Cerpen, cerbung, novel, novel roman, novel rumah tangga, tips kepenulisan, novel religi, novel inspirasi, drama rumah tangga, novel romantis
Menu

KLIK FOTO UNTUK MELIHAT DESKRPSI

 

 

   







Results for "Novel Religi"
El Nurien


Detak Cinta Shafura

 Part 34: Realita 



 Setelah menemui Fadia, Nadhirah, dan Habibah tadi, langsung  teringat pekerjaanku yang belum selesai. Hari ini harus selesai. Menyalin nilai santri ke buku raport, memeriksa catatan laporan tahfiz, memberi jawaban kepada Hans. Ah,  pekerjaan ini rasanya berat sekali. Betapa aku masih ingin ikut bersamanya. Walaupun hatiku telah terpaut kepada Zaid, tapi aku merasa pergi bersama Hans adalah jalan yang terbaik. 

Astaghfirullah, bukankah Allah lebih tahu apa yang terbaik buat hamba-Nya? 

Setelah selesai menyalin nilai ke raport santri, terbersit mendahulukan menulis surat dulu kepada Hans, tapi di sisi lain, aku khawatir akan melibatkan emosi lagi, alih-alih nanti malah menelantarkan pekerjaan lainnya. Maka kuputuskan memeriksa catatan tahfiz santri dulu. 

Ada kebahagiaan lagi yang menyusup ruang hati, ketika menatap satu persatu catatan-catan tahfiz santri. Ada yang baru 3 juz, 6, bervariasi, bahkan yang sudah 15, 20, bahkan 21 juz. Anugerah yang sangat indah buatku. Betapa aku bahagia melihat hasil ini, dan aku tak ingin kebahagiaan hilang karena kelalaianku.

Langsung saja aku catat nama-nama santri disertai dengan berapa hafalan mereka. Mereka akan kuberi tugas, menguatkan hafalan dulu, setelah itu mereka akan ikut tes hafalan halaqah 3, juz, 6, juz, 9, 12, 15, 21, 24, dan 27 juz. 

Sebenarnya sistem di sini menggunakan sistem kelas perlima juz. Kelas satu mereka yang hafalannya di lima juzz pertama. Begitu seterusnya perlima lima juzz, puncaknya di kelas enam. 

Tapi berbeda denganku. Aku dikhususkan memegang santri yang mempunyai banyak masalah dalam proses menghafalnya, atau dengan kata lain, mereka paling terlambat dalam menghafal. 

Dengan fokus memerhatikan mereka maka akan menemukan kelemahan mereka. Seperti Helena, ia kesusahan beradaptasi dengan lingkungannya sehingga perasaannya selalu buruk hingga akhirnya juga berpengaruh pada kesehatannya. Kesehatan buruk juga akan berdampak pada kinerja fisik dan otak. 

Beda lagi dengan Cahya. Cahya ternyata memang daya ingatannya sangat lemah, tapi ia antusias dalam ilmu. Karena itulah, aku pinjamkan buku tafsir yang telah diberikan Zaid padaku. Alhasil, ternyata hasil luar biasanya. Ia menghafal dengan pemahaman. Tahun pertama dia sangat kesulitan, ia sempat menyerah. Alhamdulillah, setelah dengan memakai metode ini, dua tahun ia bisa ikut tes untuk tahun ini. 

Alhamdulillah. Semoga Allah mudahkan. 

Mereka tak kuizinkan menambah  hafalan, sebelum mereka lulus dalam halaqah-halaqah tes tersebut, sesuai hafalan yang mereka miliki. Aku tak ingin apa yang menimpa padaku, terjadi pada santri-santri bimbinganku juga. Cukup satu kali kehilangan tongkat. 

Dulu aku terlalu bernafsu menyelesaikan hafalan. 3 tahun sudah kuselesaikan setoran 30 juz, tapi giliran persiapan tes, ternyata hafalanku berantakan. Fokusku, saat itu hanyalah menambah dan menambah, sehingga aku keteteran dalam menjaganya. Alhasil, hampir dua tahun kemudian, baru aku bisa menyempurnakan 30 juz. Satu tahun mengabdi, tahun berikutnya baru aku mengikuti program alim. Program menelaah kitab-kitab. 

Aku sangat menyesali kerakusan dalam menghafal, kini kurasakan hikmahnya. Setidaknya tidak akan terjadi pada anak bimbinganku, selama mereka mau patuh dengan petunjuk yang kuatur. In sya Allah.

Lima orang 3 juz, dua orang 9 juz, dua orang 12 juz, tiga orang 15 juz, sisanya lima orang, belum mencapai 3 juzz.

Dibanding Ustadzah yang lain, aku yang paling sedikit memiliki murid. Tapi, Alhamdulillah. 

Terima kasih, Ya Allah, semoga semua pahala ini mengalir kepada semua orang yang telah ikut membantuku berada di sini.

Sekarang tinggal menulis surat untuk Hans. Aku tersanjung dengan perhatian Hans padaku. Gadis mana yang tidak tersanjung dengan perhatian seorang Hans? Hans, yang sempat menjadi tempat harapanku. Membawaku pergi ke Mesir. Namun, Allah berkehendak lain. Semoga Hans memahami dan tidak terluka dengan jawaban yang akan kukirim padanya. 

"Assalamu ‘alaikum warahmatullah. 

Kaifa hailuk, ya Akhi? Semoga Allah selalu menjaga dan merahmatimu selalu. aamiin. 

Pertama, ana ucapkan Terima kasih atas segala kebaikan dan perhatian yang antum berikan padaku. Ana sangat tersanjung. Ana tersanjung dengan lamaranmu,  tersanjung dengan ajakanmu ke Mesir. Sungguh, ana sangat tersanjung sekali. semoga Allah juga menyenangkan hati antum.

Sebelumnya ana minta maaf, karena tidak bisa menerima lamaran antum. Bukan ana tak menaruh perhatian pada antum, hanya saja ibu ana telah menerima laki-laki lain untuk ana. Maka tiada jalan lain, selain mentaatinya. maafkan atas kelemahan ana. Semoga antum tidak terluka dan dapat memahaminya.

Semoga antum menemukan gadis shalehah yang cocok untukmu, yang bisa menemanimu belajar ke mana pun. Gadis yang taat pada Allah, Rasul-Nya, dan padamu.

Baarakallahu fikum. Jazakallah khairan katsira.  

Wassalam. 

Silmi.

Tanpa sadar, air mataku menetes. Tak bisa kugambarkan bagaimana perasaan ini, ketika menulis surat, dan aku sendiri bingung kenapa begitu. Ada rasa haru, tapi ada juga rasa sedih. Sedih kenapa? Bukankah aku tak mencintai Hans? Bahkan, niatanku menerima hanyalah aku ingin Hans membawaku sejauh mungkin. Lantas kenapa aku sedih atas apa yang terjadi? Apakah aku mulai menyukai Hans? Entahlah. Kurasa aku normal, bila aku mulai menyukai laki-laki seperti Hans. 

***

"Belum tidur, Silmi?"

Aku mengangkat kepalaku, memandang ke arah suara. Syifa. 

"Belum ngantuk. Anti sendiri?"

"Tadinyaa sudah tidur. Barusan terjaga, dan kulihat anti tidak ada di kamar. Jadi ana ke sini. Ana yakin betul, anti ada di sini."

Syifa ikut bersandar di dinding, tempat yang biasa aku kunjungi untuk berbagi kisah. 

Tanpa sadar aku melirik pergelangan. Aku lupa. Arlojiku sudah tidak bersamaku lagi.

"Sudah jam berapa?"  tanyaku lirih. 

Syifa memandangku sesaat, beralih ke pergelangan, lalu berucap, "Hampir jam 12. Arlojinya mana? Sudah dimuseumkan?"

Nada mengejeknya membuatku tersenyum.

Syifa bersandar di dinding dengan mata terpejam. "Kenapa belum tidur? Masih belum move on?"

"Tidak. Ana cuma ingin merenung, setidaknya untuk malam ini, ana ingin menatap langit. Besok-besok, ana akan sibuk. Persiapan tes untuk Fadia, Habibah dan Nadhirah. Dan ana sudah meminta anak-anak ana tes halaqah per lima juz. ”

Syifa membuka matanya, lalu menghadapi. 

"Silmi, bukankah setelah tes selesai, kita menyiapkan persiapan acara khataman? Dan itu bisa juga melibatkan santri, tak terkecuali anak-anak yang ada di bawah pengawasanmu?"

"Iya, ana sadar itu. Semuanya sudah ana catat, rencananya sesudah selesai mendengarkan hafalan Fadia, Nadhirah dan Habibah. Ana sudah mengkonfirmasi, siapa-siapa yang siap menjadi penjaganya." 

"Kenapa, anti begitu berambisi mengatur semua ini? Bukankah anak-anak bisa tes halaqah, setelah mereka istirahat liburan dan masuk kelas lagi?"

“"Ana tak yakin, apakah ana masih di sini setelah itu," sahutku berusaha menahan gelombang di hati.

"Apaa?" Syifa mengangkat alis, “"apa, anti mau keluar dari sini, setelah pernikahan Ustadzah bAisyah?"

"Mungkin begitu. Bukan karena pernikahan Aisyah dengan Zaid."

"Lantas?"

"Karena ana sudah ditunangkan."

"Masya Allah… ."

Mata Syifa berbinar. Mendadak binaran matanya pun turun seketika, karena melihat sikap sayupku, "dengan siapa?"

“Fahri, Kakaknya Zaid."

"Apa???" Syifa menjerit tak percaya, "Fahri, kakaknya Zaid? Apalagi ini, Silmi?"

Syifa menggeleng-gelengkan kepalanya. 

“Ini kenyataan, Syifa,"  tegasku.

"Bagaimana dengan anti? Maksudku..., ana sendiri tidak tahu harus ngomong apa. Anti mencintai Zaid, tapi anti menikah dengan kakaknya. Ini, sulit dimengerti."

"Beginilah yang realitanya, Syifa," sahutku. Pandanganku kosong, menerawang entah kemana. Seakan-akan menembus angkuhnya dinding yang ada di depanku. 

"Andai..., andai ana bisa. Ana pun tak ingin seperti ini. Bahkan sebelumnya, ana ingin pergi dari sini, ikut Hans. Tapi, tanpa ana ketahui, Ibu telah menerima lamaran Fahri.”

“Hans?"  Syifa memiringkan kepalanya.

"Iya, Hans sempat melamar ana, dan dia mengajak ke Mesir karena dia ingin kuliah di sana. Kupikir inilah jalan yang ditawarkan Allah untukku, agar bisa jauh dari Zaid. Ternyata tidak, malah semakin dekat."

"Bagaimana bisa anti menjalani semua ini?"

Detak Cinta Shafura  Part 34: Realita    Setelah menemui Fadia, Nadhirah, dan Habibah tadi, langsung  teringat pekerjaanku yang belum selesa...
El Nurien
El Nurien

 Detak Cinta Shafura

 Part 34: Indahnya Persahabatan 




"Silmi," pekik Fitri ketika melihat kedatanganku. Sesaat Fitri mengumpat, dia kecolongan, Hilma lebih dulu memelukku. Mata fitri memelotot, Hilma menjulurkan lidahnya. Tingkah mereka menciptakan tawa. 

"Antunna ini terlalu lebay, kaya berpisah sekian tahun saja,"  kataku sambil tertawa.

"Bukan sekian tahun, Ukhti, seperti puluhan tahun malah,"  balas Fitri. 

"Oya, berarti ana sangat dirindukan dong?!" godaku.

"Sangat,"  sahut Fitri mantap.

"Alah, Fitri. Palingan rindu oleh-olehnya,"  celetuk Hilma. 

"Ana memang rindu, kok. Anti jahat, Hil, bikin malu saja. Walaupun beneran ya jangan dibilang-bilang!” Fitri cemberut, pipinya semakin bulat. Spontan kami tergelak. 

"Ga apa-apa, Fit, sekali-sekali jujur untuk masalah itu. Kalau seandainya ana ga paham, terus semua oleh-oleh ana kasih ke anak santri bimbingan ana semuanya, gimana? Hayoo… ."

"Ah, Silmi. itu ga mungkin. Ana tahu, Silmi itu teman ana yang paling baik."

Aku mencibir, sambil menyerahkan kantong plastik berisi oleh-oleh padanya. Sudah kusiapkan untuk mereka. Setelah meletakkan tas di dekat lemariku, aku mendekati Syifa dan mengulurkan tangan. 

"Apa kabar, Syifa?"

Rinduku menyerbu hingga tak kuasa untuk tidak memeluk. Syifa sudah seperti kakakku sendiri. Umur kami memang selisih tiga tahun. Dia tiga tahun lebih duluan dariku di pondok ini. Hanya saja setelah khataman, dia keluar dari pondok ini.

Pondok ini adalah pesantren non formal, sehingga lulusan pondok ini tak bisa melanjutkan ke sekolah formal atau kuliah misalnya. Selain ikut menempuh pendidikan di pondok ini, Syifa tetap menjalankan pendidikan formal, bahkan ia sempat kuliah di universitas umum. Tetapi ternyata Syifa tak cocok dengan dunia luar yang menurutnya terlalu bebas. Ia risih saat mengetahui ada di antara siswa yang pacaran sambil menunggu kedatangan dosen. Akhirnya Syifa memutuskan kembali lagi ke pondok.  Mengambil program alim, satu kelas denganku.

"Alhamdulillah, baik. Anti?" Aku senang sekali melihat binaran kebahagiaannya. 

"Alhamdulillah, sudah baikan," sahutku dengan memberikan senyum yang tak kalah indahnya. 

"Aku memang bahagia sekali hari ini. Bertemu teman-teman seperjuangan, bukankah sangat membahagiakan? Persahabatan itu menjadikan semuanya menjadi indah. Begitu juga persahabatanku dengan Aisyaj. Walaupun ada cinta membentang merah dalam persahabatan kami, aku yakin persahabatan itu akan tetap indah. 

Aisyah, sudah pagi tadi aku menjenguknya, sekalian mengantar oleh-oleh, dodol asli dari Kandangan. Wajah semringah menularkan senyum di bibirku. Tak lupa dia mengabariku, hari hantarannya, pernikahan, resepsi di sini dan di rumah Zaid. 

Aku manggut-manggut saja, pura-pura serius mendengar. Sebenarnya hatiku menerawang entah kemana, lagi pula Tante Kurnia sudah memberitahukan itu. Aisyah memintaku menemani di hari hantaran nanti, tapi aku tak bisa menjanjikan dengan alasan sibuk sekali. Sebenarnya jika mengingat dia sahabat karibku, sudah semestinya aku akan berusaha meluangkan waktuku. Hanya saja..., aku ingin menghindar. 

Kini sudah tertumpuk di depanku kertas-kertas jawaban santri dan catatan perkembangan tahfiz santri asuhanku. Ada rasa jengah ketika menghadapinya, di sisi lain, ini cukup buatku untuk menyibukkan diri. Melupakan sesaat apa yang telah terjadi. 

Lega, senang, inilah yang kurasakan, hasil nilai jawaban anak-anak pelajaran yang diamanahkan kepadaku. Semuanya membuatku puas dan bersyukur. Rata-rata di atas tujuh, kalau ada di bawah dari nilai itu, hanyalah beberapa orang saja. Artinya mereka memahami apa yang kusampaikan. 

"Syifa, kapan tes 30 juz, apa sudah ditentukan harinya?"

Aku mengalihkan pandangan kepada Syifa. Kelihatan dia sudah santai. Mungkin pekerjaannya sudah selesai. 

"Senin ini."

Syifa menjawab tanpa mengalihkan pandangannya dari menelaah buku. 

"Senin ini? Dimajukan, ya?"

“Iya. Soalnya, khatamannya mau dibarengkan dengan hari pernikahannya Aisyah. Pada hari khataman kan banyak wali santri, bahkan ibu-ibu pengajian yang datang, jadi sekalian saja. Setelah tes waktunya cuma dua minggu buat persiapan acaranya, juga para santri menyiapkan segalanya."

Kepalaku mengangguk. Teringat bagaimana  khataman dulu. Lulus tes 30 juz suatu hal yang sangat menggembirakan. Namun kegembiraan itu tak berlangsung lama, karena aku harus berhadapan dengan pembiayaan khataman. Bukan biaya sedikit buatku, aku ke sini pun karena kebaikan Om Herman dan Zaid. Untunglah, Kak Saada menyanggupi semuanya. 

Syifa terlonjak akibat pekikanku yang tiba-tiba. Aku panik ketika diingatkan akan tiga anak didikku. Apakah mereka sudah siap?

"Anti kenapa, Silmi? Koq panik begitu?"

"Aku teringat Fadia, Nadhirah, dan Habibah. Apa mereka sudah siap? Aku mencari mereka dulu," seruku sambil berlalu, tanpa memperhatikan responnya. 

"Fadia, Nadhirah dan Habibah mana?"

Aku memanggil Fadia saati ia berjalan di lorong kelas. Ia tak langsung menjawab, mengedarkan pandangannya ke sekitar. 

"Itu mereka, Ukht!"” tunjuk Fadia ke pintu kelasnya. Terlihat Nadhira dan Habibah, berjalan ke arah kami. 

“Ukhti mencari kami?" tanya Nadhira, setelah dia dan Habibah, mencium tanganku. Aku benar-benar tak suka hal ini. Aku sama halnya seperti mereka, namun aku harus menghargai posisiku, sebagai pembimbing mereka. 

"Katanya Senin depan, jadwal tes. Apa antunna sudah siap?"

"Wajah Nadhirah dan Habibah berubah mendung.

"Ada apa, Nadhirah, Habibah?" Aku tak bisa menyembunyikan kekhawatiranku. 

"Kami tak menyangka, jadwalnya dipercepat, Ustadzah. Kami tidak punya keberanian untuk maju," jawab Habibah dengan wajah memprihatinkan.

"Belum lancar betul, Ustadzah. Belum lagi, pada ayat-ayat mutasyabbihat. Jika bertemu ayat-ayat itu kadang malah membuat bacaan semakin kacau. Ana tak yakin, apakah bisa lancar dalam seminggu ini. Jadi ana pikir, ikut tahun depan aja, Ustadzah. Daripada dipaksakan, takutnya tidak lancar, malah membuat kami harus menanggung malu," kata Nadhirah.

"Kenapa berpikiran begitu? Gagal dalam berusaha, adalah hal yang biasa. kenapa harus malu? Lagi pula, kalau tahun depan, takutnya karena waktu semakin longgar, dan antunna berleha-leha, maka hafalan antunna… ."

Aku tak bisa meneruskan ucapanku, begitu melihat wajah bergidik mereka. Aku sendiri tak bisa membayangkan, hafalan yang ditanam, dipupuk dan dirawat sekian tahun, tercerai berai gara-gara kesalahan sendiri. Kesalahan yang dibuat-buat. Berleha-leha. 

"Tapi,"  lirih Nadhirah.

"Bagaimana, kalau antunna simaan dulu sama ana? Nanti ana catatkan apa-apa kesalahannya, dan juga kesulitan-kesulitan lainnya. Setelah itu antunna coba memberbaiki kesalahan yang ana catatkan dan menaruh perhatian pada kesulitan antunna yang ana catatkan.


Gimana?  Masing-masing mendapat waktu dua hari buat bergiliran. Kita berempat, sama-sama saling menjaga. Bisakan? Mau kan Fadia membantu kami?" Tanyaku sambil memalingkan pandangan ke arah Fadia. Fadia mengangguk pasti. 

“Nah, sekarang bagaimana dengan antunna? Mau kan mencobanya? Ada waktu tiga hari untuk memperbaiki kesalahan dan mengatasi, mencermati ayat-ayat mutasyabbihat. Mau kan? Ayolah, ini kesempatan! Tak apa kita berlelah-lelah seminggu ini, ya."

Nadhirah dan Habibah saling berpandangan, tatapan-tatapan mereka seakan-akan pinta pendapat satu sama lain. Beruntungnya mereka memang sangat akrab, setidaknya mereka bisa saling menguatkan.

"Baiklah Ustadzah, akan kami coba," balas Nadhirah dan Habibah berbarengan, spontan juga melahirkan tawa yang menggelitik. 

"Oke, hari ini boleh istirahat. Besok kita mulai, siapa yang duluan?" tanyaku penuh semangat. 

"Nadhirah."

"Habibah."

Dua sahabat ini saling menodong satu sama lain membuat kami tertawa.

"Baiklah, kalau begitu nanti kita undi, ya? setuju?”

"Setuju." Koor tiga sahabat itu. Lagi-lagi kami tertawa. Ah, rasanya, aku ingin selamanya mengabdi di pondok ini. 

***



 Detak Cinta Shafura  Part 34: Indahnya Persahabatan  "Silmi," pekik Fitri ketika melihat kedatanganku. Sesaat Fitri mengumpat, di...
El Nurien
El Nurien

 

Detak Cinta Shafura

 Part 32: Tanggung Jawab Mahram 



“Terima kasih, Kak.” 

Kak Sakti hanya mengangguk, sambil menurunkan tas pakaianku dari motornya. Laki-laki pendiam ini wajahnya terlihat lebih tua dari usianya. Mungkin karena sejak kecil ia sudah bekerja keras dan selalu serius. 

Kutarik napas dalam-dalam, dan mengembuskan secara perlahan. Lega sekali. Perjalanan selama 6 jam, memerlukan perjuangan bagiku. Beruntungnya selama itu aku bisa bersenandung sambil tilawah menghilangkan kejenuhan. Aku merasa terkesan ketika menyadari, ternyata aku bisa tilawah sebanyak 6 juz. Hmm.. 1 juz, satu jam, bukan hal yang baik. Terlalu lambat. Namun patut disyukuri.

"Hei, kenapa melamun di situ?" Kak Sakti menyadarkanku. Tasku sudah ada di teras rumah Kak Saada, dan Kak Sakti duduk mendekati motornya. Sepertinya Kak Sakti masih sibuk, sehinga tak menyempatkan mampir ke rumah Kak Saada. Tiba-tiba ada pertanyaan yang menggelitik hatiku. 

"Kak.”

"Hmm…." Kak Sakti mematikan motornya.

"Kakak tahu ga, kalau perempuan itu dilarang bepergian jauh kecuali dengan mahram?"

Tanyaku hati-hati. Aku tak mengatakan dia buta agama, tetapi kakakku yang satu ini memang bukan laki-laki yang sangat paham agama. Kak Sakti sebagaimana orang-orang pada umumnya. Islam itu syahadat, shalat, puasa, zakat, dan naik haji bagi yang mampu. Hanya itu. Tak tahu tentang hukum hijab, tentang hukum pergaulan, dan lain sebagainya dalam agama Islam.

Kak Sakti menggelengkan kepalanya sambil menautkan dua keningnya, sebelum meluncurkan kata. 

"Tidak tahu. Kenapa?"

Ia turun dari motornya.

"Tidak apa-apa, Silmi cuma heran kenapa Kakak berusaha menyempatkan mengantar dan menjemput Silmi? Padahal Kakak tidak tahu, bahwa itu kewajiban Kakak."

"Hmm.."

"Kenapa?"

"Apanya?"

"Kenapa Kakak mau-maunya menyempatkan diri meluangkan waktu untuk Silmi, padahal kan Kakak sendiri sibuk, dan Kakak kan bisa menyuruh Silmi pulang sendiri naik taksi?"

"Oh.. itu," kembali alisnya bertautan, seakan-akan dia sendiri baru menyadari apa yang telah dilakukannya padaku. 

"Mungkin, karena kakak menyayangimu. Di mata Kakak, kamu seperti bunga yang cantik dan polos yang harus dilindungi. Kamu terlalu lemah, untuk menghadapi ganasnya embusan angin luar atau tangan-tangan jahil."

Seketika air mataku merembes keluar tanpa bisa kucegah lagi. Betapa beruntungnya aku memiliki kakak laki-laki seperti Kak Sakti. Meski ia belum memahami hukum perempuan bepergian, setidaknya rasa tanggungjawabnya begitu besar dan cermat.

"Lho, kenapa menangis? Apa Kakak salah bicara?"

"Tidak, Kak. Silmi cuma terharu. Semoga suatu saat Silmi bisa membalas kebaikan Kakak."

Kata-kataku terasa bergelombang. Aku benar-benar tak tahan menahan rasa haru. Sejak kecil aku selalu dikelilingi orang-orang istimewa.

"Sudahlah. Melihatmu seperti ini, Kakak sudah senang. Berapa banyak santri yang kamu ajarkan, sebanyak itu mengalirkan kebahagiaan di hati Kakak," Mata Kak Sakti mulai berkaca, namun dengan cepat dia menutupi dengan gurauan. 

“Hei sudahlah. Hapus air matamu, kamu tahu tidak? Air matamu itu bisa melumpuhkan laki-laki sekuat Mike Tyson."

Aku langsung tergelak. Tiba-tiba aku pun teringat perkataan Zaid pagi tadi.

Ayolah, Silmi, hapus air matamu. Jangan sampai aku melakukan kemaksiatan dengan menyentuh pipimu untuk menghapus air mata.”  

“Bahkan bisa menghanguskan iman laki-laki yang kuat agamanya,” batinku.

Aku merengsekkan badan ke tubuh Kak Sakti. Seketika tangan Kak Sakti langsung merengkuhku. 

"Kakak harus melindungiku sampai aku menikah."

"Pasti. Dan walaupun sudah menikah, aku pastikan melihatmu bahagia. Akan aku hajar Fahri kalau dia berani menyakitimu."

Aku tertawa. Pada saat bersamaan air mataku merembes. Aku bertanya-tanya mengapa aku tidak melakukan ini pada ibu dan Kak Saada? Apakah karena Kak Sakti seorang laki-laki sehingga aku merasa aman?

"Aku tak sadar, ternyata kau sudah sebesar ini dan tak lama akan menikah."

Aku mengeratkan pelukanku. 

"Maafkan Kakak. Kakak dulu terlalu sibuk bekerja, jadi tidak banyak menemani dan menjagamu."

Aku melepaskan pelukanku. Lalu menggelengkan kepala. 

"Kakak sudah banyak berbuat untukku. Silmi bangga punya saudara seperti Kakak."

Kak Sakti tersenyum.  Tangan kasarnya terangkat, mengusap wajahku. 

"Masuklah."

Aku mengangguk.“"Kakak tidak masuk dulu?"

"Nanti saja, Kakak masih banyak pekerjaan. Kakak pergi dulu, ya," seru Kak Sakti sambil menghidupkan kendaraannya.

Aku mengangguk,“"hati-hati di jalan."

Kak Sakti mengangguk, "Titip salam buat Kak Saada, sampaikan maafku karena tidak mampir dulu, Assalamu alaikum."

“"Wa alaikum salam warahmatullah."

***

Benar seperti dugaanku, begitu melihat gangan yang kubawa, Kak Saada langsung meluncur keluar rumah mencari ikan gabus bakar, bahkan kalau bisa ikan kerapu bakar, celotehnya sambil mengeluyur pergi. 

"Lama sekali belinya? Jauh, ya?" tanyaku sambil memperhatikan cara makannya yang seperti orang kelaparan.

"Iya jauh sekali. Sebenarnya kalau ikan gabus, di sekitar sini ada yang jualan, tapi aku ingin makan ikan kerapu, dan aku ingat di Komplek Handayani ada jual ikan kerapu bakar. Untungnya mereka jual hari ini, jadi pengorbananku tidak sia-sia," sahutnya sambil mengunyah. Aku tersenyum geli. Sepertinya nikmat sekali di lidahnya. 

Senyumku lenyap begitu saja, ketika dia bertanya, sambil menatap piringku.

"Silmi, makananmu masih banyak?"

Aku menatap pasrah piringku, yang hanya berlubang sedikit. Selera makanku benar-benar buruk.

"Bukankah ini juga sayur kesukaanmu, tapi, kenapa? Ada masalah?" tanya Kak Saada perhatian. "Sudahlah, makan dulu! Nanti kalau ada yang diceritakan, aku siap mendengarkan."

Aku menurut saja perintahnya, walaupun aku benar-benar tak merasakan kenikmatan gangan karuh  ini. Apa indera rasaku bermasalah? 

"Nah gitu dong, kalau sudah selesai makannya, kita bisa membicarakannya," seru Kak Sa’ada begitu melihat piringku sudah licin. Kak Saada memajukan tubuhnya.

"Ada masalah apa? Sampai-sampai makanan favoritmu sendiri, tidak kamu nikmati?"

Aku tak langsung menanggapi, aku berdiri untuk membereskan bekas kami makan.

"Tak usah, nanti saja. Mumpung Aina dan Aiman belum pulang. Kalau ada mereka kita tidak bisa bebas bicara. Katakan. Ada apa?

"Aku bertunangan dengan Kak Fahri," lirihku berusaha datar.

"Apa? Fahri, kakaknya Zaid?" tanya Kak Sa’ada dengan mimik tak percaya. "Kok bisa? Gimana ceritanya?"

Kepala Kak Saada manggut-manggut menerima ceritaku, sesekali senyum mengembang, senyum jahil menyela di wajah. 

"Sekarang, bagaimana denganmu?"

"Aku?"

"Iya, apa kamu sudah siap menikah dengan Fahri?" Kak Saada tekanan di ujung kalimatnya.

"A-a-ku...." 

Sewaktu Zaid mengatakan semuanya akan-akan baik saja, aku percaya saja. Aku siap menjalani takdir yang akan jalani, menikah dengan Kakaknya Zaid. Tapi setelah melihat getaran dan keringat lembut di tangannya, hatiku mulai bimbang. Terlebih lagi setelah dia hilang dari pandanganku, rasa kehilangan menerpaku.  Kepercayaan itu hilang.

"Kenapa?" tanya Kak Saada penuh perhatian. 

"Entahlah, Kak.” Ingin rasanya aku menangis."

Tangan Kak Sa’ada meraih tanganku dengan lembut, “katakan. Siapa tahu, kita bisa mencari penyelesaiannya, atau setidaknya perasaanmu sedikit nyaman.” 

Kak Sa’ada mengangguk, setelah melihat keraguanku.

"Tadi sewaktu Zaid bilang semua akan baik-baik saja. Aku percaya, tapi setelah kami berpisah, keyakinan itu luntur, bahkan hilang. Aku tak yakin, apakah kami bisa, baik-baik saja, sebagai iparan."

 Setelah kerinduan kami begitu memuncak. Aku tak yakin bisa sebagai iparan. Beberapa kali bertemu saja, hatiku bergetar hebat. Aku yakin Zaid juga merasakan hal yang sama. 

Air mataku meluncur begitu deras, terlebih lagi jika ingat berkali-kali ia memegang pundakku. Sepertinya itu sudah refleks saja yang sudah terbiasa dari dulu.

 Pada titik ini, aku merasa tidak adil pada takdir. Bagaimana pun mungkin takdir tidak menyatukan kami yang saling menyayangi, tapi tidak juga memisahkan jauh, bahkan mengikatnya dalam ikatan kekeluargaan. 

Bagaimana kami bisa menguasai perasaan kami? Ironisnya, kesempatan bisa saja terjadi. Lengah sedikit, setan akan menjebak kami. Bayangan ketika Zaid membopongku, menyentuh pundak, memasang arloji ke pergelangan berkelabat di benakku. Astaghfirullah, tak seharusnya kami melakukan ini. Seharusnya aku bisa menolaknya. 

Ampuni kami, Ya Allah. 

"Serahkan semuanya pada Allah," lirih Kak Saada dengan pandangan lembut. Aku merasa menjadi manusia yang paling malang saat ini. 

"Dan kita berlindung kepada Allah, dari godaan setan yang menyesatkan. Istighfar sebanyak-banyaknya. Kakak mengerti, betapa dalamnya kasih sayang yang tertanam sejak kecil, tapi sadarilah, kalian tidak halal untuk memendam rasa itu."

Kalimat terakhir Kak Saada begitu menusukku. Kami memang tak pantas mempunyai rasa sejauh ini. Kasih sayang sayang kami seharusnya sudah berakhir, sejak haid pertama, begitu juga Zaid semenjak dia mengalami masa baligh. 

Sesal, saat ini sesuatu yang percuma. Yang dipikirkan bagaimana menghilang rasa kerinduan kami?

"Apa, Kakak perlu ngomong sama Ibu?" Gumam Kak Saada mengejutkanku.

"Jangan. Ibu sepertinya sudah curiga, sejak kami ada di kamar tadi. Dibicarakan sama ibu pun, mau gimana. Kita tidak mungkin memutuskan pertunangan ini tanpa alasan. Tante Kurnia akan bertanya lebih dalam, karena beliau sudah menganggapku seperti anak beliau sendiri."

"Ya, sudah. Sekarang, tinggal kamu yang mau bagaimana menyikapi kenyataan ini. Sudahlah. Kalau memang kita tak dapat berbuat apa-apa, jadi sebaiknya kita jalani saja. Jangan bebani dengan pikiran yang macam-macam. Padahal semua itu juga belum tentu terjadi. Ayolah, tetap semangat.”

Kalimat terakhir Kak Saada, membuatku langsung tertawa. Walaupun hatiku mengatakan tak semudah itu. Namun, untuk saat ini, tak ada jalan lain selain ‘menikmati jalan yang ditentukan


***

  Detak Cinta Shafura  Part 32: Tanggung Jawab Mahram  “Terima kasih, Kak.”  Kak Sakti hanya mengangguk, sambil menurunkan tas pakaianku dar...
El Nurien
El Nurien

Detak Cinta Shafura

 Part 30: Pilihan Takdir 




 Dengan langkah gontai aku masuk ke halaman rumah Zaid. Pohon mahoni yang besar masih setia, menampakkan keperkasaan dan janji keteduhan.


 Di bawah pohon inilah kami sering duduk di atas ayunan. Dulu. Sekarang ayunannya tak ada lagi. Di mataku, pohon ini tetap menunjukkan kharismanya. Pohon ini banyak mencetak keceriaan persahabatan kami. Potongan kenangan indah membuat tanganku secara tidak sadar membelai lembut pohon ini, menyampaikan terima kasih, sekaligus berkata aku akan merindukannya. Karena aku akan pergi jauh. 

Aku sudah memutuskan menerima lamaran Hans dan ikut ke Mesir bersamanya. Sejak malam itu, Ibu tak lagi mengungkit topik ini, jadi aku semakin mantap menerima Hans. Nanti aku akan minta bantuan Kak Sa'ada untuk meluluhkan hati Ibu.

Aku sudah menyiapkan segalanya. Meninggalkan semuanya. Arloji pemberian Zaid sengaja kutinggal, aku tak ingin menyimpan apa-apa darinya. Dan hari ini, kuputuskan berbicara dengan Fahri. 

"Silmi?"

Aku menoleh ke arah suara. Tante Kurnia muncul di pintu. 

"Kenapa berdiri di situ? Ayo masuk." Perintah Tante Kurnia. 

Aku tersenyum pahit. Melihat sosok beliau, membuat hatiku semakin perih. Aku tak ingin berpisah dengan keluarga ini. Apa boleh buat, aku telah terlibat perasaan dengan dua anak laki-laki di keluarga ini.

"Assalamu ‘alaikum."

"Wa ‘alaikumsalam." Tante Kurnia menyingkir, membiarkan aku masuk. Tak lama muncul Fahri dengan wajah semringah. Melihatnya membuatku merasa bersalah. Keputusanku  akan segera melenyapkan senyumnya. 

Tiba-tiba aku merasa sebagai seorang narapidana di ruang sidang. Rupa-rupa mereka tidaklah menakutkan, tapi keputusanku lah yang membuatku takut, takut akan kehilangan keindahan dan kebahagiaan yang selama ini mereka berikan. 

"Pagi-pagi sekali, Silmi. Ada apa?" tanya Tante Kurnia. 

Fahri mendekati kami. Aku berdoa semoga Tante Kurnia, meninggalkan kami sesaat, entah akan menyuguhkan minuman, atau apa pun caranya. 

"Silmi, mau pamitan, Tante.”

Zaid yang tadinya ingin masuk kekamar terhenti di pintu, berdiri dengan tetap membelakangi. 

"Mau ke pondok? Bukankah dua hari lagi?" Sergah Tante Kurnia. 

"Iya, Tante. Tapi Silmi ingin menginap dulu di rumah Kak Sa'ada," kataku menunduk. Aku tidak kuasa menatap ketidaksetujuan mata Fahri. Kulirik Zaid, sedikit pun tak bergerak.

"Oh, begitu. Tadinya Tante mau berencana ke rumahmu."

"Mau apa, Tante?" tanyaku cepat. Benar-benar tidak sopan, memotong pembicaraan orang tua. 

"Maaf, Tante. Maksud Silmi, kalau ada yang perlu Silmi bantu, panggil Silmi saja,”  kata-kata bergelombang, aku mulai merasakan firasat aneh.

"Cuma ingin membicarakan proses perkawinan kalian."

"Perkawinan? Perkawinan siapa maksud, Tante?"

Aku masih tidak bisa memahami arah pembicaraan Tante Kurnia. Kalian itu siapa? Di sini hanya ada aku dan Fahri. Aku-Fahri? Serasa ada benda besar mencegat jalan masuknya oksigen ke paru-paruku, terlebih lagi melihat wajah Fahri. Apakah Fahri telah bertindak jauh di belakangku? 

"Lho, kamu ini gimana, Silmi?” tanya Tante Kurnia dengan wajah diliputi keheranan.

"Silmi benar-benar tidak mengerti, Tante," tukasku bergetar. Entah mengapa aku merasa di ujung tanduk. Setiap saat aku bisa jatuh dan pecah. Hancur.

"Kamu ni, Silmi. Fahri juga, benar-benar tidak tahu, atau mau bikin kejutan?"

Aku memandang Fahri, meminta penjelasannya. Laki-laki di hadapanku cuma tersenyum. Senyumnya benar-benar membuatku takut. 

"Tante kemarin bertemu ibumu," Tiba-tiba Tante Kurnia menjelma bagai sesosok monster yang akan menerkamku.

"Di acara selamatannya Bu Zaliha kemarin, lalu Tante coba-coba menyinggung tentang kamu. Tante hanya ingin tahu, apa kamu sudah punya calon. Eh, tak tahunya ibumu bilang, tidak ada. Maka Tante  menyampaikan keinginan tante menjodohkan Fahri denganmu. Ternyata ibumu mengatakan, sebenarnya Fahri diam-diam telah melamar kamu. Wah, senang sekali hati Tante, dan ibumu juga merasakan hal sama. Tidak ada yang lebih menyenangkan dari orang tua sekampung, selain anak-anak mereka berjodoh, karena itu artinya akan menambah kekeluargaan. Kenapa tidak kalian katakan dari dulu-dulu?"

Takdir lagi-lagi telah memberi kejutan padaku. Aku tatap Tante Kurnia yang menatapku penuh senyuman, senyumannya itu tak lagi terasa menyejukkan. Kebahagiaan itu hanya sepihak. Aku beralih memandang Fahri. Wajah semringahnya, seakan-akan sebuah sangkar yang akan mengikat. Entah bagaimana keadaan Zaid yang terpaku di depan pintu kamarnya. 

Ibu. Kenapa Ibu melakukan ini? 

Menerima lamaran tanpa sepengetahuanku. 

Ingin rasanya air mataku tumpah. 

Ingin rasanya aku menghambur ke pelukan Zaid. 

Zaid? Astaghfirullah. Napas beratku teriring dengan zikir. Aku butuh ketenangan. 

"Silmi, kamu tidak apa-apakan?"  Tante Kurnia cemas.

“Oh..., tidak apa-apa, Tante. Silmi cuma..., cuma kaget ketika Tante membicarakan perkawinan. Silmi belum berpikir sejauh itu," aku menelan ludah. Tenggorokan terasa mengecil.  Sakit sekali. 

Tante Kurnia tertawa ringan. "Baiklah kalau begitu, kita bicarakan nanti saja, setelah selesai perkawinan Zaid. Tapi, kamu sudah siap kan menikah dengan Fahri?”

Begitu sampai di rumah, ingin sekali kutumpahkan amarah pada Ibu. Namun, aku urungkan. Kulihat gangan karuh masuk ke dalam wadah dengan tangan rentanya. Aku dan Kak Sa'ada mempunyai selera yang sama. Bila mendapat kiriman makanan favorit ini, Kak Sa’ada akan ngotot mencari ikan bakar. Menurut Kak Sa’ada ini akan menjadi sempurna dengan ikan gabus bakar disertai sambal terasi. 

"Kamu pasti sudah mendengar cerita Tante Kurnia mengenai lamaran Fahri," kata Ibu tanpa di sela kesibukannya. Aku mengangguk, lalu duduk di samping Ibu,  meminum segelas air. Berharap sakit hati ini lenyap bersama kesejukan air yang kuminum. 

"Ibu minta maaf." Ibu duduk di hadapanku.

"Entah kenapa, Ibu sangat bahagia mendengar lamaran Kurnia kemarin, langsung saja Ibu menceritakan lamaran Fahri itu. Ibu terlalu bahagia, sehingga mengiyakan tanpa meminta persetujuanmu lebih dulu. Maafkan Ibu," kata Ibu dengan penuh rasa penyesalan. 

Aku tidak bisa berkata-kata apa. Melihat rasa bersalah terbit melihat mimik wajah Ibu. Tak seharusnya Ibu seperti itu. Aku adalah anaknya, dalam diriku ada darah dan susunya, seharusnya aku selalu bisa membahagiakan Ibu. 

Setelah Ayah meninggal, Ibu telah berjuang keras membesarkan kami. Bahkan aku tak pernah ingat bagaimana wajah ayah. Ayah meninggal saat aku masih  berumur 9 tahun, Kak Sakti 12 tahun, sedangkan Kak Sa'ada sudah 15 tahun. Kak Sa'ada dan Sakti, lebih merasakan getar getirnya kehidupan, saat itu aku masih belum tahu apa-apa.

Sejak kecil Kak Sa'ada dan Kak Sakti gigih mencari uang. Menjajakan kue Acil Ijah, es, memarut kelapa, memecah biji kemiri. Apa yang mereka lakukan asal dapat uang halal. Ibu pernah memukul Kak Sakti karena kedapatan mengemis. 

Dibanding dengan kedua kakakku, aku lebih beruntung. Aku tidak terlalu bekerja keras. Aku menjajakan kue acil Ijah hanya sesekali, itu pun dengan sembunyi-sembunyi. Kedua kakakku akan marah jika mereka tahu. Mereka ingin aku bisa belajar dan terus sekolah. 

Aku masih ingat raut sedih mereka, ketika uang tabungan mereka tidak mencukupi untuk semua keperluanku masuk SMP. Impian terakhir mereka adalah aku. Kak Sakti hanya bisa mengenyam pendidikan sekolah dasar, sedang Kak Sa'ada hanya sampai SMP. Mereka harus bekerja, untuk membantu Ibu. Ibu saat itu tak bisa bekerja penuh, karena harus memelihara nenek yang sudah lanjut usia dan pikun.

Tanggung jawab tertumpu kepada dua kakakku, dan juga Ibu yang selalu mengambil upah kodian menjahit, jika ada kesempatan.

Lalu datanglah keluarga Om Herman. Om Herman, menawariku sekolah di pondoknya Zaid, dengan biaya ditanggung beliau. Aku hampir tak percaya. Begitu juga dengan kedua kakakku. 

Saat itu sempat kulihat wajah  Zaid. Dari wajahnya itulah, aku mengambil kesimpulan, semua ini karena Zaid. Zaid yang meminta ayahnya menyekolahkanku. 

"Om, Bukannya Silmi, tidak mau sekolah, bahkan sangat ingin sekolah. Hanya saja, Silmi tak ingin menjadi beban orang lain. Terima kasih, Om, Kak. Maafkan Silmi. Silmi tak bisa menerimanya," kataku halus dengan wajah tertunduk. 

"Benar, Om, Terima kasih atas kebaikan Om kepada kami, kami tak bisa menerimanya, kami tak ingin merepotkan Om. Kami akan tetap berusaha."

Sela Kak Sa'ada yang saat itu sudah berusia 18 tahun.  

"Merepotkan gimana, Om melakukannya dengan senang hati," sahut Om Herman dengan mengamati wajah-wajah ketidaknyamanan kami. Bukannya kami sombong,  kami tak ingin terlibat hutang budi. Apalagi biaya sekolah tidaklah sedikit, belum bayar bulanannya selama beberapa tahun. 

"Begini saja, bagaimana kalau Om yang bayarkan semua biaya di awal masuknya Silmi, setelah itu kalian yang bayar bulanannya, dengan begitu tanggung jawab itu kembali lagi pada kalian, bagaimana?"

Usul Om Herman sambil memandang kedua kakakku. Ibu sejak tadi diam membisu. Mungkin terlalu banyak pertarungan dalam batin beliau.

Kedua kakakku saling berpandangan. Mereka berkomunikasi hanya lewat pandangan, sampai akhirnya Kak Sa'ada berkata. 

"Baiklah, Om, kami setuju. Terima kasih banyak, Om.”

Kedua kakakku menyalami Om Herman dan Zaid bergantian. Tinggal aku yang diam mematung. 

"Silmi." tegur Ibu.

Aku mengerti maksud ibu. Aku mendekati Om dan Zaid dengan bimbang. Om Herman memahami perasaanku. Tanpa menunggu uluran terima kasih dari tanganku, beliau langsung memelukku. Aku tak bisa berkata apa-apa lagi, hanyalah air mata yang mewakilinya. 

Om Herman melepaskan pelukan beliau, tangan beliau memegangku pundakku dan memandangku penuh kasih. 

"Silmi, anggap saja om ini ayahmu, Fahri, Zaid dan Farah saudaramu. Jangan sungkan-sungkan lagi, ya.”

Aku hanya menjawab dengan anggukan, dan wajah penuh terima kasih. Aku pun mendekati Zaid. Tangannya menghapus air mataku. Mata kami bertemu, mata dan senyumnya memberikan kehangatan dan mimpi yang indah, aku membalas tatapannya dengan sebuah janji. Aku akan belajar sungguh-sungguh. 

"Ibu, seberapa besar jika Silmi menikah dengan Kak Fahri?" tanyaku lirih sambil menatap mata tua beliau. Mata yang menyiratkan kelelahan yang mendalam. 

"Silmi, ibu sangat bahagia, kamu juga pasti tidak lupa kan jasa Om Herman padamu?”

"Iya, Bu, Silmi masih ingat. Bahkan saat itu, Silmi akan berjanji membalas kebaikan keluarga mereka."

"Inilah yang tepat untuk membalas kebaikan mereka. Lagi pula Fahri mencintaimu kan?"

"Iya, Bu. Silmi akan menikah dengan Kak Fahri, untuk membalas kebaikan Om Herman dan juga untuk membahagiakan Ibu," jawabku datar sambil tersenyum, senyuman yang tak lebih dari ukiran yang patah. 

"Kita berangkat Silmi. Nanti kesiangan."

Kak Sakti muncul dengan uapan yang lebar. 

Tampang Kak Sakti membuatku tersenyum geli. Kak Sakti pasti masih kecapean, hampir jam 10, Kak Sakti baru sampai ke rumah, dan pagi-pagi begini  harus balik lagi ke Banjarmasin mengantarku. 

Kak Sakti selalu berusaha memenuhi semua permintaanku. Apa pun, kecuali biaya sekolah setelah dia menikah. Biaya sekolahku yang ditanggungnya beralih ke Kak Sa'ada. Namun, urusan antar jemput, Kak Sakti selalu siap walaupun mencuri-curi waktu di sela-sela kesibukannya.

“Iya, Kak.”

        ***


Detak Cinta Shafura  Part 30: Pilihan Takdir   Dengan langkah gontai aku masuk ke halaman rumah Zaid. Pohon mahoni yang besar masih setia, m...
El Nurien
El Nurien

 Detak Cinta Shafura

 Part 29: Melihat Hari-harimu 



Sejenak aku terdiam. Bukan aku tak ingin membantu, tapi aku tak ingin terus-terusan membayangi Zaid. Kasihan Zaid. Tapi bagaimana aku menolaknya?


"Silmi," tegur Ibu. 

"I… iya, Silmi bersedia, Bu," sahutku terbata-bata.

Zaid  sepertinya tidak sependapat dengan kesediaanku. 

Tante Kurnia tersenyum puas. Dan sepertinya ibuku juga. Aku tak tahu apa yang dipikirkan oleh ibuku. 

"Oh, iya. Kapan acaranya?" tanya Ibu.

"Bulan depan. Ramlah bantu-bantu kami, ya!"”

"Insya Allah, Nia."

"Nikahnya tanggal 29 Juni tapi di Banjarmasin, di kediamannya Kyai Ibrahim. di sana mereka mengadakan resepsinya, minggu depannya barulah kita adakan resepsinya di sini, sedangkan acara hantarannya, tanggal 15, tidak sampai setengah bulan dari sekarang," kata Tante Kurnia penuh kebahagiaan. 

Serasa ada sembilu melintas di dadaku. Wajah Zaid terlihat tak perdaya. Aku telah membuatnya menderita. Bukan. Tetapi, kami menderita. Tak mudah melabuhkan cinta dan rindu, kepada orang yang bukan kita cinta. Tak mudah melepaskan adanya rasa ingin kebersamaan dengan orang yang kita cintai.  

Kukira kelebihan yang dimiliki Aisyah, sudah cukup buat Zaid untuk bisa mencintai Aisyah. Anjurannya mempertimbangkan Hans, semakin kumemahami arti cinta. Cinta tidak butuh kesempurnaan. Tapi kebersamaan dengan saling memahami dan memberi.

Ya Allah, bimbinglah hati-hati kami. 

Atas petunjuk Tante Kurnia, Zaid menepikan mobilnya, kami memasuki halaman sebuah butik. Pantulan cahaya matahari sore melintasi halaman yang luas, menembus pintu kacaa. 

Di kiri kanan pintu dipajang gaun yang dipasang di manekin. Tanpa sadar aku tanpa sadar menelan ludah. Pasti baju-baju di dalam butik ini mahal-mahal. 

"Kurnia," panggil seseorang begitu Tante Kurnia keluar dari mobil. Tante Kurnia langsung mencari asal suara. Membuatku tertahan di dalam mobil. 

"Hei, Salimah. Apa kabar?" jerit Tante kurnia, sambil mendekati perempuan paruh baya itu. Sepertinya mereka teman yang lama tak bertemu. Terlihat mereka sangat akrab.

"Silmi!”

Aku menoleh ke arah belakang setir mobil. Zaid memanggilku.

"Iya?" 

Zaid membalikkan badannya, "Maafkan aku. Aku sudah menjelaskan, seharusnya Aisyah langsung yang memilihnya, dan membujuk Mama agar tidak melibatkan kamu. Tapi gagal. Maafkan aku.”

Hatiku perih menyaksikan wajah penuh penyesalannya.  Wajahnya pucat dan tirus.

"Tak apa-apa. Aku malah senang ikut dilibatkan dalam urusanmu dengan Aisyah. Aku senang sekali. Dengan senang hati,  aku akan memilihkan barang-barang yang disukai Aisyah, dan aku yakinkan, Aisyah akan tampil cantik di depanmu. Aku janji. Tenanglah. ”

Kata-kataku lancar, semulus jalan tol lagi lenggang. Begitulah aku, jika keinginan untuk membahagiakan orang lain terbit, apapun bisa kulakukan, walaupun menyakiti diri sendiri. 

"Kamu tak pernah berubah, ya," sahut Kak Zaid lembut.

“Sifat inilah yang membuatku jatuh cinta padamu." 

Keadaan berubah menjadi hening. 

Tante Kurnia kembali membuka pintu mobil. 

"Ayo keluar, kenapa kalian masih di dalam mobil?"

Aku menurut, begitu juga Zaid. Kami melangkah ke dalam butik.

“Tersenyumlah, Kak. Kebahagiaan akan menghiasi hari-harimu," seruku, sambil memandangi Tante Kurnia yang memasuki pintu butik.

“Bagaimana denganmu? Bisakah kau tersenyum melihat hari-hariku?"

Langkahku terhenti karena Zaid tiba-tiba berhenti di depanku. Tangan Zaid memegang pundakku. Aku langsung menepisnya.

"Maaf, aku lupa. Kamu bukan Silmi kecil lagi. Situasi ini, membuatku ingin kembali ke masa kecil, kembali bersamamu."

Sekuat tenaga aku menyembunyikan gugup.

Kami tak mungkin lagi bisa seperti dulu. Kami sudah dewasa. Kami harus menjaga diri. Ya, mungkin saja persahabatan kami baik-baik saja, andai virus itu, tidak menyusup dalam setiap napas kami. Entah kapan virus itu menyusup, setidaknya perasaan kami tak mungkin seperti dulu lagi.

"Silmi, bagaimana dengan model yang ini?"

Tante Kurnia memperlihatkan gamis merah menyala, dengan renda warna biru, ditambah manik-manik warna warni. Kupandangi  Zaid, dapat kutafsirkan dia tak suka dengan gamis warna mencolok itu.

"Tante, baju yang kita beli, apa untuk keluar rumah atau untuk…?" 

Aku kesulitan menjelaskan pada Tante. Apalagi begitu menyadari, ternyata Tante memakai warna menyala. Kulirik Zaid, wajahnya memelas memohon bantuanku. 

Pandanganku kembali ke arah Tante Kurnia, alis beliau hampir bersambung, pertanda banyak yang tidak dimengerti beliau. 

Ya Allah, lapangkan dadaku, mudahkan urusanku, dan lancarkan lisanku. 

"Begini, Tante," aku mendehem sekali. Aku tak pernah berhadapan dengan seorang ibu yang sebaya dengan Tante Kurnia, selama ini yang kuhadapi hanyalah santri. 

"Kalau untuk keluar rumah, perempuan sunnahnya dengan pakaian berwarna gelap dan harus longgar. Dan Aisyah seringnya memakai pakaian berwarna hitam. Nah, kalau pakaian cantik seperti ini, cocoknya khusus untuk Kak Zaid, dan tak bisa dibawa keluar rumah. Bahkan akan mendapatkan pahala karena telah bercantik diri, demi menyenangkan suami.”

Kesan sangat lembut langsung terasa di kulit begitu aku menyentuh kain gamis ini. Eksprisi wajah Tante Kurnia, masih dilumuri keheranan. Sebaliknya wajah Zaid memerah semu. 

Sesaat Tante Kurnia memandangiku dari kepala sampai ujung kaki. 

"Ada apa Tante? Ada apa dengan Silmi?" tanyaku sambil memperhatikan penampilanku, takut-takut ada yang salah. 

"Beruntung sekali suamimu nanti. Walaupun belum menikah, sepertinya kamu sudah memahami apa-apa seharusnya yang dilakukan seorang istri. Bahkan sudah mengerti bagaimana menyenangkan suami."

Aku benar-benar terkejut dengan kalimat terakhir Tante Kurnia. ‘menyenangkan suami?’ Belum tahu sejauh itu. Pengetahuanku hanya segitu, perempuan hanya boleh bercantik diri untuk suaminya. Untuk menyenangkan suaminya lebih dalam, ya, aku belum tahu. 

"Tapi kenapa pakaianmu tidak hitam?" 

Aku benar-benar tak menyangka dengan pertanyaan Tante Kurnia. 

Kupandang gamis polos yang berwarna abu-abu tua. Aku menyukai warnanya, gamis ini terlihat sederhana bagiku, karena tidak ada tambahan hiasan apapun. Aku sendiri tak pernah terpikir, apakah ini juga termasuk cantik bagi laki-laki.

"Tante, Silmi belum sekuat Aisyah. Pakaian hitam memang sunnah bagi perempuan, tapi tidak ada larangan dengan pakaian warna gelap lainnya, misalnya seperti ini." jawabku menahan rasa malu, Tante Kurnia telah mengingatkanku. 

"Tante,"  aku bergelayut di lengan Tante Kurnia sambil melirik Zaid.

"Bukankah dengan keadaan Silmi begini, telah menyatakan bahwa Kak Zaid sangat beruntung mendapatkan calon istri yang sangat taat dan cerdas. Tentu dia lebih paham bagaimana cara menyenangkan suaminya.” Tante Kurnia mengangguk dan ikut melirik ke arah Zaid. Menbuat anak laki-laki itu kikuk.

"Kamu, Silmi. Sebenarnya kita sudah sangat dekat, keluarga kita pun sudah saling kenal, Oom dan Tante suka dengan sikap kamu dari dulu. Andai disuruh memilih, tentu Tante akan memilih kamu."

Tante Kurnia meletakan gamis sambil mengucapkan kata-kata yang ringan baginya, tetapi tidak bagiku. Napasku tertahan. Mendadak butik ini terasa pengap. Zaid pun tak kalah kaget."

Oh, iya, Tante, kita ke sini, untuk mencarikan gamis buat Aisyah, bukan?"  seruku sambil berlalu. Tanganku menyentuh satu persatu baju yang terpampang, namun otakku masih belum bisa bekarja, apalagi memilih satu di antara sekian banyak gamis-gamis cantik. 

"Oh, iya, aku kan masih punya anak laki-laki satu lagi."

Suara Tante Kurnia membuat tubuhku kaku seketika. Begitu pula Zaid yang ada di depanku, ia langsung terdiam. Wajahnya pucat. 

***




 Detak Cinta Shafura  Part 29: Melihat Hari-harimu  Sejenak aku terdiam. Bukan aku tak ingin membantu, tapi aku tak ingin terus-terusan memb...
El Nurien
El Nurien

 Detak Cinta Shafura

 Part 28: Laki-laki Pilihan Ibu 



"Kamu sakit, Silmi?"


Ibu memperhatikan cara makanku yang lamban malam ini.

Aku menggeleng. 

"Mungkin karena kelelahan, Bu. Habis piknik tadi."

Kelelahan lahir batin. Terlalu banyak beban dalam pikiranku. Zaid benar-benar meremukkan perasaanku, kakaknya yang membuatku selalu siaga, sedang Farah hampir saja membinasakanku. Kenapa aku terjebak dalam tiga bersaudara itu?

Ibu mendesah. 

"Sayang sekali. Padahal ibu sudah masakkan sayur kesukaanmu."

Ibu sambil memberikan sebuah mangkok yang berisi gangan karuh. Sayur yang kuahnya keruh, karena diolah dari pisang mentah, jantung pisang, kangkung, singkong, dan ikan segar. Kekeruhan kuah ini, bukan karena bahan-bahannya yang mengandung getah. Keruhnya kuah ini dikarenakan ikan segar. Makin banyak ikannya, makin keruh dan kental kuahnya, membuat rasanya semakin enak. Ini adalah sayur favoritku. Sayang sekali, selera makanku lagi memburuk, bahkan lidahku tidak merasakan apa-apa. 

Zaid, Fahri dan Hans.

Andai saja, andai.., andai dan andai, kata andai adalah perangkap setan. Sekarang dengan kehadiran Fahri, ketampanan dan kemapaman hidupnya, tentu saja masuk dalam list pertimbanganku, andai saja dia bukan Kakaknya Zaid. Andai lagi.

Hans. Tanpa disuruh Zaid pun aku tetap mempertimbangkan Hans. Namun, mengingat suruhan Zaid, mengapa mempertimbangkan Hans jadi terasa menyakitkan?

"Apa yang kamu pikirkan, Silmi?" 

Kata-kata lembut Ibu menembus alam pikiranku. 

"Tidak apa-apa, Bu. Silmi hanya cape," kilahku. 

Aku tak mungkin bisa menceritakannya pada Ibu. Beruntung ibu, tak terlalu memaksa.

"Oh, iya, temanmu si Minah, kemarin baru melahirkan."

"Minah?"

"Iya, Minah. Kamu sudah lupa?"

Susah payah aku berusaha mengingat. Yang teringat hanyalah teman-teman pondokku. Tak ada yang namanya Minah. Lagi pula mana mungkin ibu tahu temanku di pondok. Minah? 

"Teman SD kamu."

"Oh, Iya, Minah. Hah, sudah punya anak?” tanyaku. 

“Iya. Bukan cuma Minah yang punya anak, teman-temanmu yang lain juga ada yang punya anak. Masitah, Nursinah."

Aku sudah mulai paham arah pembicaraan Ibu. Apakah aku salah jika belum menikah? Lagi pula umurku baru 23 tahun, di perkotaan gadis seusiaku masih belum dinyatakan perawan tua. Namun, bagi Ibu yang tinggal di pedesaan, mungkin dengan usiaku begini, sudah membuat ibu malu. Aku menelan ludah. 

“Galuh, apa tidak ada laki-laki yang menyukaimu?" 

Ibu memanggilku ‘galuh. Panggilan sayang buat anak perempuan di sini. Tetapi bagiku panggilan itu penekanan eratnya hubungan. Semakin erat sebuah hubungan, semakin dalam harapan tersimpan. Wajar saja jika ibu berharap karena aku anaknya. 

Aku hanya menunduk lemas. Aku tak berani menatap mata Ibu yang penuh harap. Kumasukkan suapan terakhir ke mulut. Lidahku serasa beku, yang terasa hanyalah hambar. Haruskah kuceritakan pada ibu, tentang Fahri dan Hans.

"Mmm, ada, Bu, tapi Silmi belum bisa mengambil satu keputusan, karena Silmi harus mempertimbangkan matang-matang."

"Siapa? Ceritakanlah. Siapa tahu Ibu bisa memberi masukan."

"Kak Fahri dan seorang santri putra di pondok, namanya Hans."

“Fahri? Putranya Bu Kurnia?” tanya Ibu dengan berbinar. Firasatku mulai tidak nyaman. 

Kepalaku mengangguk lemah. 

"Keduanya ingin melamarmu?"

Lagi-lagi hanya anggukan sebagai jawaban.

"Lalu kamu pilih siapa?”

“Hans," jawabku, sambil menatap wajah Ibu. Aku ingin melihat bagaimana ekspresi Ibu, ketika disebut pilihanku. Benar saja, Ibu sedikit terkejut mendengar pilihanku. 

"Kenapa kamu memilih Hans?"

"Karena....”

Kutatap ibu sejenak. Beliau masih sabar menunggu jawabanku.

"Karena Hans akan membawaku ke Mesir. Dia akan kuliah di san. Ini kesempatanku untuk belajar di sana."

Wajah Ibu langsung pias mendengar penjelasanku. 

“Bu,” aku meraih tangannya. Aku ingin menjelaskan, semuanya akan baik-baik saja. 

"Kamu mencintainya?" tanya ibu pelan.

Cinta? Kata itu hanyalah menggambarkan wajah Zaid. Mengingat Hans, yang terngiang hanyalah anjuran Zaid. Anjuran Zaid bagai sembilu yang selalu mengiris jika mengingatnya. 

Tapi aku tak bisa menepisnya. Hans, tidak rugi jika aku menerima cinta Hans. Paham agama, tampan, dan akan membawaku ke Mesir. Aku bisa belajar di sana. Walau Ibu takkan setuju dengan hal ini.

"Kamu mencintainya?" Ibu mengulangi pertanyaannya.

Kepalaku mengangguk lemah. 

"Kamu berbohong, Silmi. Bohong pada Ibu dan dirimu sendiri."

Mataku membulat. Apakah ibu bisa menebak pikiranku. 

"Kamu gadis polos, Silmi. Kamu tak bisa berbohong. Matamu yang menjelaskannya.

Aku tertunduk malu. Mengapa tak bisa membohongi Ibu? Pandangan Ibu terlalu tajam dalam hal ini. 

"Tapi, pilihan Silmi tidak salahkan, Bu."

Ucapku lesu tak berani menatap mata Ibu. 

"Jika kamu tidak begitu mencintainya, Ibu minta, menikahlah dengan Fahri.”

"Ibu… ," suaraku tercekat, mataku nanar dan mulai berair. 

"Apa yang kurang dengan Fahri?"

Kekurangan Fahri? Tak ada. Kecuali dia adalah kakaknya Zaid.

"Kepahaman agamanya." 

"Kepahaman agama?” Ulang Ibu tidak mengerti.

Aku tak mengerti kenapa aku bilang begitu. Aku masih tidak suka dia mengikutiku sewaktu di pondok penginapan tadi. Andai dia paham agama, tak mungkin mengikutiku, memegang pundakku tanpa rasa bersalah, di tempat sunyi lagi. Tapi ini, bukan alasan yang tepat disampaikan kepada Ibu. Bagi Ibu, shalat lima waktu, puasa, menunaikan zakat, berkelakuan baik, itu sudah dibilang tahu agama. 

"Kepahaman agama seperti apa maksudmu? Fahri pemuda yang baik dan dari keluarga baik-baik. Ibu rasa kamu lebih mengenal dari Ibu, karena kamu sangat akrab dengan mereka. Mereka juga menyayangimu. Lantas kenapa kamu tidak menerima lamaran Fahri?” 

Aku ingin bicara panjang lebar. Aku ingin menjelaskan situasinya. Namun percuma. Bagi Ibu kekerabatan adalah segala-galanya. 

"Silmi lelah, Bu. Mungkin lain kali saja kita bicarakan," kataku sambil beranjak pergi. Aku menyesali tidak membantu Ibu, membereskan bekas kami makan, tapi apa boleh buat. Aku ingin cepat-cepat merebahkan diri.

"Silmi,"  panggil Ibu. 

"Iya, Bu." Aku sudah ada di pintu kamar.

"Ibu minta, pertimbangkan lamaran Fahri. Sa'ada dan Sakti, sudah tidak tinggal di sini lagi. Dan kamu, bolehkan Ibu berharap padamu? Tinggal berdekatan dengan Ibu?" Kata-kata lembut Ibu membuat dadaku sesak. 

Aku terenyuh mendengar penuturan Ibu. Aku pun ingin tinggal dekat dengan Ibu. Andai bukan Fahri, andai bukan kakaknya Zaid, mungkin aku bisa mempertimbangkannya. 


***


"Kak Zaid, Tante?" seruku heran, sambil duduk di kursi ruang tamu. Tante Kurnia dan Kak Zaid kerumahku. Ada apa? 

"Kamu sakit, Silmi? Wajahmu pucat sekali?" tanya  Zaid.

Malam tadi aku memang tak bisa tidur. Padahal tubuhku lelah sekali, sayangnya pikiranku terlalu sibuk. Sampai akhirnya jam menunjukkan jam 3 lebih. Maka aku memutuskan bangun untuk shalat dan tilawah sampai azan subuh. Setelah shalat subuh barulah aku terlelap.

"Tidak. Eh, Tante dan Kak Zaid menunggu lama, ya? Maaf, Silmi tadi ketiduran." Aku menoleh ke arah Tante Kurnia. 

Wajah Zaid masih terlihat cemas. Aku merasa senang menyadari hal ini, tapi ini tidak berlangsung lama. Sosok Aisyah hadir lagi, menoreh perih di hati. 

"Tidak juga. Silmi, Sepertinya kamu tidak sehat, ya?"” tanya Tante Kurnia lembut.

“Ah, tidak Tante, mungkin hanya cape sedikit. Oh, iya Silmi buatkan minuman dulu," seruku sambil berdiri. Aku tak tahan lagi dengan perhatian mereka.

"Jangan, Silmi!" cegat Tante Kurnia. 

"Kami ke sini, untuk memintamu menemani kami, membeli barang-barang untuk keperluan Aisyah. Kamu teman  dekatnya, jadi kamu sedikit banyak tahu seleranya, bahkan mungkin kamu juga tahu ukuran yang pas untuknya."

Aku menelan ludah. Aku memilihkan barang-barang untuk Aisyah? Calon istri  Zaid? Kenapa harus aku? Kupandang wajah Zaid. Wajahnya dilumuri perasaan tidak nyaman.

"Aisyah? Aisyah siapa ya, Nia?" Tanya Ibu. Sesaat Ibu telah menyelamatkanku. Tante Kurnia tidak menyadari kekakuanku. 

"Oh, iya, Ramlah. Aku lupa cerita dulu. Ini si Zaid sudah bertunangan, dengan anaknya Kyai Ibrahim pemilik pondok tempat Silmi menghafal. Aisyah nama panggilannya. Dan kebetulan Aisyah ini katanya sangat akrab dengan Silmi. Jadi mumpung Silmi ada di sini, kami minta temani oleh Silmi untuk membeli keperluan barang-barang untuk Aisyah. Kamu bersedia kan, Silmi?" kata Tante Kurnia memohon. 

Sejenak aku terdiam. Bukan aku tak ingin membantu, tapi aku tak ingin terus-terusan membayangi Zaid. Kasihan Zaid. Tapi bagaimana aku menolaknya?

"Silmi," tegur Ibu. 

"I… iya, Silmi bersedia, Bu,” sahutku terbata-bata.


 Detak Cinta Shafura  Part 28: Laki-laki Pilihan Ibu  "Kamu sakit, Silmi?" Ibu memperhatikan cara makanku yang lamban malam ini. A...
El Nurien
El Nurien

 Detak Cinta Shafura

 Part 27: Maaf Yang Tak Terucap



POV 3


"Kau tidak apa-apa?" 

Silmi semakin kesal dengan pertanyaan itu. 

Bagaimana tidak apa-apa? Kalau ia baru saja selamat dari kematian.   Jantungnya saja masih berdetak cepat tak beraturan. Napasnya masih memburu. Bahkan tubuhnya masih gemetaran. Bagaimana mungkin ia baik-baik saja?

Kenyataannya kepalanya hanya bisa menggeleng. Ia tidak ingin membuat orang lain khawatir. 

Perlahan ia mulai mengatur irama napasnya. Badannya sedikit mulai tenang. Namun bersamaan dengan itu, memorinya mengulang kejadian yang baru saja menimpanya. Ia yakin ada unsur kesengajaan. Tapi mengapa Farah ingin mencelakainya? Emosinya mencuat.

"Ceroboh. Bagaimana bisa terjatuh?" gerutu Zaid. 

Silmi tidak menjawab. Ia masih sibuk meredam emosi yang meledak-ledak kepada Farah. 

Zaid masih duduk di sampingnya, dengan wajah dilumuri kekhawatiran. Seketika Silmi menyadari posisi kedua bersaudara itu terlalu dekat. Ia berpikir sebaiknya menjauh dari mereka.

Pada saat berdiri sempurna, Silmi kembali duduk, bahkan kini meringkuk, lalu menyembunyikan wajah di antara dua lutut. 

Jika di drama adegan cewek ditolong pria sangatlah romantis. Seorang pria menyelamatkan cewek dari isapan kematian. Lalu dengan visual slow membuat hati penonton klepek-klepek. Seorang laki-laki dengan gagahnya membopong gadisnya, lalu sang gadis pun tak bisa mengalihkan pandangannya dari sang pahlawan. 

Sayangnya tidak bagi Silmi. Ini musibah yang terlambat disadarinya. Bagaimana bisa dirinya disentuh dan dibopong laki-laki yang bukan mahram? 

Mungkin itu dapat dikatakan darurat. Tapi bagaimana sekarang ia membiarkan dua pria berada itu ada di sampingnya, sedang pakaian menempel di kulit sehingga lekukan tubuh terlihat sangat jelas?

"Kau tidak apa-apa?" Pertanyaan Zaid kentara dengan kekhawatiran sekaligus kebingungan. 

Silmi menggeleng. "Kalian menjauhlah!" pintanya. Berharap kedua saudara itu memahami situasinya. Tiba-tiba air matanya merembes. Di saat seperti ini ia benar-benar merasa lemah. Ia butuh orang yang memahaminya. Pada titik ini ia benci Farah 

"Silmi, ada yang sakit?" Ironisnya Fahri bertanya sambil menyentuh bahu Silmi. 

Silmi sontak menepis. Seketika ia terisak. 

Kedua bersaudara semakin kebingungan.  Sesaat Fahri dan Zaid saling bersitatap. Farah menggigit jarinya. Sontak ia memasang wajah tak berdosa ketika ditatap.

"Astaghfirullah. Maaf," ucap Zaid.

Silmi masih terisak. Ia tak mengerti dengan permintaan Zaid. Dan ia pun tak mengerti, mengapa dirinya mendadak cengeng.

"Kakak menjauhlah!"

Zaid berbicara pada Fahri. 

"Tapi?!"

"Ayolah, Kak. Kita menjauh dari sini," ajak Farah. 

"Tapi?!"

Farah berhasil menyeret Fahri.  

"Kau bawa pakaian ganti?" tanya Zaid. 

Silmi menggeleng.

"Tunggu sebentar."

Bunyi langkah yang menjauh membuat Silmi mengangkat kepala. Ia mencoba berdiri lagi, sayangnya Zaid sudah muncul dengan membawa selembar handuk cukup besar. Kembali ia meringkuk, guna menutupi aurat depannya.

Silmi tersentak ketika menyadari selembar  handuk tersampir ke bahunya.

"Aku akan berpaling. Kau berdirilah. Duduklah di samping beringin itu," tunjuk Zaid pada sebuah tanaman bonsai tak jauh dari gazebo.

"Di sana kau bisa berlindung sekaligus berjemur."

Silmi mengangguk. "Kakak, menjauhlah!"

"Tidak. Aku tetap di sini. Tempat ini memang sepi, tetapi bukan berarti aman untuk seorang gadis. Bagaimana pun kita tidak terlalu mengenal tempat ini." 

Silmi mengangkat wajah, dan mengitari ke sekeliling. Sepi. Bahkan Tante Kurnia dan Om Herman ke mana?

"Berbaliklah."

Zaid langsung berbalik. Silmi berdiri melangkah, mendekati tanaman bonsai yang tingginya hanya sepinggangnya. Ia bersembunyi di situ.

Zaid mengambil jalan memutar mendekati bonsai itu. Zaid duduk di sisi lain bonsai itu.  

"Lepaslah kerudung lalu tutup rambut dengan handuk itu." 

Silmi menarik handuk ke kepalanya,  lalu melepaskan kerudung.

"Sini. Aku jemurkan."

Refleks Silmi menyerahkan pada Zaid tanpa menoleh.

Dejavu. 

Silmi yakin pernah mengalami hal ini. Tapi tidak tahu kapan dan di mana. Ia memaklumi, karena memang dulu mereka sering menghabiskan waktu bersama. 

Silmi meringis mengingat hal itu. Menyadari kecerobohannya. Merutuki diri mengapa selalu terhipnotis oleh ucapan Zaid. 

Ia semakin meringis ketika mendengar bunyi rintikan air dari kerudungnya. Ya, Zaid memeras kerudungnya.

Tubuhnya semakin menciut. Bagaimana bisa ia menyerahkan kerudung pada laki-laki yang bukan mahram? Bulu kuduknya seketika merinding. 

Sembilan tahun di sekitarnya hanya ada perempuan dan perempuan, kecuali Sakti dan suami Sa'ada. Mengapa sekarang Zaid bisa menyentuh kerudungnya? 

Tak lama terdengar kibasan dari kain kerudungnya. Kini Silmi merasakan ngilu di sekujur tubuhnya. 

'Ya Allah. Astaghfirullah. Mengapa aku begitu ceroboh?'

"Maafkan aku," lirih Zaid di balik bonsai.  Mereka hanya terhalang tanaman bonsai. Menyadari hal itu, muncul dua sensasi yang tak selaras. Senang, tapi perih.

"Hah?"

"Semuanya."

Silmi terdiam. Tidak tahu harus berucap apa. Minta maaf atas apa? Sesaat hening. 

"Aku juga minta maaf atas tindakan Farah."

'Jadi ia juga menyadarinya?'

"Dari kemarin ia marah-marah dengan keputusan kita."

'Kita? Maksudnya menerima lamaran Aisyah. Tak salah lagi. Rupanya semua ini skenario Farah. Ke mana ia menyeret Fahri? Jangan-jangan Om dan Tante menghilang juga hasil siasat Farah?!'

Silmi hanya menghela napas atas perbuatan sahabat care-nya itu. Kebenciannya menguap. Sambil berharap, suatu saat Farah memahami situasinya.

"Menikahlah."

"Hah?" Silmi tidak percaya dengan pendengarannya.

"Kejadian tadi membuatku khawatir. Kau selalu ceroboh. Sewaktu di Banjar kudengar Hans kena sanksi dan santriwati itu kamu."

"Itu… ." 

Silmi tidak tahu harus mengatakan apa. Ingin membela diri, kenyataannya berita itu memang benar.

"Aku percaya kamu. Itu juga pasti karena kecerobohanmu."

Silmi hanya menjawab dengan helaan napas. 

"Jadi menikahlah, supaya ada yang melindungimu." 

Entah kenapa Silmi mendengar ada sesuatu yang mencekal di tenggorokan Zaid.

Silmi tersenyum kecut. "Bagaimana mungkin aku menikah hanya karena mencari perlindungan?!" 

"Juga ntuk melindungimu dari Fitnah dan  menyempurnakan agamamu.

Deg. Kembali ia merasakan sembilu mengiris hati. 

Kini ia mulai memahami perasaan Zaid, bagaimana sakitnya saat menerima permintaannya.

Perih sekali. Antara kecewa, keinginan untuk mengabulkan, hancurnya harapan, putus asa. Bagai sembilu satu persatu menyayat relung hati. 

Matanya kembali mengembun. Ia tidak tahu kalau akan menyakiti Zaid sejauh itu. Tangannya terangkat ke dada, berharap sedikit saja dapat menekan rasa sakit. 

Ternyata menyakiti orang yang disayangi sangat menyedihkan. Rasa bersalah mungkin akan menghantui seumur hidup. 

'Maafkan aku.'

Kenyataannya ia tidak mungkin mengucapkan kalimat itu. Zaid tidak tahu perasaan cintanya. Saat itu ia berharap, alangkah baiknya jika Zaid membencinya. Mungkin dengan itu, dosanya sedikit terbalaskan.

"Perempuan tak semudah laki-laki. Bisa memilih lalu melamar," sahutnya, setelah berhasil menguasai diri. 

"Bagaimana dengan Hans?"

Deg. 'Apakah Zaid mengetahui lamaran Hans? Tidak mungkin.'

"Menurutmu?" pancing Silmi.

"Dia pasti menyukaimu. Aku dengar Hans tidak pernah membawa gadis manapun ke mobilnya. Meski aku hanya melihatnya beberapa hari, tapi aku yakin Hans laki-laki yang layak kau pertimbangkan."

Air matanya berhasil keluar. Ia menggigit jari agar suara tangisnya dapat ditahan.

'Mengapa situasinya jadi berbalik? Apakah ini karma?Anita mengerang. "Bayu, please. Beri aku jeda. Aku tidak ingin memikirkan hubungan. Bahkan aku berpikir tidak ingin menjalin hubungan. Cukup anak-anak Rumah Bahagia mengisi hari-hariku."

Bayu tercenung. Ia tahu Anita. Semakin didesak semakin keras kepala. Semakin didekati, semakin menjauh.


"Kudengar hasil tesnya mumtaz. Dia juga mau melanjutkan studinya ke Mesir. Kau bisa ke Mesir jika menikah dengannya." 

Kini Silmi menutup mulutnya dengan telapak tangan. Semakin Zaid memuji Hans, semakin banyak tenaga yang dibutuhkannya untuk menahan suara dari mulutnya.

Tanpa disuruh pun ia sudah mempertimbangkan Hans. Hanya saja dengan suruhan Zaid membuatnya perasaannya hancur lebur. 

'Ya Allah, begini kah dulu perasaan Zaid?'

"Ini kesempatan emasmu untuk belajar ke sana." 

'cukup,' teriak Silmi dalam batin.

"Tak ada cela pada dirinya. Meski manusia tidak ada sempurna, tapi menurutku dia sempurna untuk menjadi pendampingmu."

"Cukup. Hentikan." Silmi tak kuasa lagi menahan isakannya. "Aku tau, aku salah. ... Jangan menyiksaku seperti ini. … Maafkan aku."

Silmi kembali menenggelamkan wajahnya di antara dua lutut. Sambil berharap Zaid tidak mendengar tangisannya. Meski mustahil. 

Tangisannya semakin nyaring. 

"Maafkan aku." Terdengar suara di sela isakan.

Zaid merengsek keluar ketika mendengar isakan gadis yang sangat dihormatinya itu. Tangannya tergenggam erat. Betapa ia ingin memeluk gadis itu guna meredakan tangisnya. 

"Maaf, jika aku menyakitimu. Aku tak bermaksud itu. Menurutku Hans memang…." 

"Kumohon hentikan!" 

Isakannya makin kentara.

Zaid tak berani lagi bersuara. Ia menarik handuk lalu menutupi kepala Silmi dengan sempurna. Agar Silmi bisa menangis lepas. Meluruhkan semua sesak di dada. 
Hanya ini yang bisa dilakukannya.

"Bagaimana aku bisa bahagia menikah Aisyah, sedang di sisimu tak ada orang yang melindungimu, menghapus air matamu, memelukmu." 

Dari kejauhan Farah menatap mereka. Air matanya mengalir deras. Ia menjadi saksi kasih sayang keduanya sejak kecil. Dan sekarang menjadi saksi kepiluan mereka. 

Usahanya sudah sejauh ini untuk menyatukan keduanya. Kenyataannya, ia telah menyakiti keduanya. 


 Detak Cinta Shafura  Part 27: Maaf Yang Tak Terucap POV 3 "Kau tidak apa-apa?"  Silmi semakin kesal dengan pertanyaan itu.  Bagai...
El Nurien