Cerpen, cerbung, novel, novel roman, novel rumah tangga, tips kepenulisan, novel religi, novel inspirasi, drama rumah tangga, novel romantis
Menu

KLIK FOTO UNTUK MELIHAT DESKRPSI

 

 

   







Results for "Novel Religi"
El Nurien

 

Detak Cinta Shafura

 Part 37: Fitnah Laki-laki 



"Shafura."


Refleks kami berpaling, ke arah sumber suara. 


“Kak Zaid?”

“Shafura?” Syifa menatapku heran. 

Astaghfirullah. 

Mengapa Zaid memanggil nama itu di depan umum? Syifa belum tahu, kalau ada nama panggilanku selain Silmi. 

 “Kak Zaid, kenapa kamu di sini? Bukankah harus memilih gaun pengantin?" tanyaku panik. Aku benar-benar tak mengerti, kenapa dia sampai ada di sini. Seharusnya bersama Aisyah dan Tante Kurnia. Bukankah tadi katanya ingin mencari gaun pengantin?

“Oh, itu sudah, dan kebetulan aku juga ada yang mau dicari dan kebetulan, aku lihat kalian di sini," sahut Zaid datar. 

Sepertinya dia biasa-biasa saja, aku saja yang terlalu panik. Syifa mengangkat kedua alisnya, aku balas mendelik. 

"Oh, Syifa, ini Abdurrahman Zaid, tunangannya Ustadzah Aisyah dan …  Kak, ini Syifa sahabat baikku."

Mereka mengangguk sambil menangkup kedua tangan.

"Kamu mau beli jam tangan untuk siapa?"

"Jam tangan untuk hadiah. Tapi, aku bingung mau memilih yang mana, aku juga tak tahu seleranya," seruku polos. Aku mulai merutuki sikap mulai tak terkontrol. 

"Boleh aku bantu?" tanya Zaid.

"Boleh juga."

Aku tak tahu siapa yang lebih terkejut atas kalimat yang meluncur dari mulutku. Aku atau Syifa? 

Zaid mendekati mengamati jam-jam yang terpampang. Astaga, aku dan Zaid berjarak kurang dari lima centimeter. 

Hatiku bagai diamuk badai. Jantung rasanya berdetak kencang sekali. Aku menjauh sedikit, sambil berusaha menahan napas, khawatir kedengaran Zaid. 

"Kamu mau merk apa, Shaf?" tanya Zaid, tanpa mengalihkan pandangannya. Sedangkan Syifa, aku benci melihat sikapnya. Pandangannya penuh arti. 

"Silmi?"

Panggilan Zaid menembus kekalutanku.

"Eh, iya, Kak. Aku juga bingung. Terserah kamu saja. Anggaplah kamu yang beli," sahutku asal.

Zaid mengalihkan pandangannya, keningnya berkerut, matanya menatapku dalam. Hatiku semakin tak karuan. 

"Shaf, kan selera orang berbeda-beda. Bagaimana kalau tidak cocok dengan orangnya?"

'Kalau manggil yang konsisten dong!' gerutuku dalam hati.

"Harus gimana lagi? Setidaknya ada kesamaan. Sama-sama laki-laki,"  sanggahku.

"Baiklah." Zaid kembali memperhatikan pada jam tangan tangan yang berjejer di etalase.

"Pak, coba yang ini, ya." Zaid sambil menunjuk sebuah jam tangan. 

Tak lama jam tangan itu sudah ada di tangannya. Zaid menggulung lengan baju dan memasang jam itu di pergelangan. Jam tangan silver itu terlihat sangat keren di tangannya yang putih, berpadu dengan kaos longgar cokelat muda yang dia kenakan. 

Ia memang selalu terlihat menawan dari kecil.  

"Gimana, bagus ga?"

"Bagus. Sangat bagus," seruku tanpa bisa menyembunyikan kekaguman.

"Kalau begitu, yang ini saja?”

"Iya, ini saja."

Zaid batal melepaskan jam tangan dari pergelangannya, ketika tanpa sadar aku berseru.

"E,e, tungu, tunggu.  Kita paskan dulu ukurannya."

Aku ingin menyesuaikan ukurannya di tangan Zaid. Namun yang terjadi, mendadak aku seperti orang kesetrum. Kehangatan kulitnya menjalari seluruh tubuhku. Astaghfirullah.

Aku terkesiap. Zaid pun seperti tak kalah kagetnya. Entah bagaimana dengan Syifa. Aku tak mau peduli, aku sudah kepalang malu karena kecerobohanku. Tak seharusnya aku menyentuh pergelangannya. 

"Maaf, aku cuma mau mempaskan ukurannya, sekalian kita potong di sini, kataku menunduk. Bisa kan, Pak?" tanyaku kepada penjual. 

"Bisa, Ding. Kalau memang untuk dia, sekalian aja dipaskan ukurannya. Coba sini.”

Walaupun dengan raut kebingungan, Zaid mau saja menuruti perkataan penjual itu. Aku bersyukur, Zaid tak banyak tanya. 

 

        ***

"Setelah ini kita mau kemana lagi?" tanya Zaid, setelah aku menerima bungkusan arloji.

"Kita?" ulangku.

"Oh, iya, aku lupa. Setelah ini kalian mau ke mana?" tanya Zaid sambil mengedarkan pandangannya.

Aku menoleh ke arah Syifa, bertanya lewat isyarat. Ia hanya mengangkat bahu.

"Kalau begitu temani aku ke toko buku," pinta Zaid tanpa menghiraukan majunya kami.

"Hei, kamu seenaknya begitu, main perintah."

Zaid sudah menaiki eskalator tak peduli ucapanku. Anehnya aku mengikuti saja. Syifa tak banyak komentar. 

"Sepertinya kamu sudah sangat mengenali tempat ini ya, Kak?" Toko buku sudah di hadapan kami, kami masuk sambil melihat-lihat. 

"Aku dulu pernah main ke sini bersama Farah,"  sahut Zaid membalikkan tubuh.

Zaid terus berjalan menyusuri rak-rak buku sejarah.     

"Kamu sepertinya tak berubah, menyukai sejarah." Aku memandangi judul-judul buku yang berjejer.

Aku merasa Zaid tercenung menatapku. Ketika aku memalingkan muka, dia sudah terlihat sibuk mencari-cari buku. Baru saja, aku sadar, Syifa tidak bersama lagi. Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling toko buku itu. Dari kejauhan mataku menangkap Syifa di rak buku-buku Agama. 

Tadinya aku ingin menyusul Syifa, tiba-tiba saja mataku tertuju pada deretan rak buku novel. Warna warni sampul dan judul-judul yang terpampang, membuatku menelan ludah. Uangku lagi menipis. 

"Cuma memandangi, Silmi?" Syifa sudah ada di sampingku.

"Kali ini cuma bisa begitu," sahutku tanpa mau mengalihkan pandangan dari keterpanaan terhadap deretan novel-novel itu. 

"Kenapa? Habis?"

"Ga, habis. Cuma menipis, dan ana ga mau benar-benar habis persediaan, gara-gara menurunkan Jawa nafsu.

Syifa tertawa kecil.

"Kenapa anti tertawa?”

“Tidak apa-apa. Ana cuma heran, siapa sih orang istimewa itu, sampai anti harus rela mengorbankan segitu banyaknya. Berapa bulan anti mengumpulkan uang itu, demi sebuah arloji?”

Aku tak langsung menjawab pertanyaan Syifa. Aku mulai menyisihkan sedikit uang dari honor pertama yang kudapatkan. Karena memang dari jauh-jauh hari, aku sudah berjanji akan memberi hal sama, sebagaimana yang diberikan Zaid padaku. Sebuah arloji.

“Tak peduli berapa bulan ana mengumpulkannya Syifa. Yang terpenting bagi, ana dapat berbuat untuk dia. Dan apa yang ana berikan, masih tak berbanding dengan kebaikan yang dia berikan pada ana.”

“Apa ana tahu orang itu?”

Kepalaku mengangguk. “Iya, anti tahu, dan anti pasti juga sependapat dengan apa yang ana lakukan.”

“Siapa dia, Silmi?” Suara bariton telah membuat kami kaget luar biasa.  

Sempat beberapa detik aku diserang kepanikan. Apa dia mendengar pembicaraan kami tadi? Entahlah. Tak ada cara lain selain berusaha menenangkan diri. 

“Kak Zaid, kenapa datangnya diam-diam? Mengagetkan kami saja,” bentakku untuk menutupi salah tingkah. 

“Aku tidak diam-diam. Kamu saja yang asik ngobrol dengan Syifa sehingga tidak menyadari kehadiranku.” Zaid membela diri. 

“Jadi kamu mendengar, pembicaraan kami tadi?” tanyaku hati-hati, aku khawatir dia malah bertanya.

“Sempat sedikit,” Zaid mengangkat muka, keningnya bertautan, “hmm.. orang yang istimewa. Siapa dia? Boleh aku tahu? Apa dia … Ha… ."

“Ahh, kamu! Tak usah ikut campur, ini urusan gadis,” seruku seraya mendorongnya, dan menyeretnya ke deretan buku-buku sejarah, “Tadikan kamu mau cari buku di sini.”

Kutinggalkan dia dalam keadaan bingung. Aku tak peduli, aku hanya berharap, dia tidak terlalu banyak mendengar pembicaraan kami tadi, dan tidak juga menebak-nebak sendiri. 

“Silmi, istighfar!”

“Istighfar? Apa maksud, Syifa.” Aku tak mengerti.  Sebelum bertanya, Syifa sudah memberikan jawabannya.    

“Apa yang anti lakukan tadi pada Zaid? Zaid dan anti bukan mahram!”

Tubuhku mengejang. Bayangan-bayangan apa yang terjadi tadi bagaikan slider berjalan di otakku. Aku memegang, menarik tangan dan juga mendorongnya.. 

“Astaghfirullah. Ana khilaf Syifa, gumamku pelan. hampir saja, air mataku menitis.”

 Aku telah melakukan kecerobohan lagi. 

“Sudahlah, ke depannya hati-hati, jika berhadapan dengan Zaid. Sepertinya Zaid dan anti, sama saja. Bisa lepas kendali, bila bertemu.”

“Doakan ana, Syifa.” Kataku gemetar. 

“Nih, hadiah untukmu?”

“Untukku, Syifa?” ulangku, aku tak bisa menyembunyikan rasa keterharuan.

Syifa mengangguk, “Sejak tadi ana ingin memberi anti hadiah buku, dan kebetulan ana lihat ini. sepertinya cocok untukmu, dan sebenarnya cocok juga untukku.”

 Syifa tertawa-tawa kecil.

Aku mengambil buku yang disodorkan Syifa. Kueja judul yang terpampang di sampul, dengan hati menghangat. Cinta Dalam Islam.

Dahiku mengerut. Penasaran dengan isinya. 

Aku mengangguk dengan tersenyum tipis. “Jazakillah khairan katsira.”

“Wa iyyaki.”

“Kalian sudah menemukan buku yang kalian cari?”

“Kak Zaid, sukanya mengejutkan orang saja.”

Zaid malah tertawa mendengar hardikkanku. “Kamu, Silmi, kenapa jadi gampang kagetan?” 

Syifa pun cekikikan. 

“Kamu sudah menemukan buku yang dicari?” tanyaku merengut. 

“Sudah, nih, sahut Zaid, sambil menunjukkan buku yang dia pegang. Dan ini untukmu.”

Aku menyambutnya ragu-ragu, tapi tak tahu harus bagaimana menolaknya. Terlebih lagi judulnya, sepertinya… .

“Yuk, kita pulang sekarang.” Kata Syifa. 

Dengan cepat kumasukkan buku itu dalam kantong plastik. Terima kasih, Kak.

Zaid menganggukkan kepala dengan menampilkan wajah puas. Aku mengerjap dan sambil menelan ludah. 

Mengapa lelaki ini sangat menawan? Atau imanku yang terlalu rapuh? Bagaimana nanti jika kami jadi iparan? 

Allahumma inni a'udzu bika min fitnatir rijaal. 

Ya Allah, lindungilah aku dari fitnah laki-laki.

        ***

  Detak Cinta Shafura  Part 37: Fitnah Laki-laki  "Shafura." Refleks kami berpaling, ke arah sumber suara.  “Kak Zaid?” “Shafura?”...
El Nurien
El Nurien

Detak Cinta Shafura

 Part 36: Bisik-bisik Kecemburuan 



 Hari ini, hari hantaran Aisyah. Sejak kemarin di rumah Aisyah sudah mulai sibuk. Dan hari ini juga jadwal tes hafalan 30 juz. Ada 30 santri putri, yang terdaftar. Di bentuk 6 team penjaga. Tiap team  terdiri dari 4 orang. Dua orang ustadzah dan dua santri. 


Tak lupa juga, disiapkan orang cadangan, jika yang bertugas ada keperluan mendadak atau sakit. Setiap dua team bergantian shift. Waktu estimasi sepuluh hari akan selesai. In sya Allah. Aku kebetulan kena tugas dengan Ustazah Wahidah. Dua santri bimbinganku kena jadwal pada hari 7, sedang Cahya meminta hari ke sepuluh. 

Jauh hari Aisyah sudah memintaku agar menemaninya pada hari ini. Aku mengelak dengan alasan bertepatan jadwal tes santri. Walaupun dengan berat hati, Aisyah tak memaksaku. Aku bersyukur akan hal ini. Sehingga aku bisa fokus pada tugasku. 

Sesekali kudengar juga, bisik-bisik santri ketika menunggu antrian di kamar kecil.

Aisyah tampil sangat cantik. Ada rasa lega, menyusup dalam rongga dada. Zaid, laki-laki yang kucintai akan mendapatkan istri yang cantik dan salehah.

Mereka sangat cocok. Cantik dan tampan. Ada rasa yang tak bisa kubohongi. Aku iri. Ya, Allah ampuni aku. 

Syukurnya, semua rasa tak mampu lama bergejolak, lebih baik aku fokus mendengarkan bacaan santri. 

Silmi, sebuah panggilan diikuti kemunculan Aisyah di pintu. Aisyah memberi isyarat, menyuruhku mendekatinya. Langsung saja aku memberi isyarat kepada teman untuk menggantikanku. 

"Maaf, Silmi, ana mengganggu anti. Tapi ana perlu dengan anti. Malam ini, Ibunya Abdurrahman mengajak ke mall,  mencari gaun sudah jadi. Mumpung ada Abdurrahmannya di sini, sekalian mencocokkan gaun dengan pakaian laki-lakinya  Dan ibunya Abdurrahman tadi minta untuk mengajak anti."

Alisku mengerut. "Tante Kurnia mengajakku, untuk apa?"

"Ah, Silmi. Sok tidak mengerti segala. Kenapa anti tidak cerita ke ana, kalau anti sudah bertunangan dengan kakaknya Abdurrahman? Fahri. Anti, Sil, masa kebahagiaan ini tidak berbagi dengan ana.  Ana senang sekali, kalau akhirnya kita jadi keluarga," oceh Aisyah.

"Akhir-akhir ini, kita sama-sama sibuk. Tak ada waktu lagi buat kita untuk saling bercerita,"  sahutku asal. 

"Iya, benar juga. Sayang sekali, waktu khataman bertepatan dengan pernikahan ana. Padahal saat-saat seperti ini, ana semakin ingin dekat dengan anti. Berbagi cerita, ingin mengenal Abdurrahman lebih jauh, ah … sudahlah ... Anti siapkan ikut?!"

Otakku berputar keras, mencari alasan untuk menolak. Sibuk? Shift tugasku akan selesai, diganti shift tugas malam."

“Fahri ikut?" tanyaku.

"Yey, sudah rindu ya?"  goda Aisyah.

"Huss hati-hati ngomong. Kedengaran anak santri."

Aisyah hanya cekikikan.

"Bukan begitu, kalau ga ada Fahri atau Farah, maka ana akan mengajak Syifa."

"Hmm … kenapa begitu?" alis Aisyah mengkerut.

"Ana cuma tak mau dikacangin," tukasku asal.

"Yey … memangnya kita pacaran. Sudah ah. Anti siapkan? Habis Isya langsung kesebelah ya, jadi ana ga perlu manggil-manggil anti," seru Aisyah, sambil berlalu tanpa menunggu jawabanku. 

"Sepeninggalannya, mendadak napasku terasa berat. 

Hari yang berat. 

    ***    


Sekitar jam 8 kami berangkat, dengan mobil Om Herman. Zaid yang mengemudi. Fahri ternyata tidak ikut. Tante Kurnia, Aisyah dan Bibi Sarahadik Tante Kurniaduduk di jok tengah, aku dan Syifa di jok paling belakang. Dengan posisi seperti ini, lumayan membuatku sedikit nyaman.

Sepanjang jalan, hanya Tante Kurnia dan Bibi Sarah yang berceloteh. Mereka saling bercerita banyak hal. Tentang anak-anak mereka, makanan khas masing-masing daerah, dan juga sempat-sempatnya diselipi fasyion. Ah, perempuan, memang gila fashion. 

Tante Kurnia menyampaikan salam titipan Fahri untukku. Katanya Fahri sangat sibuk di pasar, sehingga tak bisa ikut. Padahal dia sangat ingin.     

Begitu sampai, memasuki Mall, Tante langsung mendekatiku. Memang begitulah sikap beliau padaku. Penuh kasih sayang. Bahkan sekarang volume bertambah semenjak aku bertunangan dengan Fahri. 

"Silmi, kenapa kamu kelihatan pucat? Kamu tidak apa-apa kan? Tadi waktu acara hantaran kamu ke mana?" Tante memberondongku dengan banyak pertanyaan.

"Ah, tidak apa-apa, Tante. Kemungkinan karena Silmi cuma terlalu cape. Kebetulan lagi sangat sibuk. Kaena itulah, Silmi tak bisa membantu di acara hantaran Aisyah tadi."

Aku jadi kikuk. Aku benar-benar tak nyaman, dengan sikap Tante, terlebih lagi di dekat Aisyah.

"Oh, begitu. Paling tidak, tetap jaga makan, dan luangkan waktu istirahat! Lihat mukamu pucat sekali, dan kelihatan agak kurusan dari kemarin," kata Tante Kurnia sambil mengangkat pergelangan tanganku.

"Insya Allah, Tante," sahutku sambil mengerling ke arah Aisyah. Sepertinya dia tak apa-apa. Ah, ternyata aku saja yang berlebihan.

"Nah, ini dia butiknya," seru Bibi Sarah sambil menunjuk, ke arah sebuah butik,  dari luar sudah terlihat beberapa gaun pengantin muslimah terpajang. 

"Tante, Silmi mau ke sana dulu, ya. Ada yang mau Silmi cari," kataku sambil menunjuk ke arah aksesoris. Tante Kurnia mengizinkan dengan anggukan. 

    ***


"Banyak sekali, Silmi?”

Syifa keheranan, karena aku membeli bros dan gantungan kunci yang cukup banyak. 

"Ana mau ngasih hadiah ke anak-anak, Syifa, dan kalau yang ini, untuk anti." 

Aku memasukkan sebuah gelang ke pergelangannya. 

Dari tadi aku perhatikan Syifa melirik-lirik gelang ini. Aku tak mengerti, kenapa ia tidak membelinya.

"Ini untuk ana, Silmi?"

Syifa mengguncang tangannya dengan binaran surprise.

"Terima kasih banget."

"Iya. Ana beli dua, satu untukku, satu untukmu. Kita memakai gelang yang sama, ini akan menjadi kenangan dalam persahabatan kita. Terima kasih ya, Syifa atas kebaikannya selama ini," mataku rasanya berkaca-kaca, menahan rasa keterharuan.

"Sudah ah, kita jangan melowan di sini. Malu kelihatan orang. Yuk kita ke mana lagi?" seru Syifa sambil mengalihkan pandangannya.

Aku tahu dia hanya ingin menyembunyikan matanya. 

"Beberapa langkah, dari toko kami membeli aksesoris tadi. Tiba-tiba ada yang menarik perhatianku. Boneka. Langsung saja, aku masuk toko boneka itu. Setelah melihat-lihat, akhirnya kuputuskan membeli boneka beruang pink. Sepertinya cocok untuk Helena. Mudahan dia suka. 

"Anti perhatian sekali sama anak-anak anti, terlebih lagi pada Helena. Boneka itu untuk  Helena kan? Ana tahu, anti bukan pencinta boneka."

Aku tersenyum tipis, "ana cuma mau ngasih kenang-kenangan pada mereka. Seperti yang ana katakan pada anti, ana sudah bertunangan. Jadi tak kan lama lagi di sini."

Syifa mengangguk. "Kita kemana lagi?"

"Kita ke toko jam tangan, ya."

"Baiklah, tak masalah."

"Jazakumullah khair."

Kami memasuki sebuah toko jam tangan, deretan jam tangan tersusun rapi dalam etalase. 

"Anti yakin, beli jam di sini? Di sini kan jamnya mahal-mahal."

Aku hanya menepis kekhawatirannya dengan senyuman tipis. 

"Aku bingung, Syifa, mau pilih yang mana. Semuanya bagus-bagus.

Mataku tak bisa lepas dari melihat arloji-arloji  yang berjejer. 

"Kamu beli untuk siapa, Silmi? Ini kan jam tangan laki-laki!"

Belum sempat aku menjawab, tiba-tiba ada yang memanggil namaku.

"Shafura."

Sontak kami menoleh ke arah suara. 

"Kak Zaid?"


Detak Cinta Shafura  Part 36: Bisik-bisik Kecemburuan   Hari ini, hari hantaran Aisyah. Sejak kemarin di rumah Aisyah sudah mulai sibuk. Dan...
El Nurien
El Nurien

 Detak Cinta Shafura

 Part 35: Penolakan 



"Bagaimana bisa anti menjalani semua ini?"

"Entah. Itulah sebabnya ana ingin merenung di sini. Memikirkan dengan jernih semua apa yang telah Allah atur untuk ana."”

"Maafkan, ana. Tak seharusnya ana ke sini."

"Bukan begitu. Ana malah senang dengan perhatian anti. Jujur, mungkin saat ini, hanyalah anti yang bisa memahami perasaan ana. Ana sendiri tak tahu apa yang terjadi dengan perasaan ana. Perasaan ana benar-benar kacau."

"Sabar, ya. Ikhlas." Syifa memegang tanganku.

Aku mengangguk.

"Oh, iya, bagaimana dengan anti?"

"Maksudnya?"

"Maulana Harits??"

"Oh itu..., dia sudah menolak," jawab Syifa sendu. 

Aku jadi merasa bersalah menanyakannya. Aku tak tahu harus bicara apa. Aku tak menyangka Maulana Harits benar-benar menolaknya.

 Apa yang kurang dari Syifa. Cantik, pintar dan berkelas, masih sekufu dengan Maulana Harits, yang katanya anak seorang kyai. Jodoh. Aku benar-benar tidak mengerti. 

"Sabar, ya. Mungkin belum jodohnya,"” kataku lembut. 

Syifa tersenyum pahit. 

"Bukannya ana sangat memimpikan pernikahan, tapi… ."

Aku diam saja, menunggu kelanjutannya.

"Ana cuma merasakan kepahitan dalam menjalani ketidakberuntungan persoalan cinta. Dulu ana menyukai teman kakak ana, tapi laki-laki itu sedikit pun tak menaruh perhatian pada ana. Karena tak tahan memendam rasa cinta, ana menyatakan terus terang perasaan ana padanya. Tapi, apa balasannya?" Syifa menatapku. Aku tetap tak bergeming. Aku bisa menebak dari keketiran kata-katanya. 

“Dia menolak cinta ana. Dan, kemarin? sempat bertunangan dengan laki-laki yang dijodohkan Kyai Ibrahim. Entah kenapa, tanpa alasan yang jelas, dia memutuskan pertunangan. Dan sekarang ana lagi-lagi ditolak oleh seorang laki-laki."

“Ya, mungkin dengan berbagai alasan yang tidak kita ketahui, tapi pada intinya mereka memang belum berjodoh dengan anti?" kataku hati-hati.

Saat ini dia sedang terluka, aku sangat takut perkataanku malah menambah lukanya. 

"Iya, ana sadari itu. Pada hakikat memang belum berjodoh. Tapi segala sesuatu pasti ada sebab. Kenapa mereka menolak ana? Apa yang kurang dalam diri ana?"

"Mungkin masalahnya, bukan permasalahan ketertarikan pada kecantikan, keindahan, atau kelebihan lainnya. Tapi pada persoalan hati, persoalan cinta." Aku menjiplak perkataan Farah kemarin. 

Aku juga teringat cerita Aisyah, tentang Zaid menolak seorang gadis Yaman yang cantik. Cinta. ya, cintalah alasannya. Siapa pun tak bisa memaksakan untuk jatuh cinta atau menghindar dari cinta.

"Mungkin."

"Jadi persoalannya, bukan mereka tidak menyukai anti, hanya saja mungkin dalam hati mereka ada orang lain," ujarku sambil merenung. 

Aku membayangkan, bagaimanakah Zaid bersikap penuh cinta pada Aisyah? Sedangkan dalam hatinya ada orang lain. Aku telah bersalah dalam hal ini. Tidak. Kelebihan Aisyah akan menghapus semua sosokku dalam kehidupan Zaid. Masalahnya aku tak bisa menjauh dari Zaid. Ya, Allah tuntun hati-hati kami. 

Kupandangi Syifa, sepertinya hatinya masih galau. 

“Ayolah, laa tahzani! Ana yakin, ada seorang laki-laki yang mencintai anti, hanya saja saat ini kalian masih belum bertemu. Ibtasimi1," kataku berusaha menyemangatinya.

Syifa tersenyum tipis, “nti, Silmi bisa saja. Syukran. Barakallahu fiik.

"Wa iyyaki."

Aku kembali menatap bintang. Indah sekali. Apa yang dilakukan Zaid saat ini, ya? Apakah dia masih menyukai menatap bintang? Makan keripik kentang?

Tanpa sadar aku tersenyum sendiri. Terlalu banyak kenangan indah yang kami lalui. Terlalu banyak sejarah, yang mengikat hati kami. 

"Ehmm.. Senyum-senyum sendiri, ingat apa hayoo?” 

"Kita shalat tahajud dulu, yuk,” kataku tanpa menghiraukan godaannya. 

        ***

Sekitar jam delapan pagi, setelah sarapan kami memulai membentuk halaqah. Fadia, Nadhirah, Habibah dan aku. Hasil undian yang keluar adalah nama Habibah. 

Jam 12, kami berhenti, persiapan shalat Zuhur, setelah shalat Zuhur, kami mulai lagi. Begitulah seterusnya, kami berhenti, ketika persiapan shalat, makan dan keperluan masuk WC. 

Pada awal-awalnya, Habibah membaca dengan sangat lancar, ada kesalahan sedikit-sedikit, tapi setelah 15 juz ke atas mulai lambat, terlebih lagi 20 ke atas, dia sudah kurang lancar. Berkali-kali dia lupa, bahkan ketika diingatkan pun, Habibah tidak bisa melanjutkan. Sampai akhirnya dia selesai.

Catatan kuberikan padanya, disertai dengan keterangan. Aku memberi pesan pada agar  menjaga stamina. Karena sepertinya dia sangat kelelahan, sehingga konsentrasinya buyar, selain itu juga melancarkan bacaan 15 juz ke atas, sampai benar-benar lancar. Agar lidah benar-benar terbiasa, karena adakalanya, walaupun kita tidak bisa konsentrasi seratus persen, tetapi jika benar-benar lancar, bisa saja kita membacanya di luar alam sadar. Karena sudah benar-benar hafal. Seperti halnya, berjalan menuju sebuah jalan yang sering kita lalui. Walau berjalan sambil mengkhayal, kaki tetap saja melangkah ke arah tujuan, tanpa harus selalu di ingatkan oleh akal. 

Sedangkan Nadhirah, bermasalah pada ayat-ayat mutasyabbihat. Dia sering terjungkal, ketika berhadapan dengan ayat mutasyabbihat. Mungkin waktu pengulangan hafalan, Nadhirah kurang cermat membedakannya. Allahu a'lam. 

Aku hanya bisa menyuruhnya mencatat ayat-ayat mutasyabbihat yang sulit baginya, atau melanjutkan ke ayat berikutnya. Terus mencatat sampai benar-benar lancar, menulis tanpa ada kesalahan, menulis sampai betul-betul hafal. Memang benar-benar memerlukan kesabaran. Namun, jika dia benar-benar menaruh perhatian, insya Allah dia bisa. 

Sedangkan Fadia, dia berjanji akan sam’an dengan temannya, yang kebetulan lagi haid. Jadi temannya bisa fokus membantunya. Alhamdulillah satu pekerjaan selesai. Semoga Allah memudahkan langkah mereka.

Selanjutnya aku menaruh perhatian, anak-anak ku tes per tiga juz. Setidaknya aku punya waktu tiga hari untuk mereka. Alhamdulillah semuanya berjalan lancar, dengan hasil yang memuaskan. Dan malam ini, aku ingin membaca surat balasan dari Hans. Sudah berapa hari yang lalu kuterima surat ini, melalui Helena. Namun, baru sekarang aku bisa membacanya. Lagi-lagi di tempat biasa. Tempat yang menjadi saksi bisu, aku merenung, berpikir, dan sesekali ditemani Syifa. 

Assalamu ‘alaikum warahmatullah

Alhamdulillah, kabarku baik. Semoga anti juga baik-baik di sana. Aamiin.

Alhamdulillah, ana terima surat anti dengan lapang dada. Awalnya ada sedikit goncangan, tapi ana yakin, ini semua adalah kehendak Allah. Alhamdulillah ‘ala kulli hal. 

Iya Ukhti, ana memahami, bahkan ana senang, Ukhti lebih memilih bakti kepada orang tua, daripada mendahulukan perasaan sendiri. Dan ana pun tidak akan senang, bila anti mendahulukan pilihan anti dari pada orang tua. Keridhaan Allah terletak pada keridhaan orang tua. 

Terima kasih Ukhti, atas doanya. Semoga anti juga mendapatkan pasangan, yang selalu menyayangi dan membimbing anti dalam agama. Aamiin. 

Andai boleh meminta. Ana minta, sepeninggalan ana nanti, ana minta tolong perhatikan Helena. Dia telah ditinggalkan ibu, dan sekarang ana terpaksa meninggalkannya lagi untuk sementara. Ini akan membuatnya sedih lagi. Insya Allah, dengan kehadiran anti, Helena akan terhibur dan merasakan kasih sayang. Helena sangat menyukaimu. 

Sebelumnya, ana ucapkan Terima kasih. Maafkan, jika ada kesalahan ana dan adik ana. 

Barakallahu fiikum. Jazakumulah khairan katsira. 

Hans. 

Alhamdulillah. Betapa besar hatimu. Semoga kamu berjodoh dengan gadis cantik nan shalehah. 

        

 Detak Cinta Shafura  Part 35: Penolakan  "Bagaimana bisa anti menjalani semua ini?" "Entah. Itulah sebabnya ana ingin merenu...
El Nurien
El Nurien


Detak Cinta Shafura

 Part 34: Realita 



 Setelah menemui Fadia, Nadhirah, dan Habibah tadi, langsung  teringat pekerjaanku yang belum selesai. Hari ini harus selesai. Menyalin nilai santri ke buku raport, memeriksa catatan laporan tahfiz, memberi jawaban kepada Hans. Ah,  pekerjaan ini rasanya berat sekali. Betapa aku masih ingin ikut bersamanya. Walaupun hatiku telah terpaut kepada Zaid, tapi aku merasa pergi bersama Hans adalah jalan yang terbaik. 

Astaghfirullah, bukankah Allah lebih tahu apa yang terbaik buat hamba-Nya? 

Setelah selesai menyalin nilai ke raport santri, terbersit mendahulukan menulis surat dulu kepada Hans, tapi di sisi lain, aku khawatir akan melibatkan emosi lagi, alih-alih nanti malah menelantarkan pekerjaan lainnya. Maka kuputuskan memeriksa catatan tahfiz santri dulu. 

Ada kebahagiaan lagi yang menyusup ruang hati, ketika menatap satu persatu catatan-catan tahfiz santri. Ada yang baru 3 juz, 6, bervariasi, bahkan yang sudah 15, 20, bahkan 21 juz. Anugerah yang sangat indah buatku. Betapa aku bahagia melihat hasil ini, dan aku tak ingin kebahagiaan hilang karena kelalaianku.

Langsung saja aku catat nama-nama santri disertai dengan berapa hafalan mereka. Mereka akan kuberi tugas, menguatkan hafalan dulu, setelah itu mereka akan ikut tes hafalan halaqah 3, juz, 6, juz, 9, 12, 15, 21, 24, dan 27 juz. 

Sebenarnya sistem di sini menggunakan sistem kelas perlima juz. Kelas satu mereka yang hafalannya di lima juzz pertama. Begitu seterusnya perlima lima juzz, puncaknya di kelas enam. 

Tapi berbeda denganku. Aku dikhususkan memegang santri yang mempunyai banyak masalah dalam proses menghafalnya, atau dengan kata lain, mereka paling terlambat dalam menghafal. 

Dengan fokus memerhatikan mereka maka akan menemukan kelemahan mereka. Seperti Helena, ia kesusahan beradaptasi dengan lingkungannya sehingga perasaannya selalu buruk hingga akhirnya juga berpengaruh pada kesehatannya. Kesehatan buruk juga akan berdampak pada kinerja fisik dan otak. 

Beda lagi dengan Cahya. Cahya ternyata memang daya ingatannya sangat lemah, tapi ia antusias dalam ilmu. Karena itulah, aku pinjamkan buku tafsir yang telah diberikan Zaid padaku. Alhasil, ternyata hasil luar biasanya. Ia menghafal dengan pemahaman. Tahun pertama dia sangat kesulitan, ia sempat menyerah. Alhamdulillah, setelah dengan memakai metode ini, dua tahun ia bisa ikut tes untuk tahun ini. 

Alhamdulillah. Semoga Allah mudahkan. 

Mereka tak kuizinkan menambah  hafalan, sebelum mereka lulus dalam halaqah-halaqah tes tersebut, sesuai hafalan yang mereka miliki. Aku tak ingin apa yang menimpa padaku, terjadi pada santri-santri bimbinganku juga. Cukup satu kali kehilangan tongkat. 

Dulu aku terlalu bernafsu menyelesaikan hafalan. 3 tahun sudah kuselesaikan setoran 30 juz, tapi giliran persiapan tes, ternyata hafalanku berantakan. Fokusku, saat itu hanyalah menambah dan menambah, sehingga aku keteteran dalam menjaganya. Alhasil, hampir dua tahun kemudian, baru aku bisa menyempurnakan 30 juz. Satu tahun mengabdi, tahun berikutnya baru aku mengikuti program alim. Program menelaah kitab-kitab. 

Aku sangat menyesali kerakusan dalam menghafal, kini kurasakan hikmahnya. Setidaknya tidak akan terjadi pada anak bimbinganku, selama mereka mau patuh dengan petunjuk yang kuatur. In sya Allah.

Lima orang 3 juz, dua orang 9 juz, dua orang 12 juz, tiga orang 15 juz, sisanya lima orang, belum mencapai 3 juzz.

Dibanding Ustadzah yang lain, aku yang paling sedikit memiliki murid. Tapi, Alhamdulillah. 

Terima kasih, Ya Allah, semoga semua pahala ini mengalir kepada semua orang yang telah ikut membantuku berada di sini.

Sekarang tinggal menulis surat untuk Hans. Aku tersanjung dengan perhatian Hans padaku. Gadis mana yang tidak tersanjung dengan perhatian seorang Hans? Hans, yang sempat menjadi tempat harapanku. Membawaku pergi ke Mesir. Namun, Allah berkehendak lain. Semoga Hans memahami dan tidak terluka dengan jawaban yang akan kukirim padanya. 

"Assalamu ‘alaikum warahmatullah. 

Kaifa hailuk, ya Akhi? Semoga Allah selalu menjaga dan merahmatimu selalu. aamiin. 

Pertama, ana ucapkan Terima kasih atas segala kebaikan dan perhatian yang antum berikan padaku. Ana sangat tersanjung. Ana tersanjung dengan lamaranmu,  tersanjung dengan ajakanmu ke Mesir. Sungguh, ana sangat tersanjung sekali. semoga Allah juga menyenangkan hati antum.

Sebelumnya ana minta maaf, karena tidak bisa menerima lamaran antum. Bukan ana tak menaruh perhatian pada antum, hanya saja ibu ana telah menerima laki-laki lain untuk ana. Maka tiada jalan lain, selain mentaatinya. maafkan atas kelemahan ana. Semoga antum tidak terluka dan dapat memahaminya.

Semoga antum menemukan gadis shalehah yang cocok untukmu, yang bisa menemanimu belajar ke mana pun. Gadis yang taat pada Allah, Rasul-Nya, dan padamu.

Baarakallahu fikum. Jazakallah khairan katsira.  

Wassalam. 

Silmi.

Tanpa sadar, air mataku menetes. Tak bisa kugambarkan bagaimana perasaan ini, ketika menulis surat, dan aku sendiri bingung kenapa begitu. Ada rasa haru, tapi ada juga rasa sedih. Sedih kenapa? Bukankah aku tak mencintai Hans? Bahkan, niatanku menerima hanyalah aku ingin Hans membawaku sejauh mungkin. Lantas kenapa aku sedih atas apa yang terjadi? Apakah aku mulai menyukai Hans? Entahlah. Kurasa aku normal, bila aku mulai menyukai laki-laki seperti Hans. 

***

"Belum tidur, Silmi?"

Aku mengangkat kepalaku, memandang ke arah suara. Syifa. 

"Belum ngantuk. Anti sendiri?"

"Tadinyaa sudah tidur. Barusan terjaga, dan kulihat anti tidak ada di kamar. Jadi ana ke sini. Ana yakin betul, anti ada di sini."

Syifa ikut bersandar di dinding, tempat yang biasa aku kunjungi untuk berbagi kisah. 

Tanpa sadar aku melirik pergelangan. Aku lupa. Arlojiku sudah tidak bersamaku lagi.

"Sudah jam berapa?"  tanyaku lirih. 

Syifa memandangku sesaat, beralih ke pergelangan, lalu berucap, "Hampir jam 12. Arlojinya mana? Sudah dimuseumkan?"

Nada mengejeknya membuatku tersenyum.

Syifa bersandar di dinding dengan mata terpejam. "Kenapa belum tidur? Masih belum move on?"

"Tidak. Ana cuma ingin merenung, setidaknya untuk malam ini, ana ingin menatap langit. Besok-besok, ana akan sibuk. Persiapan tes untuk Fadia, Habibah dan Nadhirah. Dan ana sudah meminta anak-anak ana tes halaqah per lima juz. ”

Syifa membuka matanya, lalu menghadapi. 

"Silmi, bukankah setelah tes selesai, kita menyiapkan persiapan acara khataman? Dan itu bisa juga melibatkan santri, tak terkecuali anak-anak yang ada di bawah pengawasanmu?"

"Iya, ana sadar itu. Semuanya sudah ana catat, rencananya sesudah selesai mendengarkan hafalan Fadia, Nadhirah dan Habibah. Ana sudah mengkonfirmasi, siapa-siapa yang siap menjadi penjaganya." 

"Kenapa, anti begitu berambisi mengatur semua ini? Bukankah anak-anak bisa tes halaqah, setelah mereka istirahat liburan dan masuk kelas lagi?"

“"Ana tak yakin, apakah ana masih di sini setelah itu," sahutku berusaha menahan gelombang di hati.

"Apaa?" Syifa mengangkat alis, “"apa, anti mau keluar dari sini, setelah pernikahan Ustadzah bAisyah?"

"Mungkin begitu. Bukan karena pernikahan Aisyah dengan Zaid."

"Lantas?"

"Karena ana sudah ditunangkan."

"Masya Allah… ."

Mata Syifa berbinar. Mendadak binaran matanya pun turun seketika, karena melihat sikap sayupku, "dengan siapa?"

“Fahri, Kakaknya Zaid."

"Apa???" Syifa menjerit tak percaya, "Fahri, kakaknya Zaid? Apalagi ini, Silmi?"

Syifa menggeleng-gelengkan kepalanya. 

“Ini kenyataan, Syifa,"  tegasku.

"Bagaimana dengan anti? Maksudku..., ana sendiri tidak tahu harus ngomong apa. Anti mencintai Zaid, tapi anti menikah dengan kakaknya. Ini, sulit dimengerti."

"Beginilah yang realitanya, Syifa," sahutku. Pandanganku kosong, menerawang entah kemana. Seakan-akan menembus angkuhnya dinding yang ada di depanku. 

"Andai..., andai ana bisa. Ana pun tak ingin seperti ini. Bahkan sebelumnya, ana ingin pergi dari sini, ikut Hans. Tapi, tanpa ana ketahui, Ibu telah menerima lamaran Fahri.”

“Hans?"  Syifa memiringkan kepalanya.

"Iya, Hans sempat melamar ana, dan dia mengajak ke Mesir karena dia ingin kuliah di sana. Kupikir inilah jalan yang ditawarkan Allah untukku, agar bisa jauh dari Zaid. Ternyata tidak, malah semakin dekat."

"Bagaimana bisa anti menjalani semua ini?"

Detak Cinta Shafura  Part 34: Realita    Setelah menemui Fadia, Nadhirah, dan Habibah tadi, langsung  teringat pekerjaanku yang belum selesa...
El Nurien
El Nurien

 Detak Cinta Shafura

 Part 34: Indahnya Persahabatan 




"Silmi," pekik Fitri ketika melihat kedatanganku. Sesaat Fitri mengumpat, dia kecolongan, Hilma lebih dulu memelukku. Mata fitri memelotot, Hilma menjulurkan lidahnya. Tingkah mereka menciptakan tawa. 

"Antunna ini terlalu lebay, kaya berpisah sekian tahun saja,"  kataku sambil tertawa.

"Bukan sekian tahun, Ukhti, seperti puluhan tahun malah,"  balas Fitri. 

"Oya, berarti ana sangat dirindukan dong?!" godaku.

"Sangat,"  sahut Fitri mantap.

"Alah, Fitri. Palingan rindu oleh-olehnya,"  celetuk Hilma. 

"Ana memang rindu, kok. Anti jahat, Hil, bikin malu saja. Walaupun beneran ya jangan dibilang-bilang!” Fitri cemberut, pipinya semakin bulat. Spontan kami tergelak. 

"Ga apa-apa, Fit, sekali-sekali jujur untuk masalah itu. Kalau seandainya ana ga paham, terus semua oleh-oleh ana kasih ke anak santri bimbingan ana semuanya, gimana? Hayoo… ."

"Ah, Silmi. itu ga mungkin. Ana tahu, Silmi itu teman ana yang paling baik."

Aku mencibir, sambil menyerahkan kantong plastik berisi oleh-oleh padanya. Sudah kusiapkan untuk mereka. Setelah meletakkan tas di dekat lemariku, aku mendekati Syifa dan mengulurkan tangan. 

"Apa kabar, Syifa?"

Rinduku menyerbu hingga tak kuasa untuk tidak memeluk. Syifa sudah seperti kakakku sendiri. Umur kami memang selisih tiga tahun. Dia tiga tahun lebih duluan dariku di pondok ini. Hanya saja setelah khataman, dia keluar dari pondok ini.

Pondok ini adalah pesantren non formal, sehingga lulusan pondok ini tak bisa melanjutkan ke sekolah formal atau kuliah misalnya. Selain ikut menempuh pendidikan di pondok ini, Syifa tetap menjalankan pendidikan formal, bahkan ia sempat kuliah di universitas umum. Tetapi ternyata Syifa tak cocok dengan dunia luar yang menurutnya terlalu bebas. Ia risih saat mengetahui ada di antara siswa yang pacaran sambil menunggu kedatangan dosen. Akhirnya Syifa memutuskan kembali lagi ke pondok.  Mengambil program alim, satu kelas denganku.

"Alhamdulillah, baik. Anti?" Aku senang sekali melihat binaran kebahagiaannya. 

"Alhamdulillah, sudah baikan," sahutku dengan memberikan senyum yang tak kalah indahnya. 

"Aku memang bahagia sekali hari ini. Bertemu teman-teman seperjuangan, bukankah sangat membahagiakan? Persahabatan itu menjadikan semuanya menjadi indah. Begitu juga persahabatanku dengan Aisyaj. Walaupun ada cinta membentang merah dalam persahabatan kami, aku yakin persahabatan itu akan tetap indah. 

Aisyah, sudah pagi tadi aku menjenguknya, sekalian mengantar oleh-oleh, dodol asli dari Kandangan. Wajah semringah menularkan senyum di bibirku. Tak lupa dia mengabariku, hari hantarannya, pernikahan, resepsi di sini dan di rumah Zaid. 

Aku manggut-manggut saja, pura-pura serius mendengar. Sebenarnya hatiku menerawang entah kemana, lagi pula Tante Kurnia sudah memberitahukan itu. Aisyah memintaku menemani di hari hantaran nanti, tapi aku tak bisa menjanjikan dengan alasan sibuk sekali. Sebenarnya jika mengingat dia sahabat karibku, sudah semestinya aku akan berusaha meluangkan waktuku. Hanya saja..., aku ingin menghindar. 

Kini sudah tertumpuk di depanku kertas-kertas jawaban santri dan catatan perkembangan tahfiz santri asuhanku. Ada rasa jengah ketika menghadapinya, di sisi lain, ini cukup buatku untuk menyibukkan diri. Melupakan sesaat apa yang telah terjadi. 

Lega, senang, inilah yang kurasakan, hasil nilai jawaban anak-anak pelajaran yang diamanahkan kepadaku. Semuanya membuatku puas dan bersyukur. Rata-rata di atas tujuh, kalau ada di bawah dari nilai itu, hanyalah beberapa orang saja. Artinya mereka memahami apa yang kusampaikan. 

"Syifa, kapan tes 30 juz, apa sudah ditentukan harinya?"

Aku mengalihkan pandangan kepada Syifa. Kelihatan dia sudah santai. Mungkin pekerjaannya sudah selesai. 

"Senin ini."

Syifa menjawab tanpa mengalihkan pandangannya dari menelaah buku. 

"Senin ini? Dimajukan, ya?"

“Iya. Soalnya, khatamannya mau dibarengkan dengan hari pernikahannya Aisyah. Pada hari khataman kan banyak wali santri, bahkan ibu-ibu pengajian yang datang, jadi sekalian saja. Setelah tes waktunya cuma dua minggu buat persiapan acaranya, juga para santri menyiapkan segalanya."

Kepalaku mengangguk. Teringat bagaimana  khataman dulu. Lulus tes 30 juz suatu hal yang sangat menggembirakan. Namun kegembiraan itu tak berlangsung lama, karena aku harus berhadapan dengan pembiayaan khataman. Bukan biaya sedikit buatku, aku ke sini pun karena kebaikan Om Herman dan Zaid. Untunglah, Kak Saada menyanggupi semuanya. 

Syifa terlonjak akibat pekikanku yang tiba-tiba. Aku panik ketika diingatkan akan tiga anak didikku. Apakah mereka sudah siap?

"Anti kenapa, Silmi? Koq panik begitu?"

"Aku teringat Fadia, Nadhirah, dan Habibah. Apa mereka sudah siap? Aku mencari mereka dulu," seruku sambil berlalu, tanpa memperhatikan responnya. 

"Fadia, Nadhirah dan Habibah mana?"

Aku memanggil Fadia saati ia berjalan di lorong kelas. Ia tak langsung menjawab, mengedarkan pandangannya ke sekitar. 

"Itu mereka, Ukht!"” tunjuk Fadia ke pintu kelasnya. Terlihat Nadhira dan Habibah, berjalan ke arah kami. 

“Ukhti mencari kami?" tanya Nadhira, setelah dia dan Habibah, mencium tanganku. Aku benar-benar tak suka hal ini. Aku sama halnya seperti mereka, namun aku harus menghargai posisiku, sebagai pembimbing mereka. 

"Katanya Senin depan, jadwal tes. Apa antunna sudah siap?"

"Wajah Nadhirah dan Habibah berubah mendung.

"Ada apa, Nadhirah, Habibah?" Aku tak bisa menyembunyikan kekhawatiranku. 

"Kami tak menyangka, jadwalnya dipercepat, Ustadzah. Kami tidak punya keberanian untuk maju," jawab Habibah dengan wajah memprihatinkan.

"Belum lancar betul, Ustadzah. Belum lagi, pada ayat-ayat mutasyabbihat. Jika bertemu ayat-ayat itu kadang malah membuat bacaan semakin kacau. Ana tak yakin, apakah bisa lancar dalam seminggu ini. Jadi ana pikir, ikut tahun depan aja, Ustadzah. Daripada dipaksakan, takutnya tidak lancar, malah membuat kami harus menanggung malu," kata Nadhirah.

"Kenapa berpikiran begitu? Gagal dalam berusaha, adalah hal yang biasa. kenapa harus malu? Lagi pula, kalau tahun depan, takutnya karena waktu semakin longgar, dan antunna berleha-leha, maka hafalan antunna… ."

Aku tak bisa meneruskan ucapanku, begitu melihat wajah bergidik mereka. Aku sendiri tak bisa membayangkan, hafalan yang ditanam, dipupuk dan dirawat sekian tahun, tercerai berai gara-gara kesalahan sendiri. Kesalahan yang dibuat-buat. Berleha-leha. 

"Tapi,"  lirih Nadhirah.

"Bagaimana, kalau antunna simaan dulu sama ana? Nanti ana catatkan apa-apa kesalahannya, dan juga kesulitan-kesulitan lainnya. Setelah itu antunna coba memberbaiki kesalahan yang ana catatkan dan menaruh perhatian pada kesulitan antunna yang ana catatkan.


Gimana?  Masing-masing mendapat waktu dua hari buat bergiliran. Kita berempat, sama-sama saling menjaga. Bisakan? Mau kan Fadia membantu kami?" Tanyaku sambil memalingkan pandangan ke arah Fadia. Fadia mengangguk pasti. 

“Nah, sekarang bagaimana dengan antunna? Mau kan mencobanya? Ada waktu tiga hari untuk memperbaiki kesalahan dan mengatasi, mencermati ayat-ayat mutasyabbihat. Mau kan? Ayolah, ini kesempatan! Tak apa kita berlelah-lelah seminggu ini, ya."

Nadhirah dan Habibah saling berpandangan, tatapan-tatapan mereka seakan-akan pinta pendapat satu sama lain. Beruntungnya mereka memang sangat akrab, setidaknya mereka bisa saling menguatkan.

"Baiklah Ustadzah, akan kami coba," balas Nadhirah dan Habibah berbarengan, spontan juga melahirkan tawa yang menggelitik. 

"Oke, hari ini boleh istirahat. Besok kita mulai, siapa yang duluan?" tanyaku penuh semangat. 

"Nadhirah."

"Habibah."

Dua sahabat ini saling menodong satu sama lain membuat kami tertawa.

"Baiklah, kalau begitu nanti kita undi, ya? setuju?”

"Setuju." Koor tiga sahabat itu. Lagi-lagi kami tertawa. Ah, rasanya, aku ingin selamanya mengabdi di pondok ini. 

***



 Detak Cinta Shafura  Part 34: Indahnya Persahabatan  "Silmi," pekik Fitri ketika melihat kedatanganku. Sesaat Fitri mengumpat, di...
El Nurien
El Nurien

 

Detak Cinta Shafura

 Part 32: Tanggung Jawab Mahram 



“Terima kasih, Kak.” 

Kak Sakti hanya mengangguk, sambil menurunkan tas pakaianku dari motornya. Laki-laki pendiam ini wajahnya terlihat lebih tua dari usianya. Mungkin karena sejak kecil ia sudah bekerja keras dan selalu serius. 

Kutarik napas dalam-dalam, dan mengembuskan secara perlahan. Lega sekali. Perjalanan selama 6 jam, memerlukan perjuangan bagiku. Beruntungnya selama itu aku bisa bersenandung sambil tilawah menghilangkan kejenuhan. Aku merasa terkesan ketika menyadari, ternyata aku bisa tilawah sebanyak 6 juz. Hmm.. 1 juz, satu jam, bukan hal yang baik. Terlalu lambat. Namun patut disyukuri.

"Hei, kenapa melamun di situ?" Kak Sakti menyadarkanku. Tasku sudah ada di teras rumah Kak Saada, dan Kak Sakti duduk mendekati motornya. Sepertinya Kak Sakti masih sibuk, sehinga tak menyempatkan mampir ke rumah Kak Saada. Tiba-tiba ada pertanyaan yang menggelitik hatiku. 

"Kak.”

"Hmm…." Kak Sakti mematikan motornya.

"Kakak tahu ga, kalau perempuan itu dilarang bepergian jauh kecuali dengan mahram?"

Tanyaku hati-hati. Aku tak mengatakan dia buta agama, tetapi kakakku yang satu ini memang bukan laki-laki yang sangat paham agama. Kak Sakti sebagaimana orang-orang pada umumnya. Islam itu syahadat, shalat, puasa, zakat, dan naik haji bagi yang mampu. Hanya itu. Tak tahu tentang hukum hijab, tentang hukum pergaulan, dan lain sebagainya dalam agama Islam.

Kak Sakti menggelengkan kepalanya sambil menautkan dua keningnya, sebelum meluncurkan kata. 

"Tidak tahu. Kenapa?"

Ia turun dari motornya.

"Tidak apa-apa, Silmi cuma heran kenapa Kakak berusaha menyempatkan mengantar dan menjemput Silmi? Padahal Kakak tidak tahu, bahwa itu kewajiban Kakak."

"Hmm.."

"Kenapa?"

"Apanya?"

"Kenapa Kakak mau-maunya menyempatkan diri meluangkan waktu untuk Silmi, padahal kan Kakak sendiri sibuk, dan Kakak kan bisa menyuruh Silmi pulang sendiri naik taksi?"

"Oh.. itu," kembali alisnya bertautan, seakan-akan dia sendiri baru menyadari apa yang telah dilakukannya padaku. 

"Mungkin, karena kakak menyayangimu. Di mata Kakak, kamu seperti bunga yang cantik dan polos yang harus dilindungi. Kamu terlalu lemah, untuk menghadapi ganasnya embusan angin luar atau tangan-tangan jahil."

Seketika air mataku merembes keluar tanpa bisa kucegah lagi. Betapa beruntungnya aku memiliki kakak laki-laki seperti Kak Sakti. Meski ia belum memahami hukum perempuan bepergian, setidaknya rasa tanggungjawabnya begitu besar dan cermat.

"Lho, kenapa menangis? Apa Kakak salah bicara?"

"Tidak, Kak. Silmi cuma terharu. Semoga suatu saat Silmi bisa membalas kebaikan Kakak."

Kata-kataku terasa bergelombang. Aku benar-benar tak tahan menahan rasa haru. Sejak kecil aku selalu dikelilingi orang-orang istimewa.

"Sudahlah. Melihatmu seperti ini, Kakak sudah senang. Berapa banyak santri yang kamu ajarkan, sebanyak itu mengalirkan kebahagiaan di hati Kakak," Mata Kak Sakti mulai berkaca, namun dengan cepat dia menutupi dengan gurauan. 

“Hei sudahlah. Hapus air matamu, kamu tahu tidak? Air matamu itu bisa melumpuhkan laki-laki sekuat Mike Tyson."

Aku langsung tergelak. Tiba-tiba aku pun teringat perkataan Zaid pagi tadi.

Ayolah, Silmi, hapus air matamu. Jangan sampai aku melakukan kemaksiatan dengan menyentuh pipimu untuk menghapus air mata.”  

“Bahkan bisa menghanguskan iman laki-laki yang kuat agamanya,” batinku.

Aku merengsekkan badan ke tubuh Kak Sakti. Seketika tangan Kak Sakti langsung merengkuhku. 

"Kakak harus melindungiku sampai aku menikah."

"Pasti. Dan walaupun sudah menikah, aku pastikan melihatmu bahagia. Akan aku hajar Fahri kalau dia berani menyakitimu."

Aku tertawa. Pada saat bersamaan air mataku merembes. Aku bertanya-tanya mengapa aku tidak melakukan ini pada ibu dan Kak Saada? Apakah karena Kak Sakti seorang laki-laki sehingga aku merasa aman?

"Aku tak sadar, ternyata kau sudah sebesar ini dan tak lama akan menikah."

Aku mengeratkan pelukanku. 

"Maafkan Kakak. Kakak dulu terlalu sibuk bekerja, jadi tidak banyak menemani dan menjagamu."

Aku melepaskan pelukanku. Lalu menggelengkan kepala. 

"Kakak sudah banyak berbuat untukku. Silmi bangga punya saudara seperti Kakak."

Kak Sakti tersenyum.  Tangan kasarnya terangkat, mengusap wajahku. 

"Masuklah."

Aku mengangguk.“"Kakak tidak masuk dulu?"

"Nanti saja, Kakak masih banyak pekerjaan. Kakak pergi dulu, ya," seru Kak Sakti sambil menghidupkan kendaraannya.

Aku mengangguk,“"hati-hati di jalan."

Kak Sakti mengangguk, "Titip salam buat Kak Saada, sampaikan maafku karena tidak mampir dulu, Assalamu alaikum."

“"Wa alaikum salam warahmatullah."

***

Benar seperti dugaanku, begitu melihat gangan yang kubawa, Kak Saada langsung meluncur keluar rumah mencari ikan gabus bakar, bahkan kalau bisa ikan kerapu bakar, celotehnya sambil mengeluyur pergi. 

"Lama sekali belinya? Jauh, ya?" tanyaku sambil memperhatikan cara makannya yang seperti orang kelaparan.

"Iya jauh sekali. Sebenarnya kalau ikan gabus, di sekitar sini ada yang jualan, tapi aku ingin makan ikan kerapu, dan aku ingat di Komplek Handayani ada jual ikan kerapu bakar. Untungnya mereka jual hari ini, jadi pengorbananku tidak sia-sia," sahutnya sambil mengunyah. Aku tersenyum geli. Sepertinya nikmat sekali di lidahnya. 

Senyumku lenyap begitu saja, ketika dia bertanya, sambil menatap piringku.

"Silmi, makananmu masih banyak?"

Aku menatap pasrah piringku, yang hanya berlubang sedikit. Selera makanku benar-benar buruk.

"Bukankah ini juga sayur kesukaanmu, tapi, kenapa? Ada masalah?" tanya Kak Saada perhatian. "Sudahlah, makan dulu! Nanti kalau ada yang diceritakan, aku siap mendengarkan."

Aku menurut saja perintahnya, walaupun aku benar-benar tak merasakan kenikmatan gangan karuh  ini. Apa indera rasaku bermasalah? 

"Nah gitu dong, kalau sudah selesai makannya, kita bisa membicarakannya," seru Kak Sa’ada begitu melihat piringku sudah licin. Kak Saada memajukan tubuhnya.

"Ada masalah apa? Sampai-sampai makanan favoritmu sendiri, tidak kamu nikmati?"

Aku tak langsung menanggapi, aku berdiri untuk membereskan bekas kami makan.

"Tak usah, nanti saja. Mumpung Aina dan Aiman belum pulang. Kalau ada mereka kita tidak bisa bebas bicara. Katakan. Ada apa?

"Aku bertunangan dengan Kak Fahri," lirihku berusaha datar.

"Apa? Fahri, kakaknya Zaid?" tanya Kak Sa’ada dengan mimik tak percaya. "Kok bisa? Gimana ceritanya?"

Kepala Kak Saada manggut-manggut menerima ceritaku, sesekali senyum mengembang, senyum jahil menyela di wajah. 

"Sekarang, bagaimana denganmu?"

"Aku?"

"Iya, apa kamu sudah siap menikah dengan Fahri?" Kak Saada tekanan di ujung kalimatnya.

"A-a-ku...." 

Sewaktu Zaid mengatakan semuanya akan-akan baik saja, aku percaya saja. Aku siap menjalani takdir yang akan jalani, menikah dengan Kakaknya Zaid. Tapi setelah melihat getaran dan keringat lembut di tangannya, hatiku mulai bimbang. Terlebih lagi setelah dia hilang dari pandanganku, rasa kehilangan menerpaku.  Kepercayaan itu hilang.

"Kenapa?" tanya Kak Saada penuh perhatian. 

"Entahlah, Kak.” Ingin rasanya aku menangis."

Tangan Kak Sa’ada meraih tanganku dengan lembut, “katakan. Siapa tahu, kita bisa mencari penyelesaiannya, atau setidaknya perasaanmu sedikit nyaman.” 

Kak Sa’ada mengangguk, setelah melihat keraguanku.

"Tadi sewaktu Zaid bilang semua akan baik-baik saja. Aku percaya, tapi setelah kami berpisah, keyakinan itu luntur, bahkan hilang. Aku tak yakin, apakah kami bisa, baik-baik saja, sebagai iparan."

 Setelah kerinduan kami begitu memuncak. Aku tak yakin bisa sebagai iparan. Beberapa kali bertemu saja, hatiku bergetar hebat. Aku yakin Zaid juga merasakan hal yang sama. 

Air mataku meluncur begitu deras, terlebih lagi jika ingat berkali-kali ia memegang pundakku. Sepertinya itu sudah refleks saja yang sudah terbiasa dari dulu.

 Pada titik ini, aku merasa tidak adil pada takdir. Bagaimana pun mungkin takdir tidak menyatukan kami yang saling menyayangi, tapi tidak juga memisahkan jauh, bahkan mengikatnya dalam ikatan kekeluargaan. 

Bagaimana kami bisa menguasai perasaan kami? Ironisnya, kesempatan bisa saja terjadi. Lengah sedikit, setan akan menjebak kami. Bayangan ketika Zaid membopongku, menyentuh pundak, memasang arloji ke pergelangan berkelabat di benakku. Astaghfirullah, tak seharusnya kami melakukan ini. Seharusnya aku bisa menolaknya. 

Ampuni kami, Ya Allah. 

"Serahkan semuanya pada Allah," lirih Kak Saada dengan pandangan lembut. Aku merasa menjadi manusia yang paling malang saat ini. 

"Dan kita berlindung kepada Allah, dari godaan setan yang menyesatkan. Istighfar sebanyak-banyaknya. Kakak mengerti, betapa dalamnya kasih sayang yang tertanam sejak kecil, tapi sadarilah, kalian tidak halal untuk memendam rasa itu."

Kalimat terakhir Kak Saada begitu menusukku. Kami memang tak pantas mempunyai rasa sejauh ini. Kasih sayang sayang kami seharusnya sudah berakhir, sejak haid pertama, begitu juga Zaid semenjak dia mengalami masa baligh. 

Sesal, saat ini sesuatu yang percuma. Yang dipikirkan bagaimana menghilang rasa kerinduan kami?

"Apa, Kakak perlu ngomong sama Ibu?" Gumam Kak Saada mengejutkanku.

"Jangan. Ibu sepertinya sudah curiga, sejak kami ada di kamar tadi. Dibicarakan sama ibu pun, mau gimana. Kita tidak mungkin memutuskan pertunangan ini tanpa alasan. Tante Kurnia akan bertanya lebih dalam, karena beliau sudah menganggapku seperti anak beliau sendiri."

"Ya, sudah. Sekarang, tinggal kamu yang mau bagaimana menyikapi kenyataan ini. Sudahlah. Kalau memang kita tak dapat berbuat apa-apa, jadi sebaiknya kita jalani saja. Jangan bebani dengan pikiran yang macam-macam. Padahal semua itu juga belum tentu terjadi. Ayolah, tetap semangat.”

Kalimat terakhir Kak Saada, membuatku langsung tertawa. Walaupun hatiku mengatakan tak semudah itu. Namun, untuk saat ini, tak ada jalan lain selain ‘menikmati jalan yang ditentukan


***

  Detak Cinta Shafura  Part 32: Tanggung Jawab Mahram  “Terima kasih, Kak.”  Kak Sakti hanya mengangguk, sambil menurunkan tas pakaianku dar...
El Nurien
El Nurien

Detak Cinta Shafura

 Part 30: Pilihan Takdir 




 Dengan langkah gontai aku masuk ke halaman rumah Zaid. Pohon mahoni yang besar masih setia, menampakkan keperkasaan dan janji keteduhan.


 Di bawah pohon inilah kami sering duduk di atas ayunan. Dulu. Sekarang ayunannya tak ada lagi. Di mataku, pohon ini tetap menunjukkan kharismanya. Pohon ini banyak mencetak keceriaan persahabatan kami. Potongan kenangan indah membuat tanganku secara tidak sadar membelai lembut pohon ini, menyampaikan terima kasih, sekaligus berkata aku akan merindukannya. Karena aku akan pergi jauh. 

Aku sudah memutuskan menerima lamaran Hans dan ikut ke Mesir bersamanya. Sejak malam itu, Ibu tak lagi mengungkit topik ini, jadi aku semakin mantap menerima Hans. Nanti aku akan minta bantuan Kak Sa'ada untuk meluluhkan hati Ibu.

Aku sudah menyiapkan segalanya. Meninggalkan semuanya. Arloji pemberian Zaid sengaja kutinggal, aku tak ingin menyimpan apa-apa darinya. Dan hari ini, kuputuskan berbicara dengan Fahri. 

"Silmi?"

Aku menoleh ke arah suara. Tante Kurnia muncul di pintu. 

"Kenapa berdiri di situ? Ayo masuk." Perintah Tante Kurnia. 

Aku tersenyum pahit. Melihat sosok beliau, membuat hatiku semakin perih. Aku tak ingin berpisah dengan keluarga ini. Apa boleh buat, aku telah terlibat perasaan dengan dua anak laki-laki di keluarga ini.

"Assalamu ‘alaikum."

"Wa ‘alaikumsalam." Tante Kurnia menyingkir, membiarkan aku masuk. Tak lama muncul Fahri dengan wajah semringah. Melihatnya membuatku merasa bersalah. Keputusanku  akan segera melenyapkan senyumnya. 

Tiba-tiba aku merasa sebagai seorang narapidana di ruang sidang. Rupa-rupa mereka tidaklah menakutkan, tapi keputusanku lah yang membuatku takut, takut akan kehilangan keindahan dan kebahagiaan yang selama ini mereka berikan. 

"Pagi-pagi sekali, Silmi. Ada apa?" tanya Tante Kurnia. 

Fahri mendekati kami. Aku berdoa semoga Tante Kurnia, meninggalkan kami sesaat, entah akan menyuguhkan minuman, atau apa pun caranya. 

"Silmi, mau pamitan, Tante.”

Zaid yang tadinya ingin masuk kekamar terhenti di pintu, berdiri dengan tetap membelakangi. 

"Mau ke pondok? Bukankah dua hari lagi?" Sergah Tante Kurnia. 

"Iya, Tante. Tapi Silmi ingin menginap dulu di rumah Kak Sa'ada," kataku menunduk. Aku tidak kuasa menatap ketidaksetujuan mata Fahri. Kulirik Zaid, sedikit pun tak bergerak.

"Oh, begitu. Tadinya Tante mau berencana ke rumahmu."

"Mau apa, Tante?" tanyaku cepat. Benar-benar tidak sopan, memotong pembicaraan orang tua. 

"Maaf, Tante. Maksud Silmi, kalau ada yang perlu Silmi bantu, panggil Silmi saja,”  kata-kata bergelombang, aku mulai merasakan firasat aneh.

"Cuma ingin membicarakan proses perkawinan kalian."

"Perkawinan? Perkawinan siapa maksud, Tante?"

Aku masih tidak bisa memahami arah pembicaraan Tante Kurnia. Kalian itu siapa? Di sini hanya ada aku dan Fahri. Aku-Fahri? Serasa ada benda besar mencegat jalan masuknya oksigen ke paru-paruku, terlebih lagi melihat wajah Fahri. Apakah Fahri telah bertindak jauh di belakangku? 

"Lho, kamu ini gimana, Silmi?” tanya Tante Kurnia dengan wajah diliputi keheranan.

"Silmi benar-benar tidak mengerti, Tante," tukasku bergetar. Entah mengapa aku merasa di ujung tanduk. Setiap saat aku bisa jatuh dan pecah. Hancur.

"Kamu ni, Silmi. Fahri juga, benar-benar tidak tahu, atau mau bikin kejutan?"

Aku memandang Fahri, meminta penjelasannya. Laki-laki di hadapanku cuma tersenyum. Senyumnya benar-benar membuatku takut. 

"Tante kemarin bertemu ibumu," Tiba-tiba Tante Kurnia menjelma bagai sesosok monster yang akan menerkamku.

"Di acara selamatannya Bu Zaliha kemarin, lalu Tante coba-coba menyinggung tentang kamu. Tante hanya ingin tahu, apa kamu sudah punya calon. Eh, tak tahunya ibumu bilang, tidak ada. Maka Tante  menyampaikan keinginan tante menjodohkan Fahri denganmu. Ternyata ibumu mengatakan, sebenarnya Fahri diam-diam telah melamar kamu. Wah, senang sekali hati Tante, dan ibumu juga merasakan hal sama. Tidak ada yang lebih menyenangkan dari orang tua sekampung, selain anak-anak mereka berjodoh, karena itu artinya akan menambah kekeluargaan. Kenapa tidak kalian katakan dari dulu-dulu?"

Takdir lagi-lagi telah memberi kejutan padaku. Aku tatap Tante Kurnia yang menatapku penuh senyuman, senyumannya itu tak lagi terasa menyejukkan. Kebahagiaan itu hanya sepihak. Aku beralih memandang Fahri. Wajah semringahnya, seakan-akan sebuah sangkar yang akan mengikat. Entah bagaimana keadaan Zaid yang terpaku di depan pintu kamarnya. 

Ibu. Kenapa Ibu melakukan ini? 

Menerima lamaran tanpa sepengetahuanku. 

Ingin rasanya air mataku tumpah. 

Ingin rasanya aku menghambur ke pelukan Zaid. 

Zaid? Astaghfirullah. Napas beratku teriring dengan zikir. Aku butuh ketenangan. 

"Silmi, kamu tidak apa-apakan?"  Tante Kurnia cemas.

“Oh..., tidak apa-apa, Tante. Silmi cuma..., cuma kaget ketika Tante membicarakan perkawinan. Silmi belum berpikir sejauh itu," aku menelan ludah. Tenggorokan terasa mengecil.  Sakit sekali. 

Tante Kurnia tertawa ringan. "Baiklah kalau begitu, kita bicarakan nanti saja, setelah selesai perkawinan Zaid. Tapi, kamu sudah siap kan menikah dengan Fahri?”

Begitu sampai di rumah, ingin sekali kutumpahkan amarah pada Ibu. Namun, aku urungkan. Kulihat gangan karuh masuk ke dalam wadah dengan tangan rentanya. Aku dan Kak Sa'ada mempunyai selera yang sama. Bila mendapat kiriman makanan favorit ini, Kak Sa’ada akan ngotot mencari ikan bakar. Menurut Kak Sa’ada ini akan menjadi sempurna dengan ikan gabus bakar disertai sambal terasi. 

"Kamu pasti sudah mendengar cerita Tante Kurnia mengenai lamaran Fahri," kata Ibu tanpa di sela kesibukannya. Aku mengangguk, lalu duduk di samping Ibu,  meminum segelas air. Berharap sakit hati ini lenyap bersama kesejukan air yang kuminum. 

"Ibu minta maaf." Ibu duduk di hadapanku.

"Entah kenapa, Ibu sangat bahagia mendengar lamaran Kurnia kemarin, langsung saja Ibu menceritakan lamaran Fahri itu. Ibu terlalu bahagia, sehingga mengiyakan tanpa meminta persetujuanmu lebih dulu. Maafkan Ibu," kata Ibu dengan penuh rasa penyesalan. 

Aku tidak bisa berkata-kata apa. Melihat rasa bersalah terbit melihat mimik wajah Ibu. Tak seharusnya Ibu seperti itu. Aku adalah anaknya, dalam diriku ada darah dan susunya, seharusnya aku selalu bisa membahagiakan Ibu. 

Setelah Ayah meninggal, Ibu telah berjuang keras membesarkan kami. Bahkan aku tak pernah ingat bagaimana wajah ayah. Ayah meninggal saat aku masih  berumur 9 tahun, Kak Sakti 12 tahun, sedangkan Kak Sa'ada sudah 15 tahun. Kak Sa'ada dan Sakti, lebih merasakan getar getirnya kehidupan, saat itu aku masih belum tahu apa-apa.

Sejak kecil Kak Sa'ada dan Kak Sakti gigih mencari uang. Menjajakan kue Acil Ijah, es, memarut kelapa, memecah biji kemiri. Apa yang mereka lakukan asal dapat uang halal. Ibu pernah memukul Kak Sakti karena kedapatan mengemis. 

Dibanding dengan kedua kakakku, aku lebih beruntung. Aku tidak terlalu bekerja keras. Aku menjajakan kue acil Ijah hanya sesekali, itu pun dengan sembunyi-sembunyi. Kedua kakakku akan marah jika mereka tahu. Mereka ingin aku bisa belajar dan terus sekolah. 

Aku masih ingat raut sedih mereka, ketika uang tabungan mereka tidak mencukupi untuk semua keperluanku masuk SMP. Impian terakhir mereka adalah aku. Kak Sakti hanya bisa mengenyam pendidikan sekolah dasar, sedang Kak Sa'ada hanya sampai SMP. Mereka harus bekerja, untuk membantu Ibu. Ibu saat itu tak bisa bekerja penuh, karena harus memelihara nenek yang sudah lanjut usia dan pikun.

Tanggung jawab tertumpu kepada dua kakakku, dan juga Ibu yang selalu mengambil upah kodian menjahit, jika ada kesempatan.

Lalu datanglah keluarga Om Herman. Om Herman, menawariku sekolah di pondoknya Zaid, dengan biaya ditanggung beliau. Aku hampir tak percaya. Begitu juga dengan kedua kakakku. 

Saat itu sempat kulihat wajah  Zaid. Dari wajahnya itulah, aku mengambil kesimpulan, semua ini karena Zaid. Zaid yang meminta ayahnya menyekolahkanku. 

"Om, Bukannya Silmi, tidak mau sekolah, bahkan sangat ingin sekolah. Hanya saja, Silmi tak ingin menjadi beban orang lain. Terima kasih, Om, Kak. Maafkan Silmi. Silmi tak bisa menerimanya," kataku halus dengan wajah tertunduk. 

"Benar, Om, Terima kasih atas kebaikan Om kepada kami, kami tak bisa menerimanya, kami tak ingin merepotkan Om. Kami akan tetap berusaha."

Sela Kak Sa'ada yang saat itu sudah berusia 18 tahun.  

"Merepotkan gimana, Om melakukannya dengan senang hati," sahut Om Herman dengan mengamati wajah-wajah ketidaknyamanan kami. Bukannya kami sombong,  kami tak ingin terlibat hutang budi. Apalagi biaya sekolah tidaklah sedikit, belum bayar bulanannya selama beberapa tahun. 

"Begini saja, bagaimana kalau Om yang bayarkan semua biaya di awal masuknya Silmi, setelah itu kalian yang bayar bulanannya, dengan begitu tanggung jawab itu kembali lagi pada kalian, bagaimana?"

Usul Om Herman sambil memandang kedua kakakku. Ibu sejak tadi diam membisu. Mungkin terlalu banyak pertarungan dalam batin beliau.

Kedua kakakku saling berpandangan. Mereka berkomunikasi hanya lewat pandangan, sampai akhirnya Kak Sa'ada berkata. 

"Baiklah, Om, kami setuju. Terima kasih banyak, Om.”

Kedua kakakku menyalami Om Herman dan Zaid bergantian. Tinggal aku yang diam mematung. 

"Silmi." tegur Ibu.

Aku mengerti maksud ibu. Aku mendekati Om dan Zaid dengan bimbang. Om Herman memahami perasaanku. Tanpa menunggu uluran terima kasih dari tanganku, beliau langsung memelukku. Aku tak bisa berkata apa-apa lagi, hanyalah air mata yang mewakilinya. 

Om Herman melepaskan pelukan beliau, tangan beliau memegangku pundakku dan memandangku penuh kasih. 

"Silmi, anggap saja om ini ayahmu, Fahri, Zaid dan Farah saudaramu. Jangan sungkan-sungkan lagi, ya.”

Aku hanya menjawab dengan anggukan, dan wajah penuh terima kasih. Aku pun mendekati Zaid. Tangannya menghapus air mataku. Mata kami bertemu, mata dan senyumnya memberikan kehangatan dan mimpi yang indah, aku membalas tatapannya dengan sebuah janji. Aku akan belajar sungguh-sungguh. 

"Ibu, seberapa besar jika Silmi menikah dengan Kak Fahri?" tanyaku lirih sambil menatap mata tua beliau. Mata yang menyiratkan kelelahan yang mendalam. 

"Silmi, ibu sangat bahagia, kamu juga pasti tidak lupa kan jasa Om Herman padamu?”

"Iya, Bu, Silmi masih ingat. Bahkan saat itu, Silmi akan berjanji membalas kebaikan keluarga mereka."

"Inilah yang tepat untuk membalas kebaikan mereka. Lagi pula Fahri mencintaimu kan?"

"Iya, Bu. Silmi akan menikah dengan Kak Fahri, untuk membalas kebaikan Om Herman dan juga untuk membahagiakan Ibu," jawabku datar sambil tersenyum, senyuman yang tak lebih dari ukiran yang patah. 

"Kita berangkat Silmi. Nanti kesiangan."

Kak Sakti muncul dengan uapan yang lebar. 

Tampang Kak Sakti membuatku tersenyum geli. Kak Sakti pasti masih kecapean, hampir jam 10, Kak Sakti baru sampai ke rumah, dan pagi-pagi begini  harus balik lagi ke Banjarmasin mengantarku. 

Kak Sakti selalu berusaha memenuhi semua permintaanku. Apa pun, kecuali biaya sekolah setelah dia menikah. Biaya sekolahku yang ditanggungnya beralih ke Kak Sa'ada. Namun, urusan antar jemput, Kak Sakti selalu siap walaupun mencuri-curi waktu di sela-sela kesibukannya.

“Iya, Kak.”

        ***


Detak Cinta Shafura  Part 30: Pilihan Takdir   Dengan langkah gontai aku masuk ke halaman rumah Zaid. Pohon mahoni yang besar masih setia, m...
El Nurien