Cerpen, cerbung, novel, novel roman, novel rumah tangga, tips kepenulisan, novel religi, novel inspirasi, drama rumah tangga, novel romantis
Menu

KLIK FOTO UNTUK MELIHAT DESKRPSI

 

 

   







Results for "Novel Religi"
El Nurien

 

Detak Cinta Shafura

 Part 41: Dendam Terpendam





“Ana harus bagaimana, Syifa? Dia menuduh ana mengkhianatinya, bahkan mungkin semua santri menuduh ana mengkhianati Aisyah."



“Ana tidak, Silmi. Ana tahu semuanya, dan ana percaya sama anti. Dan Nadhirah pun insya Allah, tidak.” 

Syifa beralih pandangannya ke arah Nadhirah. Dan menceritakan semua yang terjadi. Tentang persahabatanku dengan Kak Zaid, tentang permintaanku, kepada Zaid agar menerima lamaran Kyai Ibrahim, dan menceritakan pertemuan yang tidak direncanakan kemarin.

“Sabar, ya, Ustadzah. Semoga Allah, akan memudahkan jalannya.”

“Terima kasih Nadhirah. Untuk sementara, jika ada yang bertanya kepadamu tentang kejadian ini, cukup katakan pada mereka, ini hanya kesalahpahaman. Ana tak pernah mengkhianati Aisyah. Apa pun demi kebahagiaan Aisyah, akan ana lakukan, jadi tidak mungkin ana mengkhianati Aisyah.”

“Iya, Ustadzah. Insya Allah,” balas Nadhirah.

“Terima kasih, ya,” 

Nadhirah hanya mengangguk.

“Sabarlah, kita serahkan semuanya pada Allah. Nanti kita temui Aisyah, kita bicarakan secara baik-baik.”

“Anti mau menemani ana?” tanyaku penuh harap.

“Ana akan menemani anti, kalau perlu ana juga ikut menjelaskan semua yang ana ketahui.”

“Terima kasih Syifa. Hanya Allah yang mampu membalas kebaikan dan pengertianmu selama ini. Jazakillah khairan katsiran.”

“Wa iyyaki,” balas Syifa dengan senyum mengambang. Memberi secercah cahaya di pikiranku yang sedang berkabut.

“Assalamu ‘alaikum.” Cahya di depan pintu. 

“Wa ‘alaikum salam,” sahut kami serentak. Aku hanya bisa menjawab dengan suara lirih. Melihatnya sontak tanganku mengusap wajah. 

“Ustadzah, apa yang terjadi?” Cahya mendekatiku dengan wajah cemas. 

“Maksud anti?” Pertanyaan yang tidak  faedah. 

Memang Cahya terbiasa memojok, tetapi jika ia ke sini, berarti ia telah mendengar kabar itu. Hanya saja aku tidak tahu apa yang ia dengar. 

“Ana dengar… .” 

Aku tersenyum. “Ana tidak tahu apa yang dengar. Kalau anti dengar keributan yang barusan terjadi, iya. Tapi percayalah, ini hanya kesalahpahaman. Jangan khawatir, jika marah Ustadzah Aisyah sudah reda, ana akan menjelaskannya,” ucapku ragu-ragu. 

Aku tak yakin kemarahan Aisyah reda secepat itu. Terlebih lagi ini menyangkut masalah pernikahannya. Aisyah pasti sangat kecewa padaku, yang berstatus sahabatnya. Hanya saja, aku tidak ingin konsentrasi Cahya terganggu. 

Cahya masih menatapku cemas. “Bagaimana kalau ana jelaskan kepada Ustadzah Aisyah?”

“Maksud anti?”

“Ana percaya dengan Ustadzah. Ustadzah tidak mungkin mengkhianati Ustadzah Aisyah. Seharusnya Ustadzah Aisyah tahu ini bentuk pengorbanan Ustadzah kepadanya.”

Aku menatap Cahya lekat. Bagaimana ia begitu mempercayaiku? Apa ia tahu hubunganku dengan Zaid?

“Ana tahu siapa Ustadzah. Dan tunangan Ustadzah Aisyah itu laki-laki yang memberi Ustadzah buku tafsir itu kan? Namanya yang Ustadzah hapus di sampul tafsir itu.” 

Cahya memegang tanganku. “Ustadzah memang tidak pernah cerita itu, tapi Ustadzah adalah panutan ana. Setiap gerak-gerik Ustadzah selalu jadi perhatian ana. Bahkan tatapan Ustadzah saat ini pun ana tahu.”

Keningku mengerut. 

“Saat ini Ustadzah memikirkan tes ana kan?”

Aku tercengang.

“Ana akan jelaskan semua ini kepada Ustadzah Aisyah,” ucapnya seraya bergerak hendak berdiri. Tetapi, aku segera menarik tangannya. 

“Cahya, terima kasih atas  perhatiannya. Ana bangga pada anti. Tapi, masalah ana dengan Ustadzah Aisyah, ana akan tangani sendiri. Anti fokuslah pada persiapan tes anti. Ya."

“Tapi ... .”

“Cahya,” potongku. 

Cahya menunduk. “Baiklah,” ucapnya pasrah. “Kalau begitu ana pamit dulu.”

Aku mengangguk. “Konsentrasilah! Masalah ana, serahkan semuanya pada Allah.”

Cahya mengangguk. 


        ***

Sudah tiga kali, aku berusaha menemui Aisyah. Dia tak juga berkenan menemuiku. Mungkin ia terlalu marah. Sementara desas-desus berita tak nyaman mulai berkeliaran di daerah pondok. 

Banyak santri yang memandangku penuh kebencian, ada yang bersikap dingin, bahkan ada bersikap lancang, mencibir, bahkan tak segan-segan mencercaku. Sekarang aku lebih sering berdiam di kantor, karena jarak ruangan tes lebih dekat. Setidaknya, mengurangi tangkapan indra penglihatan, dari mata-mata kebencian. 

Hanya kepada Allah kusandarkan hati.

“Silmi, Silmi.” kata Syifa dengan terengah-engah.

“Ada apa, Syifa? Kenapa panik begitu?” tanyaku tak kalah panik.

Akhir-akhir jiwaku cenderung sensitif. Setiap orang yang berbicara di dekatku, seakan-akan akan menghinaku. 

Jika mereka memandang, bagiku seakan mau menerkamku. 

Jika ada teriakan, seakan sebuah ketuk palu hakim yang akan menyiapkan hukuman mati buatku. Dunia menjadi mengerikan. 

“Ada kabar. Pernikahan Aisyah dibatalkan.” 

“Apa? Ini tidak mungkin! Pernikahannya tinggal berapa hari lagi? Ya, Allah ini tidak boleh terjadi.” Aku tak yakin tinggal berapa hari lagi pernikahan Aisyah. Semuanya jadi jadi kacau, bahkan hari ini hari apa aku pun tidak tahu. 

“Bagaimana kita temui lagi Ustadzah Aisyah. Apa dia mau menerimaku?” tanyaku ragu.

“Entahlah. Tapi, tidak salah jika kita mencoba.”

Aku mengangguk, “temani aku, Syifa.”

        

***


“Apa Aisyah mengizinkan kami, untuk menemuinya?” tanyaku kepada Dewi dan Eka dengan tidar sabar---santriwati yang sedang piket. 

Eka menggelengkan kepalanya.

“Kenapa?” Pertanyaan yang bodoh.

“Katanya masih sibuk,” jawab Dewi dengan nada sinis. 

Dewi tetangganya Zaid, itu artinya aku dengan Dewi juga sekampung. Tapi sepertinya itu tak berlaku lagi. Mungkin di matanya aku sudah benar-benar jahat. 

Jangankan sekampung, kesalahan bahkan tidak memandang hubungan. 

“Begitu, ya? Terima kasih, ya, kami ke sebelah dulu,” kataku lemah sambil menarik pergelangan Syifa. Putus asa sudah menjalar ke seluruh urat nadiku. 

“Wi, ada kabar, katanya pernikahan Ukhti Aisyah dibatalkan, apa benar?” tanyaku hati-hati. Aku bertanya lagi padanya sambil berharap ia memandangku sebagai teman sekampung. 

“Tidak. Tidak benar. Kenapa anti bertanya begitu?” tanya Dewi, penuh selidik. Matanya menusuk ke arahku. 

“Tidak apa-apa, Ukhti. Syukurlah jika begitu, kami pergi dulu. Assalamu ‘alaikum.”

“Tunggu dulu. Jangan katakan, anti berharap pernikahan ini batal?!”

Tuduhannya benar-benar menyengatku. Mataku mulai berkaca-kaca. “Kenapa anti berkata begitu?”

“Iya, bisa saja. Bukankah anti juga mengharapkan Abdurrahman?! Oh bukan Zaid ya? Zaid juga memanggilmu Shafura kan?!” Dewi memandang pergelanganku. “Mana arlojinya. Jangan-jangan dia sudah gantikan yang baru?!”

Aku terperangah. 

“Heh? Asal kalian tau, dia seorang hafizhah munafik. Mondok, berhijab, padahal diam-diam hatinya berkhalwat. Busuk.”

Aku tidak berniat untuk membantah ucapan, bahkan membiarkannya melepaskan semua kalimat yang terpendam di benaknya. Barangkali itu akan membuatnya puas. 

Dari dulu, aku sudah mengira yang menyebarkan desas desus fitnah padaku itu  Dewi. Aku berusaha diam, karena aku mengerti kebenciannya padaku. 

Dari dulu ia sangat ingin berteman dengan Farah, karena dengan begitu ia juga akan dekat dengan Zaid. Tapi, aku tak mengerti mengapa Farah sangat tidak menyukainya. 

Dia ke pondok ini pun demi mendekati Zaid. Ia ingin Zaid memandangnya. Hanya saja di mata Zaid hanya ada dua gadis. Aku dan Farah. 

Usahanya sudah sejauh ini, maka wajarlah jika ia sangat membenciku. 

“Dewi!” sergah Syifa. “Istighfar, Wi. Tak baik menuduh saudara sendiri, itu keterlaluan.”

“Keterlaluan? Akhirnya terbongkar juga kan kebusukan dia selama ini. Selama ini Aisyah menyangkal tentang kelakuannya. Tapi temanmu ini yang keterlaluan, menikam teman sendiri dari belakang, berkali-kali pula.  Itu yang namanya keterlaluan!”

Syifa melotot, tubuhnya seketika menegang, gerahamnya merapat. Aku menarik tubuhnya ketika mulutnya terbuka untuk membalas Dewi.

“Sudahlah, Syifa! Dewi tak tahu duduk perkaranya. Cukuplah Allah sebagai penolongku. Yuk kita pergi, jangan buat kekacauan di sini.” seruku seraya menarik lengan Syifa. 

“Heh, masih saja bersikap alim.”

Aku menarik lengan Syifa meninggalkan tempat itu. Umpatan Dewi dan tatapan kebencian mengiri langkah kami hingga keluar dari gerbang pondok lama. 

    ***


  Detak Cinta Shafura  Part 41: Dendam Terpendam “Ana harus bagaimana, Syifa? Dia menuduh ana mengkhianatinya, bahkan mungkin semua santri m...
El Nurien
El Nurien

Detak Cinta Shafura

 Part 39: Berteman Malam



  “Silmi dan Zaid berteman?” tanya Aisyah penuh selidik. Dadaku berdebar-debar. Kusuap Soto Banjarku sambil menoleh Zaid. Aku tak mengerti kenapa dia terlihat begitu santai.


“Bukan teman lagi, bahkan lebih dari sahabat. Bahkan dulu aku mengira mereka itu berjodoh. Ternyata aku salah, Zaid berjodoh denganmu, dan Silmi untukku,” sahut Fahri sambil tertawa kecil dan sedikit terkesan sinis. 

Kening Aisyah mengerut tajam. Aku semakin tidak nyaman. 

“Silmi, anti bilang dulu, tidak begitu mengenal Zaid.” lirih Aisyah seakan-akan berbicara pada dirinya sendiri. Mungkin dia berusaha mengingat-ngingat.

“Ana pernah bilang begitu?” Aku benar-benar lupa kapan mengucapkan itu. 

“Iya, ana yakin itu,” tukas Aisyah. 

“Mungkin anti nanya ke ana, saat itu ana lagi sedang sibuk. Anti kan tahu, kalau ana lagi sibuk, andai ada yang minta izin menceburkan diri ke laut pun mungkin akan ana izinkan,” kilahku gugup. 

Kulirik Zaid, laki-laki itu acuh tak acuh, dia asik menyedut minumannya.

“Mungkin juga.” gumam Aisyah.  “Oia, sejak kapan kalian berteman?" kali ini pertanyaan kepada Zaid. Laki-laki itu jadi kikuk. 

“Sejak kecil. Tepatnya kapan, aku tidak menyadari hal itu. Silmi teman adikku --- Farah.”

“Oh, ya. Kakak apa kabar?” tanyaku tiba-tiba sambil menatap Fahri. Kening Fahri mengkerut, tatapan matanya membuatku jadi serba salah. 

“Maaf, baru bertanya sekarang. Setidaknya  aku sudah berusaha menunjukkan perhatian pada Kak Fahri, walau terlambat," ujarku dengan wajah manyun. 

Kenyataannya aku memang hanya ingin mengalihkan pembicaraan.

Fahri tertawa kecil, “Alhamdulillah, aku baik. Kamu sendiri gimana?”

Aku merentangkan kedua tangan, “Seperti yang kakak lihat. Bagaimana pekerjaan Kakak? Kakak sepertinya tipe pekerja keras?” 

Akhirnya terjadi pembicaraan yang mengasyikkan antara aku dan Fahri. Karena memang sudah saling mengenal sejak lama. Fahri orang terbuka, mudah akrab. Bahkan sesekali dia melucu, yang membuatku tak tahan menahan tawa. Sepertinya kami sangat menikmati kebersamaan ini. 

Beda dengan Zaid dan Aisyah. Mereka diam saja. Sesekali Zaid mengerling ke arah kami.  Entah apa yang dipikirkan Zaid, pastinya mereka memang belum pernah saling kenal, walaupun sama-sama lulusan Yaman. 

Sedangkan Aisyah, aku tahu dia tak mungkin  yang memulai pembicaraan dengan laki-laki yang bukan mahramnya. 

“Waktu kuliah, aku sering sekali ke sini. Bahkan kadang cuma minum segelas Cappucino,” kata Fahri.

“Oya?” tanyaku perhatian.

“Aku sangat menyukai tempat ini. Menurutku … entahlah, apalagi jika pengunjungnya sunyi. Ah nyaman sekali. Nanti aku ajak lagi ke sini, kalau kita sudah menikah. Aku tahu kapan tempat ini sepi.”

Tiba-tiba Zaid berdiri. Kami terkejut akibat tingkahnya. Ada apa dengannya? Laki-laki itu sepertinya sedang marah. Terlihat dari mata dan dagunya yang merapat.

 Ia pun terkesiap. Seperti baru menyadari dari perbuatannya. 

“Sebaiknya kita pulang sekarang!” ucapnya melembut. 

"Kenapa? Lagi pula ini tidak terlalu malam," kening Fahri berkerut, matanya menatap Zaid dengan emosi dan penuh selidik. Perasaanku semakin tak nyaman. Aku tahu, pasti kejadian tadi sedikit banyak mempengaruhi perasaan Fahri. 

Zaid menolehku. Aku menekuk wajah karena ketakutan. 

“Maaf, mengejutkan kalian. Mungkin aku terlalu cape. Aku pikir Mama, Bibi dan Syifa sudah lama menunggu.”

“Baiklah kalau begitu, sebaiknya kita pulang sekarang,” tukas Fahri pasrah tetapi tetap menatap tajam ke arah Zaid. Ketegangan di antara mereka dapat kurasakan. Entah dengan Aisyah. 

            ***

Cinta Dalam Diam. 

Berapa kali aku membaca judul buku yang diberikan Zaid. Apa maksudnya memberiku seperti ini? Ingin menyampaikan perasaannya? Meski tak terucap, aku rasa kami sudah memahami perasaan kami masing-masing. Kami sudah berjanji menyalurkan rasa kepada pasangan-pasangan kami nantinya.

Cinta dalam Diam. 

Aku tersenyum-senyum sendiri di tempat biasa. Di tempat sunyi ditemani bintang-bintang. 

“Ga istirahat dulu, Silmi? Besok siang kita ada tugas lagi, nanti kamu sakit lagi,” celoteh Syifa sambil duduk bersandar di sampingku. “Sepertinya menyendiri di sini, di malam hari, semacam ritual penting saja bagimu.”

Aku tersenyum datar mendengar celoteh Syifa. Dia tak tahu betapa malam  mempunyai arti dalam kehidupanku. 

Dalam sendiri, di malam hari, aku sering merenung. Memikirkan semua lika-liku kehidupan yang kujalani. Hingga aku banyak mendapatkan hikmah di balik semua kejadian. Dan satu titik yang paling mendasar dari semua kejadian adalah semua ini karena Allah sayang padaku. Maka aku pun berjanji untuk selalu mentaati-Nya. 

Sendiri, di malam hari, sering aku mengobati kerinduan dengan mengenang kenangan-kenangan indah kulalui dengan Zaid. Malam harilah aku dan Zaid berdoa, memanjatkan mimpi-mimpi yang indah. Satu doa kami, sama-sama telah terkabul. Mimpi Zaid terkabul, belajar keluar negeri. Dan mimpiku pun terpenuhi, bisa melanjutkan sekolah.

Sedangkan doa rahasia kami? Zaid tidak tahu doa rahasiaku. Aku ingin selalu bersamanya. Itulah doaku di malam itu. Sepertinya doaku yang satu ini tidak terkabul. Hanyalah Allah yang tahu apa hikmahnya. 

Sedangkan doa Zaid, sampai sekarang aku tidak tahu apa doanya. Mudahan Allah juga mengabulkan doanya.  

“Ini buku dari Zaid tadi ya?” Syifa mengambil buku yang ada di tanganku.

“Cinta Dalam Diam. Mm ..., apa ini mewakili perasaannya?”

“Entahlah?” 

“Oh, ya, bagaimana pertemuan kalian tadi? Pasti seru.”

Aku tak langsung menjawab. Pandanganku jatuh ke arah dinding yang bisu. 

“Lumayan, tapi ada sedikit kejadian kurang menyenangkan.”

“Maksudnya?”

“Awalnya karena aku dan Zaid tidak dapat menjaga sikap. Tingkah sempat mengundang perhatian Aisyah dan Fahri. Selanjutnya aku mengobrol dengan Fahri. Saat aku dan Fahri asik ngobrol, tiba-tiba Zaid berdiri dan mengajak pulang dengan nada emosi.”

Mata Syifa membulat.

“Aku sempat takut, terlebih lagi saat Fahri menatap Zaid penuh dengan selidik. Sepertinya Fahri juga terbawa emosi. Beruntungnya Zaid cepat reda emosinya, karena memang tak ada alasan untuknya. Jadi, kami pulang dengan kebisuan.”

Syifa mendesah keras. 

“Mungkin Zaid cemburu dengan keakraban kalian. Bagaimana nanti jika kalian sama-sama menikah dan saling berhadapan. Terlebih lagi jika kalian sama-sama masih memendam cinta. Kalian akan cemburu dengan keromantisan satu sama lain.”

“Jika sudah sama-sama menikah, masihkah memendam rasa cinta dan cemburu? Sedangkan kami sudah sama-sama memiliki, dan punya orang yang kami salurkan rasa cinta dan rindu?”

“Masalahnya tidak semudah itu. Apalagi cinta kalian, anti dan Zaid sepertinya cinta sudah mengakar kuat. Itu terlihat dalam bahasa tubuh dan cara berbicara kalian. Saling perhatian, saling menggoda. Padahal kalian sama-sama tahu, bahwa itu tidak dibolehkan dalam Islam.”

Aku menatap kosong dinding yang kokoh di depanku. Namun pikiranku menerawang, menembus, membentuk kepingan-kepingan bayangan masa silam. 

“Kak, ini untukmu,” kataku sambil menyerahkan sebungkus keripik kentang kepada Zaid. 

“Untukku?” 

Aku mengangguk. “Kakak, suka kan?”

Zaid mengangguk sambil mengambil keripik kentang yang kusodorkan padanya, “Terima kasih, ya, Silmi. Kamu baik sekali.”

“Zaid…”

Bersamaan kami menoleh arah suara. Tante Kurnia.

“Ibu Kakak memanggil. Sana!”

“Iya, sebentar, ya. Mau kan, pegangkan keripikku dulu?”

“Iya, Kak. Sini.”

“Terima kasih.”

Zaid berlari mendekati ibunya.

“Silmi!”

“Eh… Farah. Mau kemana?” tanyaku sambil mendudukkan pantat di ayunan papan di bawah pohon, di halaman rumah Zaid.

“Mau ke rumah sepupuku, disuruh mama mengantar ini.” sahut Farah sambil menunjukkan benda yang dipegangnnya, “mau ikut?”

Aku menggeleng. Farah memerhatikan keripik kentang yang kupegang dua sekaligus. 

“Kamu mau?” 

“Beneran nih, Silmi?” tanya Farah sumringah. 

“Eee....” sebenarnya aku bingung, apa mau kuberikan atau tidak. Jika diberikan, maka aku tak punya keripik lagi. Yang satu ini, sudah kuberikan kepada Zaid. Tapi, sepertinya Farah sangat menginginkannya. “Iya, ini.” seruku sambil menyerahkan keripik kentang punyaku.

“Terima kasih ya, Silmi.” 

Farah mengambil keripik kentangku. “Aku pergi dulu, ya.” Aku mengangguk, sambil menelan ludah. Aku belum memakannya. Aku mulai merutuki perbuatanku.

“Silmi.”

“Eh, Kak Zaid. Ini.”

Zaid mengambil keripik kentang yang kuserahkan, sambil duduk di sampingku.

“Punyamu mana?”

Aku tak menjawab. Mataku memandang ke arah Farah berjalan. Ternyata Farah tak terlalu jauh, masih terlihat sosoknya sambil bungkusan keripik kentang.

“Kamu berikan pada Farah?” tanya Zaid.

Aku mengangguk sambil menunduk. 

“Silmi, Silmi ..., ya sudah. Sekarang keripik ini kita makan bersama ya,” kata Zaid.

“Tapi, Kak … .” Zaid membuka bungkusan keripik kentang itu dan meletakkannya di tengah-tengah kami duduk. 

“Ayo,” Zaid mengambil satu potong dan langsung memasukkan ke mulutnya. Aku hanya memperhatikan bungkusan itu. “Kenapa? Kok masih diam? Kalau tidak mau, sini aku suapi.”

“Kakak, jangan bikin Silmi malu.”

"Kamu sih, dari tadi hanya liatin bungkusannya!”

Akhirnya dengan ragu-ragu kumasukkan tangan ke bungkusan keripik kentang itu. Setelah itu kami sama-sama diam. Sibuk dalam pikiran kami masing-masing. 

Sesekali kulirik Zaid. Mulutnya mengunyah keripik  sedangkan matanya tertuju ke depan. Entah apa yang dipikirkannya. Aku menyukai moment itu. 

Detak Cinta Shafura  Part 39: Berteman Malam   “Silmi dan Zaid berteman?” tanya Aisyah penuh selidik. Dadaku berdebar-debar. Kusuap Soto Ban...
El Nurien
El Nurien

 

Detak Cinta Shafura

 Part 37: Fitnah Laki-laki 



"Shafura."


Refleks kami berpaling, ke arah sumber suara. 


“Kak Zaid?”

“Shafura?” Syifa menatapku heran. 

Astaghfirullah. 

Mengapa Zaid memanggil nama itu di depan umum? Syifa belum tahu, kalau ada nama panggilanku selain Silmi. 

 “Kak Zaid, kenapa kamu di sini? Bukankah harus memilih gaun pengantin?" tanyaku panik. Aku benar-benar tak mengerti, kenapa dia sampai ada di sini. Seharusnya bersama Aisyah dan Tante Kurnia. Bukankah tadi katanya ingin mencari gaun pengantin?

“Oh, itu sudah, dan kebetulan aku juga ada yang mau dicari dan kebetulan, aku lihat kalian di sini," sahut Zaid datar. 

Sepertinya dia biasa-biasa saja, aku saja yang terlalu panik. Syifa mengangkat kedua alisnya, aku balas mendelik. 

"Oh, Syifa, ini Abdurrahman Zaid, tunangannya Ustadzah Aisyah dan …  Kak, ini Syifa sahabat baikku."

Mereka mengangguk sambil menangkup kedua tangan.

"Kamu mau beli jam tangan untuk siapa?"

"Jam tangan untuk hadiah. Tapi, aku bingung mau memilih yang mana, aku juga tak tahu seleranya," seruku polos. Aku mulai merutuki sikap mulai tak terkontrol. 

"Boleh aku bantu?" tanya Zaid.

"Boleh juga."

Aku tak tahu siapa yang lebih terkejut atas kalimat yang meluncur dari mulutku. Aku atau Syifa? 

Zaid mendekati mengamati jam-jam yang terpampang. Astaga, aku dan Zaid berjarak kurang dari lima centimeter. 

Hatiku bagai diamuk badai. Jantung rasanya berdetak kencang sekali. Aku menjauh sedikit, sambil berusaha menahan napas, khawatir kedengaran Zaid. 

"Kamu mau merk apa, Shaf?" tanya Zaid, tanpa mengalihkan pandangannya. Sedangkan Syifa, aku benci melihat sikapnya. Pandangannya penuh arti. 

"Silmi?"

Panggilan Zaid menembus kekalutanku.

"Eh, iya, Kak. Aku juga bingung. Terserah kamu saja. Anggaplah kamu yang beli," sahutku asal.

Zaid mengalihkan pandangannya, keningnya berkerut, matanya menatapku dalam. Hatiku semakin tak karuan. 

"Shaf, kan selera orang berbeda-beda. Bagaimana kalau tidak cocok dengan orangnya?"

'Kalau manggil yang konsisten dong!' gerutuku dalam hati.

"Harus gimana lagi? Setidaknya ada kesamaan. Sama-sama laki-laki,"  sanggahku.

"Baiklah." Zaid kembali memperhatikan pada jam tangan tangan yang berjejer di etalase.

"Pak, coba yang ini, ya." Zaid sambil menunjuk sebuah jam tangan. 

Tak lama jam tangan itu sudah ada di tangannya. Zaid menggulung lengan baju dan memasang jam itu di pergelangan. Jam tangan silver itu terlihat sangat keren di tangannya yang putih, berpadu dengan kaos longgar cokelat muda yang dia kenakan. 

Ia memang selalu terlihat menawan dari kecil.  

"Gimana, bagus ga?"

"Bagus. Sangat bagus," seruku tanpa bisa menyembunyikan kekaguman.

"Kalau begitu, yang ini saja?”

"Iya, ini saja."

Zaid batal melepaskan jam tangan dari pergelangannya, ketika tanpa sadar aku berseru.

"E,e, tungu, tunggu.  Kita paskan dulu ukurannya."

Aku ingin menyesuaikan ukurannya di tangan Zaid. Namun yang terjadi, mendadak aku seperti orang kesetrum. Kehangatan kulitnya menjalari seluruh tubuhku. Astaghfirullah.

Aku terkesiap. Zaid pun seperti tak kalah kagetnya. Entah bagaimana dengan Syifa. Aku tak mau peduli, aku sudah kepalang malu karena kecerobohanku. Tak seharusnya aku menyentuh pergelangannya. 

"Maaf, aku cuma mau mempaskan ukurannya, sekalian kita potong di sini, kataku menunduk. Bisa kan, Pak?" tanyaku kepada penjual. 

"Bisa, Ding. Kalau memang untuk dia, sekalian aja dipaskan ukurannya. Coba sini.”

Walaupun dengan raut kebingungan, Zaid mau saja menuruti perkataan penjual itu. Aku bersyukur, Zaid tak banyak tanya. 

 

        ***

"Setelah ini kita mau kemana lagi?" tanya Zaid, setelah aku menerima bungkusan arloji.

"Kita?" ulangku.

"Oh, iya, aku lupa. Setelah ini kalian mau ke mana?" tanya Zaid sambil mengedarkan pandangannya.

Aku menoleh ke arah Syifa, bertanya lewat isyarat. Ia hanya mengangkat bahu.

"Kalau begitu temani aku ke toko buku," pinta Zaid tanpa menghiraukan majunya kami.

"Hei, kamu seenaknya begitu, main perintah."

Zaid sudah menaiki eskalator tak peduli ucapanku. Anehnya aku mengikuti saja. Syifa tak banyak komentar. 

"Sepertinya kamu sudah sangat mengenali tempat ini ya, Kak?" Toko buku sudah di hadapan kami, kami masuk sambil melihat-lihat. 

"Aku dulu pernah main ke sini bersama Farah,"  sahut Zaid membalikkan tubuh.

Zaid terus berjalan menyusuri rak-rak buku sejarah.     

"Kamu sepertinya tak berubah, menyukai sejarah." Aku memandangi judul-judul buku yang berjejer.

Aku merasa Zaid tercenung menatapku. Ketika aku memalingkan muka, dia sudah terlihat sibuk mencari-cari buku. Baru saja, aku sadar, Syifa tidak bersama lagi. Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling toko buku itu. Dari kejauhan mataku menangkap Syifa di rak buku-buku Agama. 

Tadinya aku ingin menyusul Syifa, tiba-tiba saja mataku tertuju pada deretan rak buku novel. Warna warni sampul dan judul-judul yang terpampang, membuatku menelan ludah. Uangku lagi menipis. 

"Cuma memandangi, Silmi?" Syifa sudah ada di sampingku.

"Kali ini cuma bisa begitu," sahutku tanpa mau mengalihkan pandangan dari keterpanaan terhadap deretan novel-novel itu. 

"Kenapa? Habis?"

"Ga, habis. Cuma menipis, dan ana ga mau benar-benar habis persediaan, gara-gara menurunkan Jawa nafsu.

Syifa tertawa kecil.

"Kenapa anti tertawa?”

“Tidak apa-apa. Ana cuma heran, siapa sih orang istimewa itu, sampai anti harus rela mengorbankan segitu banyaknya. Berapa bulan anti mengumpulkan uang itu, demi sebuah arloji?”

Aku tak langsung menjawab pertanyaan Syifa. Aku mulai menyisihkan sedikit uang dari honor pertama yang kudapatkan. Karena memang dari jauh-jauh hari, aku sudah berjanji akan memberi hal sama, sebagaimana yang diberikan Zaid padaku. Sebuah arloji.

“Tak peduli berapa bulan ana mengumpulkannya Syifa. Yang terpenting bagi, ana dapat berbuat untuk dia. Dan apa yang ana berikan, masih tak berbanding dengan kebaikan yang dia berikan pada ana.”

“Apa ana tahu orang itu?”

Kepalaku mengangguk. “Iya, anti tahu, dan anti pasti juga sependapat dengan apa yang ana lakukan.”

“Siapa dia, Silmi?” Suara bariton telah membuat kami kaget luar biasa.  

Sempat beberapa detik aku diserang kepanikan. Apa dia mendengar pembicaraan kami tadi? Entahlah. Tak ada cara lain selain berusaha menenangkan diri. 

“Kak Zaid, kenapa datangnya diam-diam? Mengagetkan kami saja,” bentakku untuk menutupi salah tingkah. 

“Aku tidak diam-diam. Kamu saja yang asik ngobrol dengan Syifa sehingga tidak menyadari kehadiranku.” Zaid membela diri. 

“Jadi kamu mendengar, pembicaraan kami tadi?” tanyaku hati-hati, aku khawatir dia malah bertanya.

“Sempat sedikit,” Zaid mengangkat muka, keningnya bertautan, “hmm.. orang yang istimewa. Siapa dia? Boleh aku tahu? Apa dia … Ha… ."

“Ahh, kamu! Tak usah ikut campur, ini urusan gadis,” seruku seraya mendorongnya, dan menyeretnya ke deretan buku-buku sejarah, “Tadikan kamu mau cari buku di sini.”

Kutinggalkan dia dalam keadaan bingung. Aku tak peduli, aku hanya berharap, dia tidak terlalu banyak mendengar pembicaraan kami tadi, dan tidak juga menebak-nebak sendiri. 

“Silmi, istighfar!”

“Istighfar? Apa maksud, Syifa.” Aku tak mengerti.  Sebelum bertanya, Syifa sudah memberikan jawabannya.    

“Apa yang anti lakukan tadi pada Zaid? Zaid dan anti bukan mahram!”

Tubuhku mengejang. Bayangan-bayangan apa yang terjadi tadi bagaikan slider berjalan di otakku. Aku memegang, menarik tangan dan juga mendorongnya.. 

“Astaghfirullah. Ana khilaf Syifa, gumamku pelan. hampir saja, air mataku menitis.”

 Aku telah melakukan kecerobohan lagi. 

“Sudahlah, ke depannya hati-hati, jika berhadapan dengan Zaid. Sepertinya Zaid dan anti, sama saja. Bisa lepas kendali, bila bertemu.”

“Doakan ana, Syifa.” Kataku gemetar. 

“Nih, hadiah untukmu?”

“Untukku, Syifa?” ulangku, aku tak bisa menyembunyikan rasa keterharuan.

Syifa mengangguk, “Sejak tadi ana ingin memberi anti hadiah buku, dan kebetulan ana lihat ini. sepertinya cocok untukmu, dan sebenarnya cocok juga untukku.”

 Syifa tertawa-tawa kecil.

Aku mengambil buku yang disodorkan Syifa. Kueja judul yang terpampang di sampul, dengan hati menghangat. Cinta Dalam Islam.

Dahiku mengerut. Penasaran dengan isinya. 

Aku mengangguk dengan tersenyum tipis. “Jazakillah khairan katsira.”

“Wa iyyaki.”

“Kalian sudah menemukan buku yang kalian cari?”

“Kak Zaid, sukanya mengejutkan orang saja.”

Zaid malah tertawa mendengar hardikkanku. “Kamu, Silmi, kenapa jadi gampang kagetan?” 

Syifa pun cekikikan. 

“Kamu sudah menemukan buku yang dicari?” tanyaku merengut. 

“Sudah, nih, sahut Zaid, sambil menunjukkan buku yang dia pegang. Dan ini untukmu.”

Aku menyambutnya ragu-ragu, tapi tak tahu harus bagaimana menolaknya. Terlebih lagi judulnya, sepertinya… .

“Yuk, kita pulang sekarang.” Kata Syifa. 

Dengan cepat kumasukkan buku itu dalam kantong plastik. Terima kasih, Kak.

Zaid menganggukkan kepala dengan menampilkan wajah puas. Aku mengerjap dan sambil menelan ludah. 

Mengapa lelaki ini sangat menawan? Atau imanku yang terlalu rapuh? Bagaimana nanti jika kami jadi iparan? 

Allahumma inni a'udzu bika min fitnatir rijaal. 

Ya Allah, lindungilah aku dari fitnah laki-laki.

        ***

  Detak Cinta Shafura  Part 37: Fitnah Laki-laki  "Shafura." Refleks kami berpaling, ke arah sumber suara.  “Kak Zaid?” “Shafura?”...
El Nurien
El Nurien

Detak Cinta Shafura

 Part 36: Bisik-bisik Kecemburuan 



 Hari ini, hari hantaran Aisyah. Sejak kemarin di rumah Aisyah sudah mulai sibuk. Dan hari ini juga jadwal tes hafalan 30 juz. Ada 30 santri putri, yang terdaftar. Di bentuk 6 team penjaga. Tiap team  terdiri dari 4 orang. Dua orang ustadzah dan dua santri. 


Tak lupa juga, disiapkan orang cadangan, jika yang bertugas ada keperluan mendadak atau sakit. Setiap dua team bergantian shift. Waktu estimasi sepuluh hari akan selesai. In sya Allah. Aku kebetulan kena tugas dengan Ustazah Wahidah. Dua santri bimbinganku kena jadwal pada hari 7, sedang Cahya meminta hari ke sepuluh. 

Jauh hari Aisyah sudah memintaku agar menemaninya pada hari ini. Aku mengelak dengan alasan bertepatan jadwal tes santri. Walaupun dengan berat hati, Aisyah tak memaksaku. Aku bersyukur akan hal ini. Sehingga aku bisa fokus pada tugasku. 

Sesekali kudengar juga, bisik-bisik santri ketika menunggu antrian di kamar kecil.

Aisyah tampil sangat cantik. Ada rasa lega, menyusup dalam rongga dada. Zaid, laki-laki yang kucintai akan mendapatkan istri yang cantik dan salehah.

Mereka sangat cocok. Cantik dan tampan. Ada rasa yang tak bisa kubohongi. Aku iri. Ya, Allah ampuni aku. 

Syukurnya, semua rasa tak mampu lama bergejolak, lebih baik aku fokus mendengarkan bacaan santri. 

Silmi, sebuah panggilan diikuti kemunculan Aisyah di pintu. Aisyah memberi isyarat, menyuruhku mendekatinya. Langsung saja aku memberi isyarat kepada teman untuk menggantikanku. 

"Maaf, Silmi, ana mengganggu anti. Tapi ana perlu dengan anti. Malam ini, Ibunya Abdurrahman mengajak ke mall,  mencari gaun sudah jadi. Mumpung ada Abdurrahmannya di sini, sekalian mencocokkan gaun dengan pakaian laki-lakinya  Dan ibunya Abdurrahman tadi minta untuk mengajak anti."

Alisku mengerut. "Tante Kurnia mengajakku, untuk apa?"

"Ah, Silmi. Sok tidak mengerti segala. Kenapa anti tidak cerita ke ana, kalau anti sudah bertunangan dengan kakaknya Abdurrahman? Fahri. Anti, Sil, masa kebahagiaan ini tidak berbagi dengan ana.  Ana senang sekali, kalau akhirnya kita jadi keluarga," oceh Aisyah.

"Akhir-akhir ini, kita sama-sama sibuk. Tak ada waktu lagi buat kita untuk saling bercerita,"  sahutku asal. 

"Iya, benar juga. Sayang sekali, waktu khataman bertepatan dengan pernikahan ana. Padahal saat-saat seperti ini, ana semakin ingin dekat dengan anti. Berbagi cerita, ingin mengenal Abdurrahman lebih jauh, ah … sudahlah ... Anti siapkan ikut?!"

Otakku berputar keras, mencari alasan untuk menolak. Sibuk? Shift tugasku akan selesai, diganti shift tugas malam."

“Fahri ikut?" tanyaku.

"Yey, sudah rindu ya?"  goda Aisyah.

"Huss hati-hati ngomong. Kedengaran anak santri."

Aisyah hanya cekikikan.

"Bukan begitu, kalau ga ada Fahri atau Farah, maka ana akan mengajak Syifa."

"Hmm … kenapa begitu?" alis Aisyah mengkerut.

"Ana cuma tak mau dikacangin," tukasku asal.

"Yey … memangnya kita pacaran. Sudah ah. Anti siapkan? Habis Isya langsung kesebelah ya, jadi ana ga perlu manggil-manggil anti," seru Aisyah, sambil berlalu tanpa menunggu jawabanku. 

"Sepeninggalannya, mendadak napasku terasa berat. 

Hari yang berat. 

    ***    


Sekitar jam 8 kami berangkat, dengan mobil Om Herman. Zaid yang mengemudi. Fahri ternyata tidak ikut. Tante Kurnia, Aisyah dan Bibi Sarahadik Tante Kurniaduduk di jok tengah, aku dan Syifa di jok paling belakang. Dengan posisi seperti ini, lumayan membuatku sedikit nyaman.

Sepanjang jalan, hanya Tante Kurnia dan Bibi Sarah yang berceloteh. Mereka saling bercerita banyak hal. Tentang anak-anak mereka, makanan khas masing-masing daerah, dan juga sempat-sempatnya diselipi fasyion. Ah, perempuan, memang gila fashion. 

Tante Kurnia menyampaikan salam titipan Fahri untukku. Katanya Fahri sangat sibuk di pasar, sehingga tak bisa ikut. Padahal dia sangat ingin.     

Begitu sampai, memasuki Mall, Tante langsung mendekatiku. Memang begitulah sikap beliau padaku. Penuh kasih sayang. Bahkan sekarang volume bertambah semenjak aku bertunangan dengan Fahri. 

"Silmi, kenapa kamu kelihatan pucat? Kamu tidak apa-apa kan? Tadi waktu acara hantaran kamu ke mana?" Tante memberondongku dengan banyak pertanyaan.

"Ah, tidak apa-apa, Tante. Kemungkinan karena Silmi cuma terlalu cape. Kebetulan lagi sangat sibuk. Kaena itulah, Silmi tak bisa membantu di acara hantaran Aisyah tadi."

Aku jadi kikuk. Aku benar-benar tak nyaman, dengan sikap Tante, terlebih lagi di dekat Aisyah.

"Oh, begitu. Paling tidak, tetap jaga makan, dan luangkan waktu istirahat! Lihat mukamu pucat sekali, dan kelihatan agak kurusan dari kemarin," kata Tante Kurnia sambil mengangkat pergelangan tanganku.

"Insya Allah, Tante," sahutku sambil mengerling ke arah Aisyah. Sepertinya dia tak apa-apa. Ah, ternyata aku saja yang berlebihan.

"Nah, ini dia butiknya," seru Bibi Sarah sambil menunjuk, ke arah sebuah butik,  dari luar sudah terlihat beberapa gaun pengantin muslimah terpajang. 

"Tante, Silmi mau ke sana dulu, ya. Ada yang mau Silmi cari," kataku sambil menunjuk ke arah aksesoris. Tante Kurnia mengizinkan dengan anggukan. 

    ***


"Banyak sekali, Silmi?”

Syifa keheranan, karena aku membeli bros dan gantungan kunci yang cukup banyak. 

"Ana mau ngasih hadiah ke anak-anak, Syifa, dan kalau yang ini, untuk anti." 

Aku memasukkan sebuah gelang ke pergelangannya. 

Dari tadi aku perhatikan Syifa melirik-lirik gelang ini. Aku tak mengerti, kenapa ia tidak membelinya.

"Ini untuk ana, Silmi?"

Syifa mengguncang tangannya dengan binaran surprise.

"Terima kasih banget."

"Iya. Ana beli dua, satu untukku, satu untukmu. Kita memakai gelang yang sama, ini akan menjadi kenangan dalam persahabatan kita. Terima kasih ya, Syifa atas kebaikannya selama ini," mataku rasanya berkaca-kaca, menahan rasa keterharuan.

"Sudah ah, kita jangan melowan di sini. Malu kelihatan orang. Yuk kita ke mana lagi?" seru Syifa sambil mengalihkan pandangannya.

Aku tahu dia hanya ingin menyembunyikan matanya. 

"Beberapa langkah, dari toko kami membeli aksesoris tadi. Tiba-tiba ada yang menarik perhatianku. Boneka. Langsung saja, aku masuk toko boneka itu. Setelah melihat-lihat, akhirnya kuputuskan membeli boneka beruang pink. Sepertinya cocok untuk Helena. Mudahan dia suka. 

"Anti perhatian sekali sama anak-anak anti, terlebih lagi pada Helena. Boneka itu untuk  Helena kan? Ana tahu, anti bukan pencinta boneka."

Aku tersenyum tipis, "ana cuma mau ngasih kenang-kenangan pada mereka. Seperti yang ana katakan pada anti, ana sudah bertunangan. Jadi tak kan lama lagi di sini."

Syifa mengangguk. "Kita kemana lagi?"

"Kita ke toko jam tangan, ya."

"Baiklah, tak masalah."

"Jazakumullah khair."

Kami memasuki sebuah toko jam tangan, deretan jam tangan tersusun rapi dalam etalase. 

"Anti yakin, beli jam di sini? Di sini kan jamnya mahal-mahal."

Aku hanya menepis kekhawatirannya dengan senyuman tipis. 

"Aku bingung, Syifa, mau pilih yang mana. Semuanya bagus-bagus.

Mataku tak bisa lepas dari melihat arloji-arloji  yang berjejer. 

"Kamu beli untuk siapa, Silmi? Ini kan jam tangan laki-laki!"

Belum sempat aku menjawab, tiba-tiba ada yang memanggil namaku.

"Shafura."

Sontak kami menoleh ke arah suara. 

"Kak Zaid?"


Detak Cinta Shafura  Part 36: Bisik-bisik Kecemburuan   Hari ini, hari hantaran Aisyah. Sejak kemarin di rumah Aisyah sudah mulai sibuk. Dan...
El Nurien
El Nurien

 Detak Cinta Shafura

 Part 35: Penolakan 



"Bagaimana bisa anti menjalani semua ini?"

"Entah. Itulah sebabnya ana ingin merenung di sini. Memikirkan dengan jernih semua apa yang telah Allah atur untuk ana."”

"Maafkan, ana. Tak seharusnya ana ke sini."

"Bukan begitu. Ana malah senang dengan perhatian anti. Jujur, mungkin saat ini, hanyalah anti yang bisa memahami perasaan ana. Ana sendiri tak tahu apa yang terjadi dengan perasaan ana. Perasaan ana benar-benar kacau."

"Sabar, ya. Ikhlas." Syifa memegang tanganku.

Aku mengangguk.

"Oh, iya, bagaimana dengan anti?"

"Maksudnya?"

"Maulana Harits??"

"Oh itu..., dia sudah menolak," jawab Syifa sendu. 

Aku jadi merasa bersalah menanyakannya. Aku tak tahu harus bicara apa. Aku tak menyangka Maulana Harits benar-benar menolaknya.

 Apa yang kurang dari Syifa. Cantik, pintar dan berkelas, masih sekufu dengan Maulana Harits, yang katanya anak seorang kyai. Jodoh. Aku benar-benar tidak mengerti. 

"Sabar, ya. Mungkin belum jodohnya,"” kataku lembut. 

Syifa tersenyum pahit. 

"Bukannya ana sangat memimpikan pernikahan, tapi… ."

Aku diam saja, menunggu kelanjutannya.

"Ana cuma merasakan kepahitan dalam menjalani ketidakberuntungan persoalan cinta. Dulu ana menyukai teman kakak ana, tapi laki-laki itu sedikit pun tak menaruh perhatian pada ana. Karena tak tahan memendam rasa cinta, ana menyatakan terus terang perasaan ana padanya. Tapi, apa balasannya?" Syifa menatapku. Aku tetap tak bergeming. Aku bisa menebak dari keketiran kata-katanya. 

“Dia menolak cinta ana. Dan, kemarin? sempat bertunangan dengan laki-laki yang dijodohkan Kyai Ibrahim. Entah kenapa, tanpa alasan yang jelas, dia memutuskan pertunangan. Dan sekarang ana lagi-lagi ditolak oleh seorang laki-laki."

“Ya, mungkin dengan berbagai alasan yang tidak kita ketahui, tapi pada intinya mereka memang belum berjodoh dengan anti?" kataku hati-hati.

Saat ini dia sedang terluka, aku sangat takut perkataanku malah menambah lukanya. 

"Iya, ana sadari itu. Pada hakikat memang belum berjodoh. Tapi segala sesuatu pasti ada sebab. Kenapa mereka menolak ana? Apa yang kurang dalam diri ana?"

"Mungkin masalahnya, bukan permasalahan ketertarikan pada kecantikan, keindahan, atau kelebihan lainnya. Tapi pada persoalan hati, persoalan cinta." Aku menjiplak perkataan Farah kemarin. 

Aku juga teringat cerita Aisyah, tentang Zaid menolak seorang gadis Yaman yang cantik. Cinta. ya, cintalah alasannya. Siapa pun tak bisa memaksakan untuk jatuh cinta atau menghindar dari cinta.

"Mungkin."

"Jadi persoalannya, bukan mereka tidak menyukai anti, hanya saja mungkin dalam hati mereka ada orang lain," ujarku sambil merenung. 

Aku membayangkan, bagaimanakah Zaid bersikap penuh cinta pada Aisyah? Sedangkan dalam hatinya ada orang lain. Aku telah bersalah dalam hal ini. Tidak. Kelebihan Aisyah akan menghapus semua sosokku dalam kehidupan Zaid. Masalahnya aku tak bisa menjauh dari Zaid. Ya, Allah tuntun hati-hati kami. 

Kupandangi Syifa, sepertinya hatinya masih galau. 

“Ayolah, laa tahzani! Ana yakin, ada seorang laki-laki yang mencintai anti, hanya saja saat ini kalian masih belum bertemu. Ibtasimi1," kataku berusaha menyemangatinya.

Syifa tersenyum tipis, “nti, Silmi bisa saja. Syukran. Barakallahu fiik.

"Wa iyyaki."

Aku kembali menatap bintang. Indah sekali. Apa yang dilakukan Zaid saat ini, ya? Apakah dia masih menyukai menatap bintang? Makan keripik kentang?

Tanpa sadar aku tersenyum sendiri. Terlalu banyak kenangan indah yang kami lalui. Terlalu banyak sejarah, yang mengikat hati kami. 

"Ehmm.. Senyum-senyum sendiri, ingat apa hayoo?” 

"Kita shalat tahajud dulu, yuk,” kataku tanpa menghiraukan godaannya. 

        ***

Sekitar jam delapan pagi, setelah sarapan kami memulai membentuk halaqah. Fadia, Nadhirah, Habibah dan aku. Hasil undian yang keluar adalah nama Habibah. 

Jam 12, kami berhenti, persiapan shalat Zuhur, setelah shalat Zuhur, kami mulai lagi. Begitulah seterusnya, kami berhenti, ketika persiapan shalat, makan dan keperluan masuk WC. 

Pada awal-awalnya, Habibah membaca dengan sangat lancar, ada kesalahan sedikit-sedikit, tapi setelah 15 juz ke atas mulai lambat, terlebih lagi 20 ke atas, dia sudah kurang lancar. Berkali-kali dia lupa, bahkan ketika diingatkan pun, Habibah tidak bisa melanjutkan. Sampai akhirnya dia selesai.

Catatan kuberikan padanya, disertai dengan keterangan. Aku memberi pesan pada agar  menjaga stamina. Karena sepertinya dia sangat kelelahan, sehingga konsentrasinya buyar, selain itu juga melancarkan bacaan 15 juz ke atas, sampai benar-benar lancar. Agar lidah benar-benar terbiasa, karena adakalanya, walaupun kita tidak bisa konsentrasi seratus persen, tetapi jika benar-benar lancar, bisa saja kita membacanya di luar alam sadar. Karena sudah benar-benar hafal. Seperti halnya, berjalan menuju sebuah jalan yang sering kita lalui. Walau berjalan sambil mengkhayal, kaki tetap saja melangkah ke arah tujuan, tanpa harus selalu di ingatkan oleh akal. 

Sedangkan Nadhirah, bermasalah pada ayat-ayat mutasyabbihat. Dia sering terjungkal, ketika berhadapan dengan ayat mutasyabbihat. Mungkin waktu pengulangan hafalan, Nadhirah kurang cermat membedakannya. Allahu a'lam. 

Aku hanya bisa menyuruhnya mencatat ayat-ayat mutasyabbihat yang sulit baginya, atau melanjutkan ke ayat berikutnya. Terus mencatat sampai benar-benar lancar, menulis tanpa ada kesalahan, menulis sampai betul-betul hafal. Memang benar-benar memerlukan kesabaran. Namun, jika dia benar-benar menaruh perhatian, insya Allah dia bisa. 

Sedangkan Fadia, dia berjanji akan sam’an dengan temannya, yang kebetulan lagi haid. Jadi temannya bisa fokus membantunya. Alhamdulillah satu pekerjaan selesai. Semoga Allah memudahkan langkah mereka.

Selanjutnya aku menaruh perhatian, anak-anak ku tes per tiga juz. Setidaknya aku punya waktu tiga hari untuk mereka. Alhamdulillah semuanya berjalan lancar, dengan hasil yang memuaskan. Dan malam ini, aku ingin membaca surat balasan dari Hans. Sudah berapa hari yang lalu kuterima surat ini, melalui Helena. Namun, baru sekarang aku bisa membacanya. Lagi-lagi di tempat biasa. Tempat yang menjadi saksi bisu, aku merenung, berpikir, dan sesekali ditemani Syifa. 

Assalamu ‘alaikum warahmatullah

Alhamdulillah, kabarku baik. Semoga anti juga baik-baik di sana. Aamiin.

Alhamdulillah, ana terima surat anti dengan lapang dada. Awalnya ada sedikit goncangan, tapi ana yakin, ini semua adalah kehendak Allah. Alhamdulillah ‘ala kulli hal. 

Iya Ukhti, ana memahami, bahkan ana senang, Ukhti lebih memilih bakti kepada orang tua, daripada mendahulukan perasaan sendiri. Dan ana pun tidak akan senang, bila anti mendahulukan pilihan anti dari pada orang tua. Keridhaan Allah terletak pada keridhaan orang tua. 

Terima kasih Ukhti, atas doanya. Semoga anti juga mendapatkan pasangan, yang selalu menyayangi dan membimbing anti dalam agama. Aamiin. 

Andai boleh meminta. Ana minta, sepeninggalan ana nanti, ana minta tolong perhatikan Helena. Dia telah ditinggalkan ibu, dan sekarang ana terpaksa meninggalkannya lagi untuk sementara. Ini akan membuatnya sedih lagi. Insya Allah, dengan kehadiran anti, Helena akan terhibur dan merasakan kasih sayang. Helena sangat menyukaimu. 

Sebelumnya, ana ucapkan Terima kasih. Maafkan, jika ada kesalahan ana dan adik ana. 

Barakallahu fiikum. Jazakumulah khairan katsira. 

Hans. 

Alhamdulillah. Betapa besar hatimu. Semoga kamu berjodoh dengan gadis cantik nan shalehah. 

        

 Detak Cinta Shafura  Part 35: Penolakan  "Bagaimana bisa anti menjalani semua ini?" "Entah. Itulah sebabnya ana ingin merenu...
El Nurien