh? Asal kalian tau, dia seorang hafizhah munafik. Mondok, berhijab, padahal diam-diam hatinya berkhalwat. Busuk.”

Aku tidak berniat untuk membantah ucapan, bahkan membiarkannya melepaskan semua kalimat yang terpendam di benaknya. Barangkali itu akan membuatnya puas. 

Dari dulu, aku sudah mengira yang menyebarkan desas desus fitnah padaku itu  Dewi. Aku berusaha diam, karena aku mengerti kebenciannya padaku. 

Dari dulu ia sangat ingin berteman dengan Farah, karena dengan begitu ia juga akan dekat dengan Zaid. Tapi, aku tak mengerti mengapa Farah sangat tidak menyukainya. 

Dia ke pondok ini pun demi mendekati Zaid. Ia ingin Zaid memandangnya. Hanya saja di mata Zaid hanya ada dua gadis. Aku dan Farah. 

Usahanya sudah sejauh ini, maka wajarlah jika ia sangat membenciku. 

“Dewi!” sergah Syifa. “Istighfar, Wi. Tak baik menuduh saudara sendiri, itu keterlaluan.”

“Keterlaluan? Akhirnya terbongkar juga kan kebusukan dia selama ini. Selama ini Aisyah menyangkal tentang kelakuannya. Tapi temanmu ini yang keterlaluan, menikam teman sendiri dari belakang, berkali-kali pula.  Itu yang namanya keterlaluan!”

Syifa melotot, tubuhnya seketika menegang, gerahamnya merapat. Aku menarik tubuhnya ketika mulutnya terbuka untuk membalas Dewi.

“Sudahlah, Syifa! Dewi tak tahu duduk perkaranya. Cukuplah Allah sebagai penolongku. Yuk kita pergi, jangan buat kekacauan di sini.” seruku seraya menarik lengan Syifa. 

“Heh, masih saja bersikap alim.”

Aku menarik lengan Syifa meninggalkan tempat itu. Umpatan Dewi dan tatapan kebencian mengiri langkah kami hingga keluar dari gerbang pondok lama. 

    ***


  Detak Cinta Shafura  Part 41: Dendam Terpendam “Ana harus bagaimana, Syifa? Dia menuduh ana mengkhianatinya, bahkan mungkin semua santri m...
El Nurien
El Nurien


Detak Cinta Shafura

 Part 40: Diterpa Badai 


Gamis Remaja Kekinian 



 Alhamdulillah beberapa hari program tes berjalan lancar. Tes Fadia dan Habibah juga lancar, in sya Allah mereka akan lulus. Nadhirah melakukan beberapa kali kesalahan. 


Beruntungnya kesalahannya tidak melampaui batas maksimal yang ditentukan. Aku berharap ia juga lulus, kecuali memang ada yang luput dari perhitunganku. Tinggal menunggu giliran Cahya. Semoga Allah memudahkannya. 

Tim persiapan khataman sudah mulai sibuk. Keluarga Aisyah juga mulai sibuk mempersiapkan pernikahan. Meski demikian, kami tim penyimak hafalan santri tetap fokus pekerjaan kami. Yang kena shift berusaha melakukan pekerjaannya sebaik mungkin. sedang yang tidak giliran berusaha memaksimalkan istirahat sebaik mungkin. Seperti yang kulakukan saat ini. Aku hanya duduk santai sambil membaca buku, meski di sekitarku sibuk berlalu lalang.

 Aku tak peduli. 

 Rencananya, rangkaian acara khataman di mulai jam sembilan pagi dan akad nikah setelah shalat Zuhur. Resepsi berakhir sampai malam. Semoga semuanya berjalan lancar.

Semua orang, sepertinya tak sabar menunggu detik-detik penantian. Aisyah deg-degan dengan pernikahannya, santri tak sabar menunggu detik-detik yang sangat penting bagi mereka, yaitu khataman. 

Khataman memang hanya diikuti oleh beberapa santri, namun semua santri merasakan senangnya. Bagi yang khataman, saat itu sangat penting. Sekian tahun mereka berkutat dengan ayat-ayat Al-Qur’an, akhirnya mereka dinyatakan lulus, dan dapat memberikan persembahan pada orang tua. 

Acara sambutan, nasehat, dan khataman bilghaib, lantunan nasyid, adalah rangkaian –rangkaian acara yang menggetarkan jiwa.

 Nasehat yang menyentuh kalbu, bagai air hujan turun di tanah gersang. 

Khataman bilghaib dilantunkan dengan merdu, menerbitkan rasa keterharuan, sekaligus juga rindu, kapan diri-diri mereka bisa juga melantunkan surah-surah khataman?

Nasyid-nasyid memotivasi sering melahirkan semangat-semangat baru, kepada santri yang belum khatam. Melahirkan sebuah janji. 

Sedang aku, yang kutunggu bukanlah detik-detik khataman, atau Aisyah menunggu sebuah janji sang pangeran. Tapi aku menunggu, hari kebahagiaan Zaid. 

Dari hati yang paling dalam, aku bahagia Zaid mendapatkan jodoh seperti Aisyah. Bersamaan itu pula ada rasa ketakutan, seakan-akan aku akan berhadapan dengan sebuah badai besar yang akan menelanku. 

Aku akan berhadapan di antara dua kejadian penting, kebahagiaan keluarga karena pertunanganku dengan Fahri satunya lagi aku akan kehilangan Zaid. 

“Silmi, temani ana ke kantor, ya. Ana mau ngirim email ke teman-teman ana, mau ngasih undangan.”

Aisyah dengan kebahagiaannya yang luar biasa, membuatnya semakin memesona. Badan kini tak lagi terlihat subur. Puasa Nabi Daud yang dijalani menambah pesona dirinya. 

“Ana lagi … .”

“Ayolah, Silmi. Sebentar saja.”

Akhirnya aku menuruti kemauannya

“Muka anti, Silmi, lucu sekali,” Aisyah terkekeh melihat muka manyunku. 

“Setidaknya aku dapat pahala karena berhasil membuatmu tertawa,” sahutku asal. Bahu Aisyah semakin bergoncang. 

Sementara Aisyah sibuk di depan komputer, aku menyibukkan diri dengan membaca buku yang diberikan Zaid.

Aku tersenyum geli melihat Aisyah senyum-senyum sendiri di depan komputer. Selalu ada desir haru bila melihatnya tersenyum. Kuharap Zaid memahami keputusanku, mengapa aku memilih Aisyah.

“Assalamu ‘alaikum.” Kepala Fitri muncul dipintu. "Afwan, mengganggu. Silmi, kami ada perlu sebentar sama anti sebentar, bisa?”

Aisyah pun mengizinkan, setelah aku meminta izin lewat isyarat. 

“Terima kasih, Ustadzah,” seru Fitri. 

“Ada sih, Fit? Kok kaya penting banget sampai ke aku yang bukan tim kalian?” tanyaku ketika kami sudah di luar ruangan kantor. Fitri hanya cengengesan. 

“Engga begitu penting, cuma ga salahnya nanya ke anti. Kita kekurangan dua orang, untuk senandung nasyid.”

“Anti, nih, ada-ada aja. Masalah nasyid kan anti jagonya, jadi anti kan lebih bisa memilih personilnya, soal begituan ana agak blank.”

“Iya, ana paham. Ada beberapa santri yang menurut ana bagus, tapi mereka ga mau. Katanya mereka tak siap tampil di depan orang banyak. Kalau belajar sih mereka mau aja.”

“Santri yang lain?”

“Yah, anti Silmi. Anti kan tahu untuk menampilkan nasyid, paling tidak kita memilih beberapa kriteria. Suara bagus, bisa bersenandung, dan kalau bisa sih wajahnya juga nyenengin. Nah kalau itu kan susah dicari. Ayolah, Silmi siapa tahu, anti ada bayangan, kira-kira siapa yang cocok menurut anti?”

“Aku mengingat-ngingat anak didikku, siapa yang dikira bisa dan cocok untuk hal ini, “Helena, Rahma. Hmm, ana rekomendasikan Helena aja deh, satunya cari sendiri.”

“Yah, anti,” protes Fitri, “tapi, ga papa. Helena, bagus juga, terima kasih ya.”

“Ya, sudah. Kalau begitu, ana ke kantor dulu, ya!”

“Eh, eh, tunggu, Silmi! Sebaiknya anti yang meminta kepada Helena, kalau ana khawatirnya dia ga mau. Kalau anti, ana yakin Helena akan siap.”

Tampang Fitri memelas membuatku ingin tertawa, tapi keburu aku tahan, takut dia tersinggung.

“Iya, deh. Ayo.”

Awalnya Helena tidak bersedia. Siapa pun paham tampil bersenandung di depan orang banyak, bukanlah hal yang gampang. Namun, dengan terus kubujuk, akhirnya dia bersedia juga memenuhi permintaan kami. 

Setelah selesai urusan dengan Helena, aku tak perduli, bagaimana Fitri mencari seorang lagi. 

Lalu aku pun segera kembali menemui Aisyah di kantor. Betapa aku terkejut ketika masuk ke ruang kantor, kudapati Aisyah berdiri tegang, wajahnya memerah.  Pandanganku tertuju pada buku yang dia pegang. 

Kecerobohan sendiri membuat nyaliku ciut sampai titik nadir. 

“Katakan, apa ini, Silmi?”

Aisyah menunjukan sapu tangan yang bertuliskan Silmi dan Zaid. Sapu tangan itu memang aku gunakan sebagai pembatas bacaanku.

 Aku sadar Zaid bukan jodohku, tapi aku tak bisa begitu saja melepaskan keterikatan perasaanku begitu saja. Seperti akhir-akhr ini, kesibukan benar-benar membuatku sangat kelelahan. 

Karena itu, aku pegang saja sapu tangan Zaid, berharap muncul sedikit kekuatan. Nahas, Aisyah menemukannya. 

Tiba-tiba emosiku pun mencuat. Aisyah lancang, telah memakai barangku tanpa seizinku.

“Kenapa anti memakai barang ana tanpa seizin ana? Bukankah anti tahu, itu tidak dibolehkan dalam agama?” kataku dengan sedikit ketus. 

Sesaat Aisyah terdiam. Dari wajahnya tersirat ada rasa bersalah, tetapi itu hanya sesaat. Amarahnya kembali muncul.

“Naam, ana salah. Ana akui itu. Sekarang katakan apa ini?”

Mulutku tiba-tiba terkunci. Aku ingin menjelaskan kami hanya sebagai sahabat, tapi sulaman dua nama dan dua ekor burung terbang? Apa yang harus aku jelaskan?

“Katakan, Silmi! Anti dan Zaid, saling mencintai kan? Bisakah anti jelaskan semua ini?” Mata Aisyah berkaca-kaca, terlihat sekali dia menahan emosinya. 

“Tidak, Ukhti. Aku dan Kak Zaid tidak ada hubungan apa-apa. Kami hanya sahabat,” Sikapku benar-benar tidak mendukung, suaraku terdengar gugup sekali. Aku ketakutan. 

“Kakak? Anti memanggilnya Kakak. Dan, anti bilang hanya teman. Sapu tangan ini membantahnya.”

“Tolong dengarkan penjelasan ana, Ukhti!” 

Aisyah memberikan sapu tangan dan juga buku bersamaan.

“Jangan-jangan buku ini juga darinya? Kalian saling mencintai dari dulu. Lalu pertemuan kalian kemarin apa maksudnya? Kalian masih mencintai. Bisa ana lihat dari bahasa cara bicara kalian. Jelas sekali!” 

Aisyah hampir saja berteriak. Berisik-berisik santri sudah mulai terdengar di luar. 

“Ana … ." 

Kemana suaraku? Semuanya seakan-akan terkunci. Otakku mendadak lumpuh. Begitulah jika dia marah-marah padaku. Aku selalu ketakutan. Terlebih lagi saat ini aku memang bersalah. 

“Apa kalian berencana poligami?” tuduh Aisyah.

“Apa?” Aku tak hampir tak percaya dengan tuduhannya, namun tatapan matanya meyakinkan itu. “Tidak. Kami tak pernah berencana seperti itu. Dan pertemuan kami kemarin tidak disengaja, sungguh.”

“Lalu, kenapa memberimu buku? Memesankan makanan untukmu? Dan anti menyimpan semua pemberiannya kan? Kenapa? Anti masih berharap padanya!” teriak Aisyah, diikuti dengan kemunculan Syifa, Fitri, Hilma dan entah siapa lagi.

“Ana… .”

“Anti mengkhianati ana. Ana benci anti, Silmi.” Aisyah keluar menerobos kumpulan yang sejak tadi menyaksikan pemandangan seru. 

“Syifa, Syifa, kumohon jelaskan sama Aisyah, Syifa, Syifa, aku tidak berkhianat, aku … .” kepanikan hanyalah membuat kata-kataku semakin tidak jelas. Syifa memandang ke arah luar, Aisyah telah hilang. 

Syifa merangkul pundakku, “Sabar, ya. Saat ini Aisyah sedang dibakar amarah, nanti kita bicarakan kalau semuanya agak reda.”

Aku hanya mengangguk, tubuhku terasa lemah, tungkai-tungkai kakiku terasa lepas semua. Air mata semakin menguras tenagaku. Syifa dan Nadhirah menuntunku. 

“Sudah, semuanya bubar!” perintah Syifa. 

Santri-santri bubar sambil berbisik-bisik. Sementara teman-teman sekamar masih bengong. Mungkin tak percaya apa yang mereka lihat. Aku dan Aisyah yang sangat akrab seperti saudara, kini bertengkar karena laki-laki. 

Detak Cinta Shafura  Part 40: Diterpa Badai  Gamis Remaja Kekinian   Alhamdulillah beberapa hari program tes berjalan lancar. Tes Fadia dan ...
El Nurien
El Nurien

Detak Cinta Shafura

 Part 39: Berteman Malam



  “Silmi dan Zaid berteman?” tanya Aisyah penuh selidik. Dadaku berdebar-debar. Kusuap Soto Banjarku sambil menoleh Zaid. Aku tak mengerti kenapa dia terlihat begitu santai.


“Bukan teman lagi, bahkan lebih dari sahabat. Bahkan dulu aku mengira mereka itu berjodoh. Ternyata aku salah, Zaid berjodoh denganmu, dan Silmi untukku,” sahut Fahri sambil tertawa kecil dan sedikit terkesan sinis. 

Kening Aisyah mengerut tajam. Aku semakin tidak nyaman. 

“Silmi, anti bilang dulu, tidak begitu mengenal Zaid.” lirih Aisyah seakan-akan berbicara pada dirinya sendiri. Mungkin dia berusaha mengingat-ngingat.

“Ana pernah bilang begitu?” Aku benar-benar lupa kapan mengucapkan itu. 

“Iya, ana yakin itu,” tukas Aisyah. 

“Mungkin anti nanya ke ana, saat itu ana lagi sedang sibuk. Anti kan tahu, kalau ana lagi sibuk, andai ada yang minta izin menceburkan diri ke laut pun mungkin akan ana izinkan,” kilahku gugup. 

Kulirik Zaid, laki-laki itu acuh tak acuh, dia asik menyedut minumannya.

“Mungkin juga.” gumam Aisyah.  “Oia, sejak kapan kalian berteman?" kali ini pertanyaan kepada Zaid. Laki-laki itu jadi kikuk. 

“Sejak kecil. Tepatnya kapan, aku tidak menyadari hal itu. Silmi teman adikku --- Farah.”

“Oh, ya. Kakak apa kabar?” tanyaku tiba-tiba sambil menatap Fahri. Kening Fahri mengkerut, tatapan matanya membuatku jadi serba salah. 

“Maaf, baru bertanya sekarang. Setidaknya  aku sudah berusaha menunjukkan perhatian pada Kak Fahri, walau terlambat," ujarku dengan wajah manyun. 

Kenyataannya aku memang hanya ingin mengalihkan pembicaraan.

Fahri tertawa kecil, “Alhamdulillah, aku baik. Kamu sendiri gimana?”

Aku merentangkan kedua tangan, “Seperti yang kakak lihat. Bagaimana pekerjaan Kakak? Kakak sepertinya tipe pekerja keras?” 

Akhirnya terjadi pembicaraan yang mengasyikkan antara aku dan Fahri. Karena memang sudah saling mengenal sejak lama. Fahri orang terbuka, mudah akrab. Bahkan sesekali dia melucu, yang membuatku tak tahan menahan tawa. Sepertinya kami sangat menikmati kebersamaan ini. 

Beda dengan Zaid dan Aisyah. Mereka diam saja. Sesekali Zaid mengerling ke arah kami.  Entah apa yang dipikirkan Zaid, pastinya mereka memang belum pernah saling kenal, walaupun sama-sama lulusan Yaman. 

Sedangkan Aisyah, aku tahu dia tak mungkin  yang memulai pembicaraan dengan laki-laki yang bukan mahramnya. 

“Waktu kuliah, aku sering sekali ke sini. Bahkan kadang cuma minum segelas Cappucino,” kata Fahri.

“Oya?” tanyaku perhatian.

“Aku sangat menyukai tempat ini. Menurutku … entahlah, apalagi jika pengunjungnya sunyi. Ah nyaman sekali. Nanti aku ajak lagi ke sini, kalau kita sudah menikah. Aku tahu kapan tempat ini sepi.”

Tiba-tiba Zaid berdiri. Kami terkejut akibat tingkahnya. Ada apa dengannya? Laki-laki itu sepertinya sedang marah. Terlihat dari mata dan dagunya yang merapat.

 Ia pun terkesiap. Seperti baru menyadari dari perbuatannya. 

“Sebaiknya kita pulang sekarang!” ucapnya melembut. 

"Kenapa? Lagi pula ini tidak terlalu malam," kening Fahri berkerut, matanya menatap Zaid dengan emosi dan penuh selidik. Perasaanku semakin tak nyaman. Aku tahu, pasti kejadian tadi sedikit banyak mempengaruhi perasaan Fahri. 

Zaid menolehku. Aku menekuk wajah karena ketakutan. 

“Maaf, mengejutkan kalian. Mungkin aku terlalu cape. Aku pikir Mama, Bibi dan Syifa sudah lama menunggu.”

“Baiklah kalau begitu, sebaiknya kita pulang sekarang,” tukas Fahri pasrah tetapi tetap menatap tajam ke arah Zaid. Ketegangan di antara mereka dapat kurasakan. Entah dengan Aisyah. 

            ***

Cinta Dalam Diam. 

Berapa kali aku membaca judul buku yang diberikan Zaid. Apa maksudnya memberiku seperti ini? Ingin menyampaikan perasaannya? Meski tak terucap, aku rasa kami sudah memahami perasaan kami masing-masing. Kami sudah berjanji menyalurkan rasa kepada pasangan-pasangan kami nantinya.

Cinta dalam Diam. 

Aku tersenyum-senyum sendiri di tempat biasa. Di tempat sunyi ditemani bintang-bintang. 

“Ga istirahat dulu, Silmi? Besok siang kita ada tugas lagi, nanti kamu sakit lagi,” celoteh Syifa sambil duduk bersandar di sampingku. “Sepertinya menyendiri di sini, di malam hari, semacam ritual penting saja bagimu.”

Aku tersenyum datar mendengar celoteh Syifa. Dia tak tahu betapa malam  mempunyai arti dalam kehidupanku. 

Dalam sendiri, di malam hari, aku sering merenung. Memikirkan semua lika-liku kehidupan yang kujalani. Hingga aku banyak mendapatkan hikmah di balik semua kejadian. Dan satu titik yang paling mendasar dari semua kejadian adalah semua ini karena Allah sayang padaku. Maka aku pun berjanji untuk selalu mentaati-Nya. 

Sendiri, di malam hari, sering aku mengobati kerinduan dengan mengenang kenangan-kenangan indah kulalui dengan Zaid. Malam harilah aku dan Zaid berdoa, memanjatkan mimpi-mimpi yang indah. Satu doa kami, sama-sama telah terkabul. Mimpi Zaid terkabul, belajar keluar negeri. Dan mimpiku pun terpenuhi, bisa melanjutkan sekolah.

Sedangkan doa rahasia kami? Zaid tidak tahu doa rahasiaku. Aku ingin selalu bersamanya. Itulah doaku di malam itu. Sepertinya doaku yang satu ini tidak terkabul. Hanyalah Allah yang tahu apa hikmahnya. 

Sedangkan doa Zaid, sampai sekarang aku tidak tahu apa doanya. Mudahan Allah juga mengabulkan doanya.  

“Ini buku dari Zaid tadi ya?” Syifa mengambil buku yang ada di tanganku.

“Cinta Dalam Diam. Mm ..., apa ini mewakili perasaannya?”

“Entahlah?” 

“Oh, ya, bagaimana pertemuan kalian tadi? Pasti seru.”

Aku tak langsung menjawab. Pandanganku jatuh ke arah dinding yang bisu. 

“Lumayan, tapi ada sedikit kejadian kurang menyenangkan.”

“Maksudnya?”

“Awalnya karena aku dan Zaid tidak dapat menjaga sikap. Tingkah sempat mengundang perhatian Aisyah dan Fahri. Selanjutnya aku mengobrol dengan Fahri. Saat aku dan Fahri asik ngobrol, tiba-tiba Zaid berdiri dan mengajak pulang dengan nada emosi.”

Mata Syifa membulat.

“Aku sempat takut, terlebih lagi saat Fahri menatap Zaid penuh dengan selidik. Sepertinya Fahri juga terbawa emosi. Beruntungnya Zaid cepat reda emosinya, karena memang tak ada alasan untuknya. Jadi, kami pulang dengan kebisuan.”

Syifa mendesah keras. 

“Mungkin Zaid cemburu dengan keakraban kalian. Bagaimana nanti jika kalian sama-sama menikah dan saling berhadapan. Terlebih lagi jika kalian sama-sama masih memendam cinta. Kalian akan cemburu dengan keromantisan satu sama lain.”

“Jika sudah sama-sama menikah, masihkah memendam rasa cinta dan cemburu? Sedangkan kami sudah sama-sama memiliki, dan punya orang yang kami salurkan rasa cinta dan rindu?”

“Masalahnya tidak semudah itu. Apalagi cinta kalian, anti dan Zaid sepertinya cinta sudah mengakar kuat. Itu terlihat dalam bahasa tubuh dan cara berbicara kalian. Saling perhatian, saling menggoda. Padahal kalian sama-sama tahu, bahwa itu tidak dibolehkan dalam Islam.”

Aku menatap kosong dinding yang kokoh di depanku. Namun pikiranku menerawang, menembus, membentuk kepingan-kepingan bayangan masa silam. 

“Kak, ini untukmu,” kataku sambil menyerahkan sebungkus keripik kentang kepada Zaid. 

“Untukku?” 

Aku mengangguk. “Kakak, suka kan?”

Zaid mengangguk sambil mengambil keripik kentang yang kusodorkan padanya, “Terima kasih, ya, Silmi. Kamu baik sekali.”

“Zaid…”

Bersamaan kami menoleh arah suara. Tante Kurnia.

“Ibu Kakak memanggil. Sana!”

“Iya, sebentar, ya. Mau kan, pegangkan keripikku dulu?”

“Iya, Kak. Sini.”

“Terima kasih.”

Zaid berlari mendekati ibunya.

“Silmi!”

“Eh… Farah. Mau kemana?” tanyaku sambil mendudukkan pantat di ayunan papan di bawah pohon, di halaman rumah Zaid.

“Mau ke rumah sepupuku, disuruh mama mengantar ini.” sahut Farah sambil menunjukkan benda yang dipegangnnya, “mau ikut?”

Aku menggeleng. Farah memerhatikan keripik kentang yang kupegang dua sekaligus. 

“Kamu mau?” 

“Beneran nih, Silmi?” tanya Farah sumringah. 

“Eee....” sebenarnya aku bingung, apa mau kuberikan atau tidak. Jika diberikan, maka aku tak punya keripik lagi. Yang satu ini, sudah kuberikan kepada Zaid. Tapi, sepertinya Farah sangat menginginkannya. “Iya, ini.” seruku sambil menyerahkan keripik kentang punyaku.

“Terima kasih ya, Silmi.” 

Farah mengambil keripik kentangku. “Aku pergi dulu, ya.” Aku mengangguk, sambil menelan ludah. Aku belum memakannya. Aku mulai merutuki perbuatanku.

“Silmi.”

“Eh, Kak Zaid. Ini.”

Zaid mengambil keripik kentang yang kuserahkan, sambil duduk di sampingku.

“Punyamu mana?”

Aku tak menjawab. Mataku memandang ke arah Farah berjalan. Ternyata Farah tak terlalu jauh, masih terlihat sosoknya sambil bungkusan keripik kentang.

“Kamu berikan pada Farah?” tanya Zaid.

Aku mengangguk sambil menunduk. 

“Silmi, Silmi ..., ya sudah. Sekarang keripik ini kita makan bersama ya,” kata Zaid.

“Tapi, Kak … .” Zaid membuka bungkusan keripik kentang itu dan meletakkannya di tengah-tengah kami duduk. 

“Ayo,” Zaid mengambil satu potong dan langsung memasukkan ke mulutnya. Aku hanya memperhatikan bungkusan itu. “Kenapa? Kok masih diam? Kalau tidak mau, sini aku suapi.”

“Kakak, jangan bikin Silmi malu.”

"Kamu sih, dari tadi hanya liatin bungkusannya!”

Akhirnya dengan ragu-ragu kumasukkan tangan ke bungkusan keripik kentang itu. Setelah itu kami sama-sama diam. Sibuk dalam pikiran kami masing-masing. 

Sesekali kulirik Zaid. Mulutnya mengunyah keripik  sedangkan matanya tertuju ke depan. Entah apa yang dipikirkannya. Aku menyukai moment itu. 

Detak Cinta Shafura  Part 39: Berteman Malam   “Silmi dan Zaid berteman?” tanya Aisyah penuh selidik. Dadaku berdebar-debar. Kusuap Soto Ban...
El Nurien