Cerpen, cerbung, novel, novel roman, novel rumah tangga, tips kepenulisan, novel religi, novel inspirasi, drama rumah tangga, novel romantis
Menu

KLIK FOTO UNTUK MELIHAT DESKRPSI

 

 

   







El Nurien

 

Detak Cinta Shafura

 Part 44: Tidak Lebih Dari Tiga Hari 



Aku mengisi waktu senggangku dengan mencari berbagai informasi tentang Bandung Di ponsel Kak Saada. Budaya, kuliner, wisata, dan hal lainnya, bahkan mencari informasi pondok pesantren di seputar daerah tempat tinggal Paman. Aku sudah berencana ke sana bukan sekadar liburan, melainkan ingin memulai kehidupan baru. Di tempat tidak ada yang mengenalku, kecuali keluarga saudara ayahku. 


Sebuah ketukan di pintu mengalihkan perhatianku. 

“Ya?”

“Ada tamu. Mau bertemu denganmu.” ucap Kak Saada di luar.

Seketika jantungku berdebar kencang. Orang yang kukenal hanyalah Ustadzah Aisyah, Zaid, Fahri, dan Farah. Jika salah satu dari mereka, sungguh aku tak tahu harus bagaimana. Meski yang datang itu Farah, pasti ada sangkut pautnya dengan Zaid. Namun aku berharap, yang datang itu adalah Syifa, meski kemungkinannya sangat kecil karena seharusnya sekarang ini dia sibuk di pondok. 

“Siapa?” 

“Lihat saja. Cepatlah keluar.” Setelah itu tidak lagi suara Kak Saada. 

Setelah merasa cukup rapi, aku keluar kamar. Dari tangga aku sudah bisa melihat siapa yang datang. Aku berjalan perlahan, dengan jantung berdegup kencang. 

“Ustadzah!” 

Kak Saada menolehku, lalu berdiri. “Kalian ngobrollah. Aku mau siapkan minuman dulu.”

“Jangan repot-repot, Kak,” seru Aisyah. Dia membuka wajahnya. Raut mukanya terlihat sedih. Tiba-tiba rasa bersalah menerpaku. 

“Tidak repot, kok. Tinggal dulu, ya.”

Aku duduk di sofa menghadap Aisyah dengan wajah tertunduk. Banyak kalimat yang ingin kuucapkan, tetapi mulutku terkunci. Aku merasakan suasana gerah, meski ac di rumah ini telah menyala. Kami terus saja diam sampai Kak Saada datang membawa nampan berisi secangkir teh dan dua buah tooples kaca berisi cemilan.

“Silakan, Ustadzah. Jangan sungkan!” Kak Saada meletakkan teh yang masih mengepulkan asap itu di depan Aisyah, lalu membuka penutup toples. 

“Ana ke sini karena sebuah hadits.” Ustadzah Aisyah membuka suara. Dari suara terdengar kegetiran yang dalam. Dari nadanya, dia masih belum bisa memaafkanku. 

Aku diam saja, tanpa berani mengangkat kepala. 

“Sebuah hadits menjelaskan, ‘tidak dihalalkan bagi seorang mukmin mendiamkan saudaranya melebihi tiga hari.”

Aku masih tidak berkata apa-apa. 

“Ana minta maaf, mendiamkanmu lebih tiga hari dan baru hari ini mempunyai kemampuan untuk menemuimu. Dan sejujurnya, sekarang pun melihatmu membuat hati semakin terluka.”

“Ana minta maaf, Ustadzah. Sungguh, ana tidak bermaksud … .”

“Ana mengerti,” potong Ustadzah Aisyah. “Ana memahaminya. Cahya sudah menceritakan semuanya.”

Aku terperangah. Kenapa Cahya berani melanggar perintahku. 

“Yang ana sesalkan, kenapa anti tidak jujur dari awal? Kenapa ana baru mengetahui setelah persiapan sejauh ini? Setelah ana terlanjur berharap banyak padanya? Dan kenapa perempuan dicintainya itu anti? Sahabat yang sudah ana anggap seperti saudari sendiri.” 

“Maafkan ana, Ustadzah.” Lagi-lagi hanya kalimat maaf yang bisa kuucapkan. 

Aisyah mulai terisak. “Ana harus bagaimana, Silmi?” 

 “In sya Allah, pernikahan kalian akan tetap terjadi.”

“Dengan bayang-bayang adanya wanita lain di hati suamiku?”

“Astagfirullah.. Ustadzah! Kenapa Ustadzah sudah curiga pada calon suami sendiri?” ucapku setengah lancang. Lalu aku menarik napas guna mengendalikan emosi. 

Tiba-tiba saja aku tersulut emosi, dengan tuduhan yang ditujukan kepada Zaid. Aku yakin Zaid tidak akan melakukan itu. Aku tahu tidak semudah itu melupakan orang yang dicintai, tapi dia akan berusaha mencintai istrinya dan melupakanku.

“Ini bukan lagi prasangka, Silmi. Dengan mata ana sendiri, bagaimana cara dia bersikap padamu. Dari tatapannya saja dapat diketahui … .”

“Ustadzah!” potongku. “Ana mengenal Zaid dari kecil. Ana akui dia menjagaku dari kecil, tapi ana yakin Zaid tak sepecundang itu. Ana yakin, Zaid bisa menerima keadaan ini. Dan yakin, dia akan berusaha menjadi imam yang baik. Asal anti mau memberinya kesempatan.”

Tangisan Ustadzah Aisyah makin menjadi. “Tapi bagaimana dengan anti? Bisakah anti melupakannya?”

Aku berdiri, lalu duduk bersimpuh di depannya. Kugenggam tangannya. “Ma ashaaba min mushibatin fil ardhi wal fii anfusikum illa fii kitabin min qobli annabraaha.” 

Aku diam sejenak. Menatap matanya. “Apa yang menimpa kita, ini sudah ketentuan Allah. Bahagia ataupun sedih, itu hanyalah warna warni dari kehidupan kita. Ustadzah pasti tahu itu, hanya saja kita perlu waktu untuk menerimanya.

Namun, jika kita ikhlas menjalaninya, pasti akan menuai banyak hikmah. Perasaan kita pada hakikatnya milik Allah, tapi ana yakin, jika Ustadzah melayaninya dengan ikhlas, Allah akan memberikan perasaan cinta di hatinya.”

Ustadzah Aisyah menatapku. Binar matanya masih mengambang. 

“Tidak akan pernah sia-sia semua kebaikan yang dilakukan karena Allah.”

“Tapi apa ana bisa?”

“In sya Allah, Ustadzah bisa. Laa yukalifullahu illa wus ‘aha.

Aisyah mengambil alih genggamanku. “Mengapa anti setegar dan sebaik ini? Alangkah baiknya, jika anti marah, kecewa, lalu merebut Zaid. Ana tidak merasa bersalah sebesar ini.”

Aku menggeleng. “Merebut? Ana tegaskan lagi, kami tidak pernah memiliki hubungan apapun, selain persahabatan. Adapun perasaan itu tidak membuat adanya sebuah ikatan.”

Aisyah membuka mulutnya, tetapi segera aku potong. “Ana sangat mengenal kalian dan menurut ana kalian sangat cocok. Ana yakin, pernikahan kalian akan memberikan banyak keberkahan.”

Aisyah terdiam. Ia menatapku beberapa saat. Kami saling meyakinkan hanya melalui mata.

“Anti datang 'kan ke pernikahan ana?”

Giliranku yang terdiam. Memikirkan andai aku menghadiri pernikahan Aisyah, apakah aku akan mendapatkan tatapan negatif lagi? Tetapi tidak mungkin aku menolak, lagi pula mungkin hari-hari terakhirku di sini. Kedatangan Aisyah membuat keputusanku ke Bandung semakin kuat. 

* Hr. Muslim

 **Tidaklah tiap musibah yang menimpa di bumi dan yang menimpa dirimu sendiri, kecuali semuanya telah tertulis dalam kitab (Luh Mahfuzh) sebelum Kami mewujudkannya. (Qs. Al-Hadiid : 22)

 ***Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. (Q.s. Al-Baqarah : 286)



  Detak Cinta Shafura  Part 44: Tidak Lebih Dari Tiga Hari  Aku mengisi waktu senggangku dengan mencari berbagai informasi tentang Bandung D...
El Nurien
El Nurien

 

Detak Cinta Shafura

 Part 43: Hubungan Perasaan 




Aku langsung menghempaskan diri di atas kasur ketika sampai di kamar di atas loteng yang telah disiapkan Kak Saada. Tas dan kotak yang kubawa tergeletak sembarang tempat. Sedang, Kak Saada membuka pintu balkon




"Entah kenapa, tiba-tiba aku ingin membersihkan ruangan ini. Ternyata firasat kamu akan pulang," ucap Kak Saada sambil membuka gorden, lalu membuka pintu jendela. 


Aku memejamkan mata. Bersyukur dalam hati. Aku pun tidak bisa membayangkan jika masih numpang di kamarnya anak-anak Kak Saada dalam kondisi remuk redam begini. Aku tidak mungkin menangis di depan mereka.


"Terima kasih, Kak."


Kak Saada tak menyahut. Ia telah menuruni tangga. 


Kubuka mata, menatap langit-langit yang beralaskan triplek warna coklat penuh dengan noda di mana-mana. 


Menatap langit-langit menyadarkan bahwa aku benar-benar sendirian. Di pondok sangat jarang menatap langit-langit kamar. Saat berbaring, jika tidak ngobrol dengan teman sebelah, aku langsung memejamkan mata. 


Perasaanku benar-benar kosong dan hampa. Ternyata di mana posisi teman-teman tidaklah masalah. Jarak bukanlah jadi alasan untuk menjadi terpisah. Di mana pun, selalu ada doa dan perhatian mereka untuk kita. 


Tapi kini aku benar-benar merasa terputus. Aku yakin Cahya dan Syifa akan selalu mendoakan kebaikan untukku, hanya saja putus asaku telah menutupi segalanya. 


Dulu aku selalu bersemangat jika mengingat Zaid, meskipun jaraknya jauh puluhan juta kilometer. Kini masih satu provinsi, aku yakin ia juga selalu mendoakanku, tapi perasaan hampa yang membuat semuanya jadi menguap. 


Tatapan hina dan cerca kembali memenuhi ruang sadarku. Pengabdianku jadi hancur lebur oleh sebuah kesalahan. Mungkinkah aku bisa menginjakkan kaki ke situ lagi? Atas alasan apa?


"Rabbanaa taqabbal minna watub 'alaina,*" 

Perlahan cairan hangat mengalir dari kedua belah mataku. Mengalir tanpa suara. Dari sini aku mengerti, mengapa aku menangis nyaring seketika di dekat Zaid ketika di Tanuhi, atau ketika di dekat Syifa. Itu karena kepercayaanku pada mereka. 

Aku bisa meluapkan perasaanku pada mereka. 

Aku percaya mereka bisa memahamiku. 

Kini tangisanku tanpa bunyi, karena memang siapa yang akan mendengarkan tangisanku. 


Hasbiyallahu tawakkaltu 'ala llaah'


***


Setelah shalat Isya aku mulai mengeluarkan barang-barangku. Pertama kali yang kubuka adalah kotak. Karena di dalam kotak aku menyimpan kitab-kitab. Sampul kitab tafsir pemberian Zaid langsung menyembul ketika aku membuka kotak itu. 


Seiris silet kembali menyapa. Kuangkat kitab itu, lalu kueja dengan jari namanya yang telah dicoret dengan Tipe-X. Aku sengaja mencoret supaya tidak jadi fitnah atau pertanyaan dari teman-teman. Siapa sangka setelah sekian tahun, ternyata ada yang bisa menebaknya, yaitu Cahya. 

Santriwati yang tidak bisa mengingat nama dan wajah orang, tetapi paling pandai jika ia mau membaca wajah orang. Beruntungnya, ia bukan tipe orang peduli dengan urusan orang lain. 


Aku meletakkan kitab tafsir itu ke atas lemari ketika terdengar bunyi kaki di anak tangga. Tak lama muncul Kak Saada sambil membawa gawainya. 


"Paman Salahuddin vc-an." Kak Saada menyerahkan gawainya padaku. 

Aku menyambutnya dengan wajah heran. 


"Assalamualaikuuum. Silmi ya." 

"Wa alaikum salam."

Aku bergegas meletakkan gawai itu ke telinga. 


Kak Saada tersenyum geli. Ia mengambil gawai itu, lalu memperlihatkan wajah paman yang di muncul di layar. 


"Paman?" tanyaku, dengan perasaan malu. Pasti paman kaget tadi saat melihat telinga di layar ponselnya. 


"Apa kabar, Silmi?" 

"Alhamdulillah, baik, Paman. Paman juga bagaimana kabarnya?" tanyaku kaku. Aku lupa kapan aku pernah berbincang dengan paman. 


"Alhamdulillah, baik, Silmi. Alhamdulillaah, akhirnya Paman bisa berbicara denganmu. Berapa kali Paman nelpon Saada, tapi katanya kau lagi di pondok." 


Aku tersenyum menanggapi ucapan Paman di layar ponsel. 


"Entah kenapa maka ini tiba-tiba Paman ingin menelpon Saada. Ternyata Paman hendak berjumpa denganmu. Alhamdulillah."


"Alhamdulillah." Hanya kata ini yang bisa kuucapkan. Hanya sekadar menanyakan bagaimana keadaan istri beliau aku tak berani. Sudah lama aku tidak mendengar keadaan Paman. Menyadari hal ini, betapa jahatnya aku. 

“Tunggu sebentar,” ucap Paman, lalu ia memalingkan wajahnya lalu berteriak. “Nyii … Nyii … Sini atuh. Nyii … .”

Aku berjalan, lalu duduk di atas kasur. 

“Tunggu atuh Engkaaang.”

Dari kejauhan terdengar suara seorang perempuan menyahut sambil menggerutu dengan bahasa yang tidak aku mengerti. 

“Sini. Ini Neng Silmi.”     

“Neng Silmi?”

Seorang perempuan paruh baya muncul di layar ponsel. Aku segera meraih ponsel itu. 

“Neng Silmi, keponakan aku. Putri Almarhum Zainuddin,” beritahu Paman semangat.

“Ooo, Silmi. Neng Silmi? Yang di Kalimantan?”

Aku mengangguk. 

“Enggih, Bi.” Kenapa aku jadi mengucap enggih? Memang Bandung juga memakai enggih?

“Aduuh. Senangnya Bibi bisa lihat ketemu Neng Silmi. Sudah lama yak tidak ketemu. Sekarang sudah gadis yak. Cantik sekali.”

"Oh iya, sekarang Neng lagi ngapain? Sedang liburan yak?” ponsel diambil Paman, tetapi keduanya masih bisa kelihatan di layar ponsel. 

Aku mengangguk bimbang. 

“Jalan-jalan ke tempat Paman yuk. Ke Bandung.”

Seketika otakku menggeliat cerah. Jalan-jalan merupakan ide yang bagus untuk kondisiku saat ini. Tapi, kantongku tidak mengizinkan. Tabunganku tinggal sedikit. Sisa membelikan jam tangan Zaid dan gamis untuk Aisyah. Hatiku meringis. Untuk membelikan arloji untuk seorang Zaid saja benar-benar menguras tabunganku.

Bagaimana jika untuk Hans, putra bangsawan? Mungkin aku perlu menabung seumur hidup. Kenapa jadi ingat Hans?

“Pingin. Silmi juga sudah sangat lama tidak ke sana.”

“Iya, terakhir Neng Silmi kecil sekali, yak?” sela Istri Paman.

Aku mengangguk. “Iya, Bi. Waktu ayah masih hidup. Umur Silmi waktu itu sekitar sembilan tahunan.”

“Benar, kamu sudah lama sekali. Ke sini atuh, Neng,” bujuk Istri Paman dengan dialek khasnya.

Aku tertawa kecil. “Mau atuh, Bi.” Lo kenapa aku ikut-ikutan dialek bibi. "Tapi, Silmi tidak pernah pergi sendirian, apalagi sejauh itu.”

“Gampang atuh.” Paman merangsek maju. “Neng cukup diantar Aa Sakti ke bandara, nanti di bandara sini ada yang jemput. Nanti Paman suruh Mumtaz jemput.”

Mumtaz?  Rasanya aku pernah dengar nama itu, tapi siapa?

“Neng lupa kan?! Dia sepupu Neng Silmi. Dia yang dulu temanin Neng bermain. Ingat, gak?”

Aku memicingkan sebelah mata. Berusaha mengingat kenangan kecilku sewaktu silaturahmi ke Bandung. Memang saat itu ada sepupu-sepupu yang menemaniku bermain juga jalan-jalan. Tapi, aku lupa siapa saja namanya.

“Tunggu sebentar, yak.”

Tiba-tiba ada tambahan panggilan di layar. Seketika insting siagaku mulai berdering. Aku meletakkan ponsel, meraih jilbab yang tergeletak di kasur, lalu memasang ke kepala. Aku merapikan jilbabku melalui video yang ada di ponsel. 

“Ya, Paman.” Wajah malas muncul di layar ponsel. 

Seketika aku terkesiap, lalu melepaskan ponsel.

“Paman, vician dengan siapa?” Dari suaranya sepertinya dia baru menyadari. 

“Dengan Silmi, Mumtaz. Sepupumu. Neng … masih sambungkan?”

Aku kembali mengambil ponsel, lalu melihat layar. Terlihat Mumtaz sudah memakai kaos longgar. Posisinya juga sudah berubah. Dari baringan menjadi duduk. 

“Silmi? Benar, ini Silmi. Ya Allah, mimpi apa aku semalam, bisa lihat kamu," teriak seorang laki-laki yang menurut perkiraanku sebayaanku denganku. 

"Assalamualaikum, Aa. Aa Mumtaz gimana kabarnya?" tanyaku kikuk. 



catatan kaki :

*Tuhan kami  terimalah amal ibadah kami dan tobat kami. 



  Detak Cinta Shafura  Part 43: Hubungan Perasaan  Aku langsung menghempaskan diri di atas kasur ketika sampai di kamar di atas loteng yang ...
El Nurien
El Nurien

 Detak Cinta Shafura Part 42: Terusir




Di ruang kantor  sengaja aku memuaskan diri menangis. Agar semua bebanku bisa hanyut bersama derasnya air mata. 

“Sabar ya, Silmi” lirih Syifa sambil memegang pundakku. 

“Qaala innamaa asykuu batstsii wa huzni ila llah,1” kataku sambil terisak. 

“Hasbunallah wani’mal wakiil, ni’mal maula wa ni’man nashiir,” tambah Syifa menyemangatiku. 

Kusandarkan punggung ke dinding, kudongakkan kepala dengan mata terpejam. Perih sekali. Aisyah, sahabatku kini membenciku. Aku harus berbuat sesuatu.

“Sebaiknya ana pulang saja.”

Syifa tersentak. 

“Anti mau pulang?” tanya Syifa dengan ekspresi tak percaya, “meninggalkan semua tuduhan buruk yang ditujukan kepada anti?”

“Apa boleh buat, Ukhti. Biarlah mereka menuduh ana sesuka hati. Bagi ana yang penting adalah pernikahan Aisyah. Ana titip kado ya."

“Apa pun yang anti pinta, akan ana lakukan. Sejujurnya ana tak sependapat dengan keputusan anti. Pergi begitu saja, meninggalkan jejak gelap pada diri anti, terlebih lagi, sebentar lagi khataman, tidakkah anti ingin melihat anak bimbingan anti, khataman tahun ini? Lalu bagaimana dengan Cahya? Ia sangat membutuhkan keberadaan anti.”

Rentetan ucapan Syifa memberikan goresan demi goresan di hati. Siapa yang tak ingin melihat anak bimbingannya khataman? Semua guru pasti bahagia, melihat anak didiknya ikut lulusan. Namun, yang lebih aku cemaskan adalah Cahya. Aku khawatir masalah ini mengganggu konsentrasi Cahya.

“Keadaannya tidak memungkinkan, Syifa,” sahutku.

Langsung saja kutelpon Kak Saada. Awalnya kak Saada kaget mendengar keinginanku. Tapi, kakak pun langsung paham mendengar penjelasanku. 

Sebelum berkemas, aku juga sudah membungkus kado untuk pernikahan Aisyah dan Zaid. Gamis dan arloji. Beberapa saat, aku mengingat-ngingat kalau ada yang tertinggal. Helena. Aku harus menemuinya. 

“Kakak,” seru Helena. Dia sedang latihan untuk menyenandung nasyid.

“Bisa kita bicara sebentar?”

Helena tak langsung menjawab, dia mengitari pandangan ke sekeliling, teman-temannya dan pelatihnya, Fitri. Helena langsung berdiri, begitu mendapat isyarat izin dari Fitri. Sempat aku menangkap kilat jijik dari mata Fitri. 

“Kakak mau pulang, dan tidak akan ke sini lagi. Jaga diri baik-baik, ya,” ucapku datar sambil menyalaminya, begitu kami sampai di kamarnya. 

Kamar sepi, mungkin teman-temannya yang lain lagi sibuk. Aku berusaha keras agar air mataku tidak tumpah. 

Helena langsung menyambutnya dengan pelukan dan tangisan. Sesaat aku bernapas lega, Helena tidak menganggapku buruk. 

“Kakak jangan pergi. Helena tak ada siapa-siapa lagi di sini. Kak Hans juga akan pergi.” 

Perlahan kulepaskan pelukan dan memegang dua pundaknya. 

“Helena, dengarkan Kakak. Hans dan kakak, memang pergi. Jauh dari Helena, tapi hati-hati kami dekat dengan Helena. Kami sangat mencintaimu, dan akan selalu mendoakanmu.”

Kutatap matanya lurus-lurus, aku ingin menguatkan dan menyakinkan, bahwa aku dan Hans akan selalu mencintainya, walaupun kami tak bisa selalu bersamanya.

Helena mengangguk sambil terisak. 

“Nah begitu, jaga diri baik-baik. Tetap semangat belajar, dan … .” Aku melangkah mendekati lemarinya, dan mengambil dua boneka yang terpajang di atas lemarinya. “Dan jika Helena rindu kami, lihatlah dua boneka ini! Ingatlah kami pun akan selalu merindukan Helena.”

Aku memain-mainkan boneka, sehingga Helena tertawa kecil, karena gerakan imut dua boneka beruang itu. Satu pemberianku dan satu lagi dari Hans. 

“Nah begitu, dong. Tabassamii.”

Aku kembali memeluknya, kembali perasaanku diliputi kesedihan. Kurasakan air mataku mulai menggenang di kelopak mata. Aku tak boleh menangis di depan Helena.

“Kakak pergi dulu, ya.”

Helena mengangguk. Kukira dia kembali bergabung dengan team latihannya, ternyata dia mengikutiku. 

“Tidak ikut latihan lagi?” tanyaku sambil berjalan.    

“Nanti saja, Kak. Setelah melepaskan kepergian Kakak.” Saat kami berjalan, lagi-lagi pandangan penuh ejekan dan kebencian menyorotiku. Aku hanya bisa mendesah keras.


    ***

Kutitip surat, kado, dan salam buat Aisyah pada Syifa. Begitu juga dengan Helena. Jika memandangnya, rasa tak tega meninggalkannya.  Apa boleh buat, mobil Kak Saada telah menunggu bersama suaminya, Hilman. 

Kupeluk Syifa, Helena, dan Nadhirah satu persatu. Penuh dengan keharuan dan tangisan. Aku tak kan pernah melupakan mereka. Ke manakah yang lainnya? Ke manakah anak-anak bimbinganku?

Malangnya takdir yang digariskan hari ini. Sembilan tahun aku di sini, belajar dan mengabdi, kini aku keluar dengan penuh hinaan. Entah sebagai terusir atau orang yang melarikan diri, atau kedua-duanya. 

Tak lama Cahya muncul dengan terengah-engah. Wajahnya sembab. “Ana harus bagaimana, Ustadzah? Ustadzah dan Ustadzah Aisyah adalah orang yang paling ana sayangi. Kenapa harus seperti ini? Ana harus berdiri di mana?”

Aku tersenyum kecut. “Berdirilah di kaki sendiri. Hargai keputusan ana dan tetap hormati Ustadzah Aisyah.”

Air mata Cahya semakin merembes. Kutarik Helena, kudekatkan pada Cahya. 

“Kalian bisa saling membantu dan menguatkan satu sama lain. Cahya, ana titip Helena. Bagaimana pun anti kepercayaan kakaknya. Bantu Hans dengan selalu memerhatikan Helena.”

Cahya menatapku lekat. Lalu mengangguk. “In sya Allah, Ustadzah.”

Kubiarkan Cahya memelukku erat. 

Ya Allah, bagaimana ia bisa tes dengan kondisi seperti ini? Ya Allah, mudahkanlah urusannya dan berilah ia jalan yang terbaik. 

Sejenak aku menatap tiga teman setia yang melepaskan kepergianku. Semuanya menangisi kepergianku. Cahya dan Helena paling sesenggukan, ketika mobil melaju, Helena menenggelamkan mukanya ke bahu Cahya. 

Syifa lah yang paling tegar. 

        *** 

catatan kaki

قَالَ إِنَّمَآ أَشۡكُواْ بَثِّي وَحُزۡنِيٓ إِلَى ٱللَّهِ وَأَعۡلَمُ مِنَ ٱللَّهِ مَا لَا تَعۡلَمُون


Dia (Yakub) menjawab, “Hanya kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku. Dan aku mengetahui dari Allah apa yang tidak kamu ketahui. (Qs. Yusuf, Ayat 86)

 Detak Cinta Shafura Part 42: Terusir Di ruang kantor  sengaja aku memuaskan diri menangis. Agar semua bebanku bisa hanyut bersama derasnya ...
El Nurien