Cerpen, cerbung, novel, novel roman, novel rumah tangga, tips kepenulisan, novel religi, novel inspirasi, drama rumah tangga, novel romantis
Menu

KLIK FOTO UNTUK MELIHAT DESKRPSI

 

 

   







Results for "Novel Romance Religi"
El Nurien

 

Detak Cinta Shafura

 Part 32: Tanggung Jawab Mahram 



“Terima kasih, Kak.” 

Kak Sakti hanya mengangguk, sambil menurunkan tas pakaianku dari motornya. Laki-laki pendiam ini wajahnya terlihat lebih tua dari usianya. Mungkin karena sejak kecil ia sudah bekerja keras dan selalu serius. 

Kutarik napas dalam-dalam, dan mengembuskan secara perlahan. Lega sekali. Perjalanan selama 6 jam, memerlukan perjuangan bagiku. Beruntungnya selama itu aku bisa bersenandung sambil tilawah menghilangkan kejenuhan. Aku merasa terkesan ketika menyadari, ternyata aku bisa tilawah sebanyak 6 juz. Hmm.. 1 juz, satu jam, bukan hal yang baik. Terlalu lambat. Namun patut disyukuri.

"Hei, kenapa melamun di situ?" Kak Sakti menyadarkanku. Tasku sudah ada di teras rumah Kak Saada, dan Kak Sakti duduk mendekati motornya. Sepertinya Kak Sakti masih sibuk, sehinga tak menyempatkan mampir ke rumah Kak Saada. Tiba-tiba ada pertanyaan yang menggelitik hatiku. 

"Kak.”

"Hmm…." Kak Sakti mematikan motornya.

"Kakak tahu ga, kalau perempuan itu dilarang bepergian jauh kecuali dengan mahram?"

Tanyaku hati-hati. Aku tak mengatakan dia buta agama, tetapi kakakku yang satu ini memang bukan laki-laki yang sangat paham agama. Kak Sakti sebagaimana orang-orang pada umumnya. Islam itu syahadat, shalat, puasa, zakat, dan naik haji bagi yang mampu. Hanya itu. Tak tahu tentang hukum hijab, tentang hukum pergaulan, dan lain sebagainya dalam agama Islam.

Kak Sakti menggelengkan kepalanya sambil menautkan dua keningnya, sebelum meluncurkan kata. 

"Tidak tahu. Kenapa?"

Ia turun dari motornya.

"Tidak apa-apa, Silmi cuma heran kenapa Kakak berusaha menyempatkan mengantar dan menjemput Silmi? Padahal Kakak tidak tahu, bahwa itu kewajiban Kakak."

"Hmm.."

"Kenapa?"

"Apanya?"

"Kenapa Kakak mau-maunya menyempatkan diri meluangkan waktu untuk Silmi, padahal kan Kakak sendiri sibuk, dan Kakak kan bisa menyuruh Silmi pulang sendiri naik taksi?"

"Oh.. itu," kembali alisnya bertautan, seakan-akan dia sendiri baru menyadari apa yang telah dilakukannya padaku. 

"Mungkin, karena kakak menyayangimu. Di mata Kakak, kamu seperti bunga yang cantik dan polos yang harus dilindungi. Kamu terlalu lemah, untuk menghadapi ganasnya embusan angin luar atau tangan-tangan jahil."

Seketika air mataku merembes keluar tanpa bisa kucegah lagi. Betapa beruntungnya aku memiliki kakak laki-laki seperti Kak Sakti. Meski ia belum memahami hukum perempuan bepergian, setidaknya rasa tanggungjawabnya begitu besar dan cermat.

"Lho, kenapa menangis? Apa Kakak salah bicara?"

"Tidak, Kak. Silmi cuma terharu. Semoga suatu saat Silmi bisa membalas kebaikan Kakak."

Kata-kataku terasa bergelombang. Aku benar-benar tak tahan menahan rasa haru. Sejak kecil aku selalu dikelilingi orang-orang istimewa.

"Sudahlah. Melihatmu seperti ini, Kakak sudah senang. Berapa banyak santri yang kamu ajarkan, sebanyak itu mengalirkan kebahagiaan di hati Kakak," Mata Kak Sakti mulai berkaca, namun dengan cepat dia menutupi dengan gurauan. 

“Hei sudahlah. Hapus air matamu, kamu tahu tidak? Air matamu itu bisa melumpuhkan laki-laki sekuat Mike Tyson."

Aku langsung tergelak. Tiba-tiba aku pun teringat perkataan Zaid pagi tadi.

Ayolah, Silmi, hapus air matamu. Jangan sampai aku melakukan kemaksiatan dengan menyentuh pipimu untuk menghapus air mata.”  

“Bahkan bisa menghanguskan iman laki-laki yang kuat agamanya,” batinku.

Aku merengsekkan badan ke tubuh Kak Sakti. Seketika tangan Kak Sakti langsung merengkuhku. 

"Kakak harus melindungiku sampai aku menikah."

"Pasti. Dan walaupun sudah menikah, aku pastikan melihatmu bahagia. Akan aku hajar Fahri kalau dia berani menyakitimu."

Aku tertawa. Pada saat bersamaan air mataku merembes. Aku bertanya-tanya mengapa aku tidak melakukan ini pada ibu dan Kak Saada? Apakah karena Kak Sakti seorang laki-laki sehingga aku merasa aman?

"Aku tak sadar, ternyata kau sudah sebesar ini dan tak lama akan menikah."

Aku mengeratkan pelukanku. 

"Maafkan Kakak. Kakak dulu terlalu sibuk bekerja, jadi tidak banyak menemani dan menjagamu."

Aku melepaskan pelukanku. Lalu menggelengkan kepala. 

"Kakak sudah banyak berbuat untukku. Silmi bangga punya saudara seperti Kakak."

Kak Sakti tersenyum.  Tangan kasarnya terangkat, mengusap wajahku. 

"Masuklah."

Aku mengangguk.“"Kakak tidak masuk dulu?"

"Nanti saja, Kakak masih banyak pekerjaan. Kakak pergi dulu, ya," seru Kak Sakti sambil menghidupkan kendaraannya.

Aku mengangguk,“"hati-hati di jalan."

Kak Sakti mengangguk, "Titip salam buat Kak Saada, sampaikan maafku karena tidak mampir dulu, Assalamu alaikum."

“"Wa alaikum salam warahmatullah."

***

Benar seperti dugaanku, begitu melihat gangan yang kubawa, Kak Saada langsung meluncur keluar rumah mencari ikan gabus bakar, bahkan kalau bisa ikan kerapu bakar, celotehnya sambil mengeluyur pergi. 

"Lama sekali belinya? Jauh, ya?" tanyaku sambil memperhatikan cara makannya yang seperti orang kelaparan.

"Iya jauh sekali. Sebenarnya kalau ikan gabus, di sekitar sini ada yang jualan, tapi aku ingin makan ikan kerapu, dan aku ingat di Komplek Handayani ada jual ikan kerapu bakar. Untungnya mereka jual hari ini, jadi pengorbananku tidak sia-sia," sahutnya sambil mengunyah. Aku tersenyum geli. Sepertinya nikmat sekali di lidahnya. 

Senyumku lenyap begitu saja, ketika dia bertanya, sambil menatap piringku.

"Silmi, makananmu masih banyak?"

Aku menatap pasrah piringku, yang hanya berlubang sedikit. Selera makanku benar-benar buruk.

"Bukankah ini juga sayur kesukaanmu, tapi, kenapa? Ada masalah?" tanya Kak Saada perhatian. "Sudahlah, makan dulu! Nanti kalau ada yang diceritakan, aku siap mendengarkan."

Aku menurut saja perintahnya, walaupun aku benar-benar tak merasakan kenikmatan gangan karuh  ini. Apa indera rasaku bermasalah? 

"Nah gitu dong, kalau sudah selesai makannya, kita bisa membicarakannya," seru Kak Sa’ada begitu melihat piringku sudah licin. Kak Saada memajukan tubuhnya.

"Ada masalah apa? Sampai-sampai makanan favoritmu sendiri, tidak kamu nikmati?"

Aku tak langsung menanggapi, aku berdiri untuk membereskan bekas kami makan.

"Tak usah, nanti saja. Mumpung Aina dan Aiman belum pulang. Kalau ada mereka kita tidak bisa bebas bicara. Katakan. Ada apa?

"Aku bertunangan dengan Kak Fahri," lirihku berusaha datar.

"Apa? Fahri, kakaknya Zaid?" tanya Kak Sa’ada dengan mimik tak percaya. "Kok bisa? Gimana ceritanya?"

Kepala Kak Saada manggut-manggut menerima ceritaku, sesekali senyum mengembang, senyum jahil menyela di wajah. 

"Sekarang, bagaimana denganmu?"

"Aku?"

"Iya, apa kamu sudah siap menikah dengan Fahri?" Kak Saada tekanan di ujung kalimatnya.

"A-a-ku...." 

Sewaktu Zaid mengatakan semuanya akan-akan baik saja, aku percaya saja. Aku siap menjalani takdir yang akan jalani, menikah dengan Kakaknya Zaid. Tapi setelah melihat getaran dan keringat lembut di tangannya, hatiku mulai bimbang. Terlebih lagi setelah dia hilang dari pandanganku, rasa kehilangan menerpaku.  Kepercayaan itu hilang.

"Kenapa?" tanya Kak Saada penuh perhatian. 

"Entahlah, Kak.” Ingin rasanya aku menangis."

Tangan Kak Sa’ada meraih tanganku dengan lembut, “katakan. Siapa tahu, kita bisa mencari penyelesaiannya, atau setidaknya perasaanmu sedikit nyaman.” 

Kak Sa’ada mengangguk, setelah melihat keraguanku.

"Tadi sewaktu Zaid bilang semua akan baik-baik saja. Aku percaya, tapi setelah kami berpisah, keyakinan itu luntur, bahkan hilang. Aku tak yakin, apakah kami bisa, baik-baik saja, sebagai iparan."

 Setelah kerinduan kami begitu memuncak. Aku tak yakin bisa sebagai iparan. Beberapa kali bertemu saja, hatiku bergetar hebat. Aku yakin Zaid juga merasakan hal yang sama. 

Air mataku meluncur begitu deras, terlebih lagi jika ingat berkali-kali ia memegang pundakku. Sepertinya itu sudah refleks saja yang sudah terbiasa dari dulu.

 Pada titik ini, aku merasa tidak adil pada takdir. Bagaimana pun mungkin takdir tidak menyatukan kami yang saling menyayangi, tapi tidak juga memisahkan jauh, bahkan mengikatnya dalam ikatan kekeluargaan. 

Bagaimana kami bisa menguasai perasaan kami? Ironisnya, kesempatan bisa saja terjadi. Lengah sedikit, setan akan menjebak kami. Bayangan ketika Zaid membopongku, menyentuh pundak, memasang arloji ke pergelangan berkelabat di benakku. Astaghfirullah, tak seharusnya kami melakukan ini. Seharusnya aku bisa menolaknya. 

Ampuni kami, Ya Allah. 

"Serahkan semuanya pada Allah," lirih Kak Saada dengan pandangan lembut. Aku merasa menjadi manusia yang paling malang saat ini. 

"Dan kita berlindung kepada Allah, dari godaan setan yang menyesatkan. Istighfar sebanyak-banyaknya. Kakak mengerti, betapa dalamnya kasih sayang yang tertanam sejak kecil, tapi sadarilah, kalian tidak halal untuk memendam rasa itu."

Kalimat terakhir Kak Saada begitu menusukku. Kami memang tak pantas mempunyai rasa sejauh ini. Kasih sayang sayang kami seharusnya sudah berakhir, sejak haid pertama, begitu juga Zaid semenjak dia mengalami masa baligh. 

Sesal, saat ini sesuatu yang percuma. Yang dipikirkan bagaimana menghilang rasa kerinduan kami?

"Apa, Kakak perlu ngomong sama Ibu?" Gumam Kak Saada mengejutkanku.

"Jangan. Ibu sepertinya sudah curiga, sejak kami ada di kamar tadi. Dibicarakan sama ibu pun, mau gimana. Kita tidak mungkin memutuskan pertunangan ini tanpa alasan. Tante Kurnia akan bertanya lebih dalam, karena beliau sudah menganggapku seperti anak beliau sendiri."

"Ya, sudah. Sekarang, tinggal kamu yang mau bagaimana menyikapi kenyataan ini. Sudahlah. Kalau memang kita tak dapat berbuat apa-apa, jadi sebaiknya kita jalani saja. Jangan bebani dengan pikiran yang macam-macam. Padahal semua itu juga belum tentu terjadi. Ayolah, tetap semangat.”

Kalimat terakhir Kak Saada, membuatku langsung tertawa. Walaupun hatiku mengatakan tak semudah itu. Namun, untuk saat ini, tak ada jalan lain selain ‘menikmati jalan yang ditentukan


***

  Detak Cinta Shafura  Part 32: Tanggung Jawab Mahram  “Terima kasih, Kak.”  Kak Sakti hanya mengangguk, sambil menurunkan tas pakaianku dar...
El Nurien
El Nurien

 Detak Cinta Shafura

 Part 31: Wujud Cinta





"Farah, Kak Zaid?"

Di saat aku mau naik ke motor Kak Sakti, tiba-tiba saja Farah dan Zaid datang.

"Bisa kita bicara sebentar?" tanya Farah setelah mendekatiku. 

Aku ingin menolak, tapi tak menemukan alasan yang bisa kuberikan. Kutatap Kak Sakti, wajahnya mengisyaratkan mempersilahkan. 

"Baiklah, kita ke kamar, ya," seruku sambil masuk ke rumah, "tadi aku ke rumahmu, kamu ke mana saja, Farah?"

Farah tak menjawab. Dia menyalami tangan Ibu, Zaid hanya mengatupkan kedua tangannya. 

"Masuklah." Aku menyingkir, membiarkannya masuk. 

Aku pikir Zaid tinggal di luar, ternyata dia mengekor kami. Perasaanku semakin tidak nyaman. Terlebih lagi ketika Farah menutup pintu kamar. Teringat Farah pernah mendorongku ke kolam, membuat hatiku semakin ciut. Apa lagi yang ingin ia lakukan?

"Apa yang terjadi, Silmi?"

Kata-kata Farah bukanlah sebuah pertanyaan, tetapi sebuah tuduhan. Aku menyadari, aku dan Zaid terperangkap dalam situasi yang tidak nyaman. 

"Tante cerita apa?" tanyaku sambil meletakkan pantat di atas ranjang. Sedangkan Zaid berdiri di dekat pintu.

"Bukan Mama yang cerita, tapi Kak Zaid. Aku tak tahu bagaimana kalian bisa menghadapi situasi seperti ini? Kalian tak bisa hidup bersama, tapi  tidak juga saling menjauh, bahkan semakin dekat. Bagaimana kalian bisa saling melupakan, atau setidaknya bisa meredam rasa, sedangkan hubungan kalian semakin dekat?"

"Selama kami tidak saling membuka rahasia, dan tetap bersikap biasa, sesuai dengan aturan agama, insya Allah, semuanya akan baik-baik saja. Dalam agama, ipar bukan berarti sudah bebas tanpa ada batas. Sesama ipar, tetaplah harus menjaga diri," kataku sambil memandang  Zaid. Kemudian pandanganku terpaku menatap lantai, menahan air mata agar tidak menetes di hadapan mereka.

"Kamu tak apa-apa, Silmi? Menikah dengan laki-laki yang tidak kamu cinta? bahkan hidup dengannya tidak bisa menjamin dapat melupakan orang yang kamu cintai?" tanya Farah.

"Selama laki-laki itu bisa menyayangiku, insya Allah, aku pun berbuat hal yang sama. Mengenai cinta.” Aku menarik napas sejenak, "aku telah berjanji menyalurkan rasa itu kepada laki-laki yang Allah anugerahkan kepadaku."

"Bagaimana mungkin menyalurkan rasa kepada orang yang bukan kita cintai?" Bantah Farah, ia mengentakan kaki ke lantai dan tangannya mengepal menahan kesal.

"Cinta memang tak bisa aku hindari, tapi bukanlah pula segala-galanya. Keberkahan Allah adalah yang terpenting dalam hidup ini. Apalah artinya cinta jika kita telah menyakiti banyak orang? Allah akan ridha, jika kita berusaha menyenangkan banyak orang, terlebih menyenangkan orang yang Allah anugerahkan kepada kita."

Aku sendiri tidak mengerti dengan ucapanku.

"Kamu tak pernah berubah, Silmi."  Zaid mendekatiku. "Aku bangga padamu.“Karena inilah, dulu aku jatuh cinta padamu, dan aku sekarang semakin mencintaimu."

Sudah berapa kali aku mendengar ucapan Zaid seperti ini. Aku tak menyangka, membuatnya semakin mencintaiku. Apakah itu berarti juga aku semakin menyakitinya?

"Kita serahkan semua keputusan ini sama Allah." Tangan Zaid lagi-lagi memegang pundak dan segera kutepis.

“Ada beberapa hal, yang harus kita syukuri dalam persahabatan kita."

Aku mendongakkan kepala, menatapnya, menunggu kelanjutan bicaranya.

"Allah telah memberikan rasa kasih sayang kepada kita sejak kecil. Memberi kesempatan pada kita, mereguk indahnya sebuah persahabatan. Sehingga apa yang kita rasakan, bukanlah perkara sekadar cinta dua sahabat, tetapi sebuah rasa ingin selalu bersama. Di sisi lain Allah, juga membekali kita ilmu agama dan akal, sehingga kita sama-sama berusaha membatasi diri, walaupun ada kalanya kita khilaf, seperti apa yang kulakukan tadi.

Aku tak bisa membayangkan jika persahabatan, rasa cinta dan sayang kita tanpa diimbangi dengan ilmu agama. Entah ke mana setan akan menyeret kita dengan mengatasnamakan persahabatan."

Seketika bulu romaku bergidik. Aku membayangkan, aku berlari ala artis India yang mendekati dan masuk dalam pelukan kekasihnya, atau Zaid dengan tangannya yang lembut memelukku, guna menghilangkan semua beban kesedihan yang kurasakan. Astaghfirullah, Zaid benar. 

"Sekarang kita sudah sama-sama dewasa, di antara kita sudah harus ada batas. Tetapi tidak serta merta Allah menjauhkan kita, bahkan Allah tetap mengumpulkan kita, dalam satu keluarga. Tak ada yang lebih penting, selain kita. sama-sama saling menyayangi dengan saling menjaga diri, demi ridha Allah."

Aku tepekur mencerna kata-kata Zaid. ‘selain kita sama-sama saling menyayangi dengan saling menjaga diri, akalku membetulkan kata-kata Zaid, tapi perasaanku masih berkecamuk, antara membenarkan dan menolak. 

“Percayalah semuanya akan baik-baik saja. Aku senang kamu mendapatkan cinta Kak Fahri. Aku bahagia sebagaimana kamu bahagia, aku menerima lamaran Aisyah. Aku merasa inilah persahabatan yang sesungguhnya. Cinta mengajarkan kita keikhlasan, tidak menuntut kebersamaan dan saling menjaga diri demi keridhaan Allah."

Seketika udara kelegaan menyusup ke urat nadiku, keluar dalam desahan napas, dan melahirkan senyuman di bibirku. 

"Terima kasih, selamanya kamu tetap Kak Zaid-ku," kataku haru, air mataku merembes begitu saja tak dapat lagi kutahan. 

Air yang mengumpul karena ada ganjalan rasa keterpaksaan akan takdir, kini keluar dengan bentuk rasa syukur dan kebahagiaan. Farah sejak tadi tak bergeming. Mungkin dia masih bingung dengan cara cinta kami. 

"Ayolah, Silmi, hapus air matamu. Jangan sampai aku melakukan kemaksiatan dengan menyentuh pipimu untuk menghapus air matamu.” 

Zaid membuatku tertawa. Zaid hanya mengulum senyum, matanya berbinar indah sekali. Keikhlasanlah yang menjadikan semuanya indah. Malangnya air mataku bukannya berhenti, malah merembes semakin deras. Zaid memasukkan tangannya ke saku celananya, dan tak lama menyodorkan sebuah sapu tangan. 

"Hapus air matamu.”

Aku menyambutnya, namun tak menyapukan ke wajahku. Aku hanya memadangi saputangan itu. Air mata telah terlupakan. Aku ingat betul sapu tangan ini. Sapu tangan ini adalah pemberianku. Aku ingat betul, saat itu ibu guru keterampilan di sekolah mengajari kami menyulam. Aku senang sekali bisa menyulam. Pertama yang ada di benakku saat itu adalah menyulam sesuatu untuk Zaid. 

Saat itu, aku hanya memiliki saputangan. Bingung mau menyulam apa. Akhirnya kuputuskan saja menyulam nama Shaf dan Zaid. Kata Zaid di atas dan Shaf di bawah. Tanpa sadar aku tersenyum melihat sapu tangan di tanganku. Aku tak menyangka Zaid masih menyimpannya. Aku tersenyum geli, ketika menyadari ternyata sulamanku buruk sekali. 

"Kamu masih menyimpannya?"

Zaid mengangguk, "aku selalu membawanya ke mana saja."

Kembali aku memandangi sapu tangan itu. Aku tersadar, ada yang berubah dengan sapu tangan itu. Dua ekor burung terbang. Tidak bergandengan, namun tidak juga terlalu berjauh, uniknya posisi mereka membentuk hati. Siapa yang menyulamnya? Aku ingat betul. Di antara dua nama itu kosong mempolompong. Saat itu aku ingin menyulam, berbentuk hati. Aku hanya ingin mengatakan, kami akan selalu bersama dan aku tak ingin berpisah. Tapi aku terlalu malu untuk mengungkapkannya.

"Kakak yang menyulam ini?" tanyaku lirih sambil menyentuh dua burung itu.

"Iya. Kamu paham maksudnya?"

Aku menggeleng. 

"Dua burung terbang itu simbol kita sama-sama pergi menggapai mimpi. Namun jarak posisi terbang mereka  membentuk sebuah hati. Artinya, kita memang saling berjauhan, tapi hati kita selalu dekat. Hati kita saling terpaut satu sama lain."

Aku tersenyum mendengar penuturannya. Serasa ada angin segar masuk dalam relung jiwa. Benar selama ini aku selalu mengingatnya, ternyata dia pun selalu mengingatku. Kami memang berjauhan, tapi hati kami selalu dekat.  

“Baiklah. Kalau sudah kita pulang sekarang, ya Kak, kasihan Sakti menunggu Silmi," sela Farah tiba-tiba. 

"Benar juga. Aku minta maaf, Silmi,” seru  Zaid. 

"Maaf atas apa?" tanyaku heran.

"Segalanya. Termasuk sekarang ini. Ini tak pantas kita lakukan. Berkumpul di tempat seperti ini. Aku hanya ingin menyelesaikan masalah ini. Agar di antara kita tak ada rasa sakit hati, keterpaksaan atau pun merasa bersalah.”

Aku mengangguk. 

"Usap wajahmu. Nanti ketahuan Ibu,"  kata Zaid lembut.  

"Oh, mana arlojinya, biar nanti aku bawa ke tukang arloji, jika sudah selesai nanti kutitipkan."

Tanpa sadar, aku memasukkan sapu tangan itu ke dalam kantong gamisku. 

Walaupun ada rasa tidak setuju, aku tak ingin memakainya, tapi kakiku menurut saja mendekati laci di lemari, dan menyerahkannya ke tangan Zaid. Dengan hati-hati Zaid membuka kotak dan mengeluarkan arloji itu dari tempatnya.

"Tangannya."

Aku menurut saja, untungnya tanganku pakai handsock melindungi pergelanganku, selain memakai gamis lengan panjang. Pada detik ini, aku sangat berterima kasih pada handsock-ku, padahal aku sering malas memakainya, dengan alasan toh aku memakai gamis lengan panjang. Walau begitu, tetap saja mendadak tubuhku menjadi kaku. Napasku terhenti. Perutku terasa kram. Mataku terpaku pada tangan Zaid yang bergetar, dan di pori-pori kulit keluar keringat-keringat halus. Apa yang terjadi denganku?  

"Sudah. Cuma dipotong dengan dua potongan, kiri dan kanan," lirih Zaid. 

Aku melihat mukanya berbeda lagi. Namun dia berusaha menutupinya dengan memalingkan muka. 

Kami begitu terkejut, di luar pintu kamar, Ibu berdiri membisu. Farah diliputi rasa panik, begitu pula Zaid, hanya saja laki-laki itu, cepat menguasai diri. Sedangkan aku? Aku hanya berlalu dengan wajah tertunduk tak berani menatap Ibu. Terserah bagaimana pendapat Ibu, lagi pula belum tentu Ibu mengetahui semuanya apa yang telah kami bicarakan. Jadi selama Ibu tidak angkat suara, maka aku memutuskan diam. 

        ***


 Detak Cinta Shafura  Part 31: Wujud Cinta "Farah, Kak Zaid?" Di saat aku mau naik ke motor Kak Sakti, tiba-tiba saja Farah dan Za...
El Nurien
El Nurien

 Detak Cinta Shafura

 Part 28: Laki-laki Pilihan Ibu 



"Kamu sakit, Silmi?"


Ibu memperhatikan cara makanku yang lamban malam ini.

Aku menggeleng. 

"Mungkin karena kelelahan, Bu. Habis piknik tadi."

Kelelahan lahir batin. Terlalu banyak beban dalam pikiranku. Zaid benar-benar meremukkan perasaanku, kakaknya yang membuatku selalu siaga, sedang Farah hampir saja membinasakanku. Kenapa aku terjebak dalam tiga bersaudara itu?

Ibu mendesah. 

"Sayang sekali. Padahal ibu sudah masakkan sayur kesukaanmu."

Ibu sambil memberikan sebuah mangkok yang berisi gangan karuh. Sayur yang kuahnya keruh, karena diolah dari pisang mentah, jantung pisang, kangkung, singkong, dan ikan segar. Kekeruhan kuah ini, bukan karena bahan-bahannya yang mengandung getah. Keruhnya kuah ini dikarenakan ikan segar. Makin banyak ikannya, makin keruh dan kental kuahnya, membuat rasanya semakin enak. Ini adalah sayur favoritku. Sayang sekali, selera makanku lagi memburuk, bahkan lidahku tidak merasakan apa-apa. 

Zaid, Fahri dan Hans.

Andai saja, andai.., andai dan andai, kata andai adalah perangkap setan. Sekarang dengan kehadiran Fahri, ketampanan dan kemapaman hidupnya, tentu saja masuk dalam list pertimbanganku, andai saja dia bukan Kakaknya Zaid. Andai lagi.

Hans. Tanpa disuruh Zaid pun aku tetap mempertimbangkan Hans. Namun, mengingat suruhan Zaid, mengapa mempertimbangkan Hans jadi terasa menyakitkan?

"Apa yang kamu pikirkan, Silmi?" 

Kata-kata lembut Ibu menembus alam pikiranku. 

"Tidak apa-apa, Bu. Silmi hanya cape," kilahku. 

Aku tak mungkin bisa menceritakannya pada Ibu. Beruntung ibu, tak terlalu memaksa.

"Oh, iya, temanmu si Minah, kemarin baru melahirkan."

"Minah?"

"Iya, Minah. Kamu sudah lupa?"

Susah payah aku berusaha mengingat. Yang teringat hanyalah teman-teman pondokku. Tak ada yang namanya Minah. Lagi pula mana mungkin ibu tahu temanku di pondok. Minah? 

"Teman SD kamu."

"Oh, Iya, Minah. Hah, sudah punya anak?” tanyaku. 

“Iya. Bukan cuma Minah yang punya anak, teman-temanmu yang lain juga ada yang punya anak. Masitah, Nursinah."

Aku sudah mulai paham arah pembicaraan Ibu. Apakah aku salah jika belum menikah? Lagi pula umurku baru 23 tahun, di perkotaan gadis seusiaku masih belum dinyatakan perawan tua. Namun, bagi Ibu yang tinggal di pedesaan, mungkin dengan usiaku begini, sudah membuat ibu malu. Aku menelan ludah. 

“Galuh, apa tidak ada laki-laki yang menyukaimu?" 

Ibu memanggilku ‘galuh. Panggilan sayang buat anak perempuan di sini. Tetapi bagiku panggilan itu penekanan eratnya hubungan. Semakin erat sebuah hubungan, semakin dalam harapan tersimpan. Wajar saja jika ibu berharap karena aku anaknya. 

Aku hanya menunduk lemas. Aku tak berani menatap mata Ibu yang penuh harap. Kumasukkan suapan terakhir ke mulut. Lidahku serasa beku, yang terasa hanyalah hambar. Haruskah kuceritakan pada ibu, tentang Fahri dan Hans.

"Mmm, ada, Bu, tapi Silmi belum bisa mengambil satu keputusan, karena Silmi harus mempertimbangkan matang-matang."

"Siapa? Ceritakanlah. Siapa tahu Ibu bisa memberi masukan."

"Kak Fahri dan seorang santri putra di pondok, namanya Hans."

“Fahri? Putranya Bu Kurnia?” tanya Ibu dengan berbinar. Firasatku mulai tidak nyaman. 

Kepalaku mengangguk lemah. 

"Keduanya ingin melamarmu?"

Lagi-lagi hanya anggukan sebagai jawaban.

"Lalu kamu pilih siapa?”

“Hans," jawabku, sambil menatap wajah Ibu. Aku ingin melihat bagaimana ekspresi Ibu, ketika disebut pilihanku. Benar saja, Ibu sedikit terkejut mendengar pilihanku. 

"Kenapa kamu memilih Hans?"

"Karena....”

Kutatap ibu sejenak. Beliau masih sabar menunggu jawabanku.

"Karena Hans akan membawaku ke Mesir. Dia akan kuliah di san. Ini kesempatanku untuk belajar di sana."

Wajah Ibu langsung pias mendengar penjelasanku. 

“Bu,” aku meraih tangannya. Aku ingin menjelaskan, semuanya akan baik-baik saja. 

"Kamu mencintainya?" tanya ibu pelan.

Cinta? Kata itu hanyalah menggambarkan wajah Zaid. Mengingat Hans, yang terngiang hanyalah anjuran Zaid. Anjuran Zaid bagai sembilu yang selalu mengiris jika mengingatnya. 

Tapi aku tak bisa menepisnya. Hans, tidak rugi jika aku menerima cinta Hans. Paham agama, tampan, dan akan membawaku ke Mesir. Aku bisa belajar di sana. Walau Ibu takkan setuju dengan hal ini.

"Kamu mencintainya?" Ibu mengulangi pertanyaannya.

Kepalaku mengangguk lemah. 

"Kamu berbohong, Silmi. Bohong pada Ibu dan dirimu sendiri."

Mataku membulat. Apakah ibu bisa menebak pikiranku. 

"Kamu gadis polos, Silmi. Kamu tak bisa berbohong. Matamu yang menjelaskannya.

Aku tertunduk malu. Mengapa tak bisa membohongi Ibu? Pandangan Ibu terlalu tajam dalam hal ini. 

"Tapi, pilihan Silmi tidak salahkan, Bu."

Ucapku lesu tak berani menatap mata Ibu. 

"Jika kamu tidak begitu mencintainya, Ibu minta, menikahlah dengan Fahri.”

"Ibu… ," suaraku tercekat, mataku nanar dan mulai berair. 

"Apa yang kurang dengan Fahri?"

Kekurangan Fahri? Tak ada. Kecuali dia adalah kakaknya Zaid.

"Kepahaman agamanya." 

"Kepahaman agama?” Ulang Ibu tidak mengerti.

Aku tak mengerti kenapa aku bilang begitu. Aku masih tidak suka dia mengikutiku sewaktu di pondok penginapan tadi. Andai dia paham agama, tak mungkin mengikutiku, memegang pundakku tanpa rasa bersalah, di tempat sunyi lagi. Tapi ini, bukan alasan yang tepat disampaikan kepada Ibu. Bagi Ibu, shalat lima waktu, puasa, menunaikan zakat, berkelakuan baik, itu sudah dibilang tahu agama. 

"Kepahaman agama seperti apa maksudmu? Fahri pemuda yang baik dan dari keluarga baik-baik. Ibu rasa kamu lebih mengenal dari Ibu, karena kamu sangat akrab dengan mereka. Mereka juga menyayangimu. Lantas kenapa kamu tidak menerima lamaran Fahri?” 

Aku ingin bicara panjang lebar. Aku ingin menjelaskan situasinya. Namun percuma. Bagi Ibu kekerabatan adalah segala-galanya. 

"Silmi lelah, Bu. Mungkin lain kali saja kita bicarakan," kataku sambil beranjak pergi. Aku menyesali tidak membantu Ibu, membereskan bekas kami makan, tapi apa boleh buat. Aku ingin cepat-cepat merebahkan diri.

"Silmi,"  panggil Ibu. 

"Iya, Bu." Aku sudah ada di pintu kamar.

"Ibu minta, pertimbangkan lamaran Fahri. Sa'ada dan Sakti, sudah tidak tinggal di sini lagi. Dan kamu, bolehkan Ibu berharap padamu? Tinggal berdekatan dengan Ibu?" Kata-kata lembut Ibu membuat dadaku sesak. 

Aku terenyuh mendengar penuturan Ibu. Aku pun ingin tinggal dekat dengan Ibu. Andai bukan Fahri, andai bukan kakaknya Zaid, mungkin aku bisa mempertimbangkannya. 


***


"Kak Zaid, Tante?" seruku heran, sambil duduk di kursi ruang tamu. Tante Kurnia dan Kak Zaid kerumahku. Ada apa? 

"Kamu sakit, Silmi? Wajahmu pucat sekali?" tanya  Zaid.

Malam tadi aku memang tak bisa tidur. Padahal tubuhku lelah sekali, sayangnya pikiranku terlalu sibuk. Sampai akhirnya jam menunjukkan jam 3 lebih. Maka aku memutuskan bangun untuk shalat dan tilawah sampai azan subuh. Setelah shalat subuh barulah aku terlelap.

"Tidak. Eh, Tante dan Kak Zaid menunggu lama, ya? Maaf, Silmi tadi ketiduran." Aku menoleh ke arah Tante Kurnia. 

Wajah Zaid masih terlihat cemas. Aku merasa senang menyadari hal ini, tapi ini tidak berlangsung lama. Sosok Aisyah hadir lagi, menoreh perih di hati. 

"Tidak juga. Silmi, Sepertinya kamu tidak sehat, ya?"” tanya Tante Kurnia lembut.

“Ah, tidak Tante, mungkin hanya cape sedikit. Oh, iya Silmi buatkan minuman dulu," seruku sambil berdiri. Aku tak tahan lagi dengan perhatian mereka.

"Jangan, Silmi!" cegat Tante Kurnia. 

"Kami ke sini, untuk memintamu menemani kami, membeli barang-barang untuk keperluan Aisyah. Kamu teman  dekatnya, jadi kamu sedikit banyak tahu seleranya, bahkan mungkin kamu juga tahu ukuran yang pas untuknya."

Aku menelan ludah. Aku memilihkan barang-barang untuk Aisyah? Calon istri  Zaid? Kenapa harus aku? Kupandang wajah Zaid. Wajahnya dilumuri perasaan tidak nyaman.

"Aisyah? Aisyah siapa ya, Nia?" Tanya Ibu. Sesaat Ibu telah menyelamatkanku. Tante Kurnia tidak menyadari kekakuanku. 

"Oh, iya, Ramlah. Aku lupa cerita dulu. Ini si Zaid sudah bertunangan, dengan anaknya Kyai Ibrahim pemilik pondok tempat Silmi menghafal. Aisyah nama panggilannya. Dan kebetulan Aisyah ini katanya sangat akrab dengan Silmi. Jadi mumpung Silmi ada di sini, kami minta temani oleh Silmi untuk membeli keperluan barang-barang untuk Aisyah. Kamu bersedia kan, Silmi?" kata Tante Kurnia memohon. 

Sejenak aku terdiam. Bukan aku tak ingin membantu, tapi aku tak ingin terus-terusan membayangi Zaid. Kasihan Zaid. Tapi bagaimana aku menolaknya?

"Silmi," tegur Ibu. 

"I… iya, Silmi bersedia, Bu,” sahutku terbata-bata.


 Detak Cinta Shafura  Part 28: Laki-laki Pilihan Ibu  "Kamu sakit, Silmi?" Ibu memperhatikan cara makanku yang lamban malam ini. A...
El Nurien
El Nurien

 Detak Cinta Shafura

 Part 27: Maaf Yang Tak Terucap



POV 3


"Kau tidak apa-apa?" 

Silmi semakin kesal dengan pertanyaan itu. 

Bagaimana tidak apa-apa? Kalau ia baru saja selamat dari kematian.   Jantungnya saja masih berdetak cepat tak beraturan. Napasnya masih memburu. Bahkan tubuhnya masih gemetaran. Bagaimana mungkin ia baik-baik saja?

Kenyataannya kepalanya hanya bisa menggeleng. Ia tidak ingin membuat orang lain khawatir. 

Perlahan ia mulai mengatur irama napasnya. Badannya sedikit mulai tenang. Namun bersamaan dengan itu, memorinya mengulang kejadian yang baru saja menimpanya. Ia yakin ada unsur kesengajaan. Tapi mengapa Farah ingin mencelakainya? Emosinya mencuat.

"Ceroboh. Bagaimana bisa terjatuh?" gerutu Zaid. 

Silmi tidak menjawab. Ia masih sibuk meredam emosi yang meledak-ledak kepada Farah. 

Zaid masih duduk di sampingnya, dengan wajah dilumuri kekhawatiran. Seketika Silmi menyadari posisi kedua bersaudara itu terlalu dekat. Ia berpikir sebaiknya menjauh dari mereka.

Pada saat berdiri sempurna, Silmi kembali duduk, bahkan kini meringkuk, lalu menyembunyikan wajah di antara dua lutut. 

Jika di drama adegan cewek ditolong pria sangatlah romantis. Seorang pria menyelamatkan cewek dari isapan kematian. Lalu dengan visual slow membuat hati penonton klepek-klepek. Seorang laki-laki dengan gagahnya membopong gadisnya, lalu sang gadis pun tak bisa mengalihkan pandangannya dari sang pahlawan. 

Sayangnya tidak bagi Silmi. Ini musibah yang terlambat disadarinya. Bagaimana bisa dirinya disentuh dan dibopong laki-laki yang bukan mahram? 

Mungkin itu dapat dikatakan darurat. Tapi bagaimana sekarang ia membiarkan dua pria berada itu ada di sampingnya, sedang pakaian menempel di kulit sehingga lekukan tubuh terlihat sangat jelas?

"Kau tidak apa-apa?" Pertanyaan Zaid kentara dengan kekhawatiran sekaligus kebingungan. 

Silmi menggeleng. "Kalian menjauhlah!" pintanya. Berharap kedua saudara itu memahami situasinya. Tiba-tiba air matanya merembes. Di saat seperti ini ia benar-benar merasa lemah. Ia butuh orang yang memahaminya. Pada titik ini ia benci Farah 

"Silmi, ada yang sakit?" Ironisnya Fahri bertanya sambil menyentuh bahu Silmi. 

Silmi sontak menepis. Seketika ia terisak. 

Kedua bersaudara semakin kebingungan.  Sesaat Fahri dan Zaid saling bersitatap. Farah menggigit jarinya. Sontak ia memasang wajah tak berdosa ketika ditatap.

"Astaghfirullah. Maaf," ucap Zaid.

Silmi masih terisak. Ia tak mengerti dengan permintaan Zaid. Dan ia pun tak mengerti, mengapa dirinya mendadak cengeng.

"Kakak menjauhlah!"

Zaid berbicara pada Fahri. 

"Tapi?!"

"Ayolah, Kak. Kita menjauh dari sini," ajak Farah. 

"Tapi?!"

Farah berhasil menyeret Fahri.  

"Kau bawa pakaian ganti?" tanya Zaid. 

Silmi menggeleng.

"Tunggu sebentar."

Bunyi langkah yang menjauh membuat Silmi mengangkat kepala. Ia mencoba berdiri lagi, sayangnya Zaid sudah muncul dengan membawa selembar handuk cukup besar. Kembali ia meringkuk, guna menutupi aurat depannya.

Silmi tersentak ketika menyadari selembar  handuk tersampir ke bahunya.

"Aku akan berpaling. Kau berdirilah. Duduklah di samping beringin itu," tunjuk Zaid pada sebuah tanaman bonsai tak jauh dari gazebo.

"Di sana kau bisa berlindung sekaligus berjemur."

Silmi mengangguk. "Kakak, menjauhlah!"

"Tidak. Aku tetap di sini. Tempat ini memang sepi, tetapi bukan berarti aman untuk seorang gadis. Bagaimana pun kita tidak terlalu mengenal tempat ini." 

Silmi mengangkat wajah, dan mengitari ke sekeliling. Sepi. Bahkan Tante Kurnia dan Om Herman ke mana?

"Berbaliklah."

Zaid langsung berbalik. Silmi berdiri melangkah, mendekati tanaman bonsai yang tingginya hanya sepinggangnya. Ia bersembunyi di situ.

Zaid mengambil jalan memutar mendekati bonsai itu. Zaid duduk di sisi lain bonsai itu.  

"Lepaslah kerudung lalu tutup rambut dengan handuk itu." 

Silmi menarik handuk ke kepalanya,  lalu melepaskan kerudung.

"Sini. Aku jemurkan."

Refleks Silmi menyerahkan pada Zaid tanpa menoleh.

Dejavu. 

Silmi yakin pernah mengalami hal ini. Tapi tidak tahu kapan dan di mana. Ia memaklumi, karena memang dulu mereka sering menghabiskan waktu bersama. 

Silmi meringis mengingat hal itu. Menyadari kecerobohannya. Merutuki diri mengapa selalu terhipnotis oleh ucapan Zaid. 

Ia semakin meringis ketika mendengar bunyi rintikan air dari kerudungnya. Ya, Zaid memeras kerudungnya.

Tubuhnya semakin menciut. Bagaimana bisa ia menyerahkan kerudung pada laki-laki yang bukan mahram? Bulu kuduknya seketika merinding. 

Sembilan tahun di sekitarnya hanya ada perempuan dan perempuan, kecuali Sakti dan suami Sa'ada. Mengapa sekarang Zaid bisa menyentuh kerudungnya? 

Tak lama terdengar kibasan dari kain kerudungnya. Kini Silmi merasakan ngilu di sekujur tubuhnya. 

'Ya Allah. Astaghfirullah. Mengapa aku begitu ceroboh?'

"Maafkan aku," lirih Zaid di balik bonsai.  Mereka hanya terhalang tanaman bonsai. Menyadari hal itu, muncul dua sensasi yang tak selaras. Senang, tapi perih.

"Hah?"

"Semuanya."

Silmi terdiam. Tidak tahu harus berucap apa. Minta maaf atas apa? Sesaat hening. 

"Aku juga minta maaf atas tindakan Farah."

'Jadi ia juga menyadarinya?'

"Dari kemarin ia marah-marah dengan keputusan kita."

'Kita? Maksudnya menerima lamaran Aisyah. Tak salah lagi. Rupanya semua ini skenario Farah. Ke mana ia menyeret Fahri? Jangan-jangan Om dan Tante menghilang juga hasil siasat Farah?!'

Silmi hanya menghela napas atas perbuatan sahabat care-nya itu. Kebenciannya menguap. Sambil berharap, suatu saat Farah memahami situasinya.

"Menikahlah."

"Hah?" Silmi tidak percaya dengan pendengarannya.

"Kejadian tadi membuatku khawatir. Kau selalu ceroboh. Sewaktu di Banjar kudengar Hans kena sanksi dan santriwati itu kamu."

"Itu… ." 

Silmi tidak tahu harus mengatakan apa. Ingin membela diri, kenyataannya berita itu memang benar.

"Aku percaya kamu. Itu juga pasti karena kecerobohanmu."

Silmi hanya menjawab dengan helaan napas. 

"Jadi menikahlah, supaya ada yang melindungimu." 

Entah kenapa Silmi mendengar ada sesuatu yang mencekal di tenggorokan Zaid.

Silmi tersenyum kecut. "Bagaimana mungkin aku menikah hanya karena mencari perlindungan?!" 

"Juga ntuk melindungimu dari Fitnah dan  menyempurnakan agamamu.

Deg. Kembali ia merasakan sembilu mengiris hati. 

Kini ia mulai memahami perasaan Zaid, bagaimana sakitnya saat menerima permintaannya.

Perih sekali. Antara kecewa, keinginan untuk mengabulkan, hancurnya harapan, putus asa. Bagai sembilu satu persatu menyayat relung hati. 

Matanya kembali mengembun. Ia tidak tahu kalau akan menyakiti Zaid sejauh itu. Tangannya terangkat ke dada, berharap sedikit saja dapat menekan rasa sakit. 

Ternyata menyakiti orang yang disayangi sangat menyedihkan. Rasa bersalah mungkin akan menghantui seumur hidup. 

'Maafkan aku.'

Kenyataannya ia tidak mungkin mengucapkan kalimat itu. Zaid tidak tahu perasaan cintanya. Saat itu ia berharap, alangkah baiknya jika Zaid membencinya. Mungkin dengan itu, dosanya sedikit terbalaskan.

"Perempuan tak semudah laki-laki. Bisa memilih lalu melamar," sahutnya, setelah berhasil menguasai diri. 

"Bagaimana dengan Hans?"

Deg. 'Apakah Zaid mengetahui lamaran Hans? Tidak mungkin.'

"Menurutmu?" pancing Silmi.

"Dia pasti menyukaimu. Aku dengar Hans tidak pernah membawa gadis manapun ke mobilnya. Meski aku hanya melihatnya beberapa hari, tapi aku yakin Hans laki-laki yang layak kau pertimbangkan."

Air matanya berhasil keluar. Ia menggigit jari agar suara tangisnya dapat ditahan.

'Mengapa situasinya jadi berbalik? Apakah ini karma?Anita mengerang. "Bayu, please. Beri aku jeda. Aku tidak ingin memikirkan hubungan. Bahkan aku berpikir tidak ingin menjalin hubungan. Cukup anak-anak Rumah Bahagia mengisi hari-hariku."

Bayu tercenung. Ia tahu Anita. Semakin didesak semakin keras kepala. Semakin didekati, semakin menjauh.


"Kudengar hasil tesnya mumtaz. Dia juga mau melanjutkan studinya ke Mesir. Kau bisa ke Mesir jika menikah dengannya." 

Kini Silmi menutup mulutnya dengan telapak tangan. Semakin Zaid memuji Hans, semakin banyak tenaga yang dibutuhkannya untuk menahan suara dari mulutnya.

Tanpa disuruh pun ia sudah mempertimbangkan Hans. Hanya saja dengan suruhan Zaid membuatnya perasaannya hancur lebur. 

'Ya Allah, begini kah dulu perasaan Zaid?'

"Ini kesempatan emasmu untuk belajar ke sana." 

'cukup,' teriak Silmi dalam batin.

"Tak ada cela pada dirinya. Meski manusia tidak ada sempurna, tapi menurutku dia sempurna untuk menjadi pendampingmu."

"Cukup. Hentikan." Silmi tak kuasa lagi menahan isakannya. "Aku tau, aku salah. ... Jangan menyiksaku seperti ini. … Maafkan aku."

Silmi kembali menenggelamkan wajahnya di antara dua lutut. Sambil berharap Zaid tidak mendengar tangisannya. Meski mustahil. 

Tangisannya semakin nyaring. 

"Maafkan aku." Terdengar suara di sela isakan.

Zaid merengsek keluar ketika mendengar isakan gadis yang sangat dihormatinya itu. Tangannya tergenggam erat. Betapa ia ingin memeluk gadis itu guna meredakan tangisnya. 

"Maaf, jika aku menyakitimu. Aku tak bermaksud itu. Menurutku Hans memang…." 

"Kumohon hentikan!" 

Isakannya makin kentara.

Zaid tak berani lagi bersuara. Ia menarik handuk lalu menutupi kepala Silmi dengan sempurna. Agar Silmi bisa menangis lepas. Meluruhkan semua sesak di dada. 
Hanya ini yang bisa dilakukannya.

"Bagaimana aku bisa bahagia menikah Aisyah, sedang di sisimu tak ada orang yang melindungimu, menghapus air matamu, memelukmu." 

Dari kejauhan Farah menatap mereka. Air matanya mengalir deras. Ia menjadi saksi kasih sayang keduanya sejak kecil. Dan sekarang menjadi saksi kepiluan mereka. 

Usahanya sudah sejauh ini untuk menyatukan keduanya. Kenyataannya, ia telah menyakiti keduanya. 


 Detak Cinta Shafura  Part 27: Maaf Yang Tak Terucap POV 3 "Kau tidak apa-apa?"  Silmi semakin kesal dengan pertanyaan itu.  Bagai...
El Nurien
El Nurien

 Detak Cinta Shafura

 Part 26: Doa yang Tak Terungkap 




POV Zaid. 


Silmi Nazwa Shafura nama lengkapnya. Orang-orang memanggilnya Silmi. Suatu hari aku mendengar ayahnya memanggilnya Shafura. Aku mengeja nama itu. Menurutku nama itu sangat cantik. Aku mencoba memanggil dengan nama itu, tetapi akhirnya ditegur ayahnya. 

Kata ayahnya, panggil saja Silmi. Karena khawatir orang lain juga ikut-ikutan memanggil Shafura, sedangkan lidah orang Banjar sangatlah beda. 

Shafura dengan huruf shad juga Fu dengan huruf f. Tetapi lidah Banjar akan memanggilnya Sapura. Aku tertawa geli mengeja nama Sapura. Sejak itu aku tidak mengungkit nama itu lagi.

 Ayahnya meninggal di saat usianya baru sembilan tahun. Mulai saat itulah aku mulai memanggilnya Shafura. Aku ingin menghiburnya. Meski tidak mungkin menjadi ayah baginya, setidaknya aku ingin menjadi laki-laki seperti keluarga bagi dirinya.

 Ia teman adikku. Saat itu aku ditugaskan mama menjaga Farah, adikku yang sangat aktif. Maka secara tidak langsung aku juga menjaga Silmi. 

Awalnya aku tidak mengerti mengapa Farah lebih  suka berteman dengan Silmi, yang rumahnya lumayan jauh dari rumah kami, ketimbang berteman dengan Dewi, anak tetangga. 

Setelah sekian lama membersamai mereka, akhirnya aku tahu mengapa Farah sangat menyukai Silmi. Karena hanya Silmi yang mampu mengimbanginya.

Farah tipe cerewet, aktif dan sedikit lebih egois. Silmi tipe mengalah, tidak mau ambil pusing, dan menghindari masalah.

Farah banyak maunya, Silmi selalu menuruti kemauan Farah. Kulihat kadang ia pun kesal, tetapi dibanding bertengkar, Silmi lebih suka mengalah. Ia benar-benar tidak suka dengan keributan. 

Yang membuatku sangat menyukainya, ia tidak pernah menolak dalam kebaikan. Ia tidak ragu mengorbankan apa saja dalam memberi atau membantu orang lain. Di sisi lain, sifatnya ini membuatku khawatir. Siapa sangka membuatku semakin terikat dengannya.

Aku khawatir ia jadi babunya Farah. Aku khawatir ia dimanfaatkan orang lain. 

Setelah lulus sekolah dasar, aku menolak mondok karena kedua gadis kecil itu. Aku tak bisa membiarkan mereka lepas dari pandangan mataku. Setelah mereka tamat sekolah dasar dan memastikan mereka masuk pondok, barulah akhirnya aku masuk pondok.

Aku pikir setelah kedua gadis itu masuk aku akan tenang. Memang benar. Aku tidak perlu khawatir lagi, tetapi bukan berarti hatiku menjadi tenang. Karena ternyata aku merindukan mereka. 

Aku rindu saat-saat kebersamaan kami. Rindu melihat mereka bermain, kepolosan, gelak tawa, binaran mata bahkan rindu mengusili mereka.

Terlebih lagi pada Silmi. Perlahan ia berubah menjadi seorang gadis, sejak itulah sudah ada batasan-batasan pada kami. Begitulah ajaran pondok yang bersumber dari Islam. Kami jadi harus menahan diri. Jangankan bersentuhan, bahkan kami harus menjaga jarak. 

Ini sangat menyiksaku. Aku merindukannya. Kami bertemu hanya beberapa kali dalam setahun. Saat liburan semester atau hari raya. Saat bertemu aku ingin memeluknya sebagaimana memeluk adikku sendiri, tapi aku tidak boleh melakukannya. 

Kerinduanku semakin menumpuk saat sekolah ke Yaman. Jangankan melihat komunikasi pun tidak. Email yang kubikinkan tidak pernah dibukanya. 

Meski aku sangsi ia akan membalas pesanku, tetapi aku tetap mengirimkan pesan padanya. Karena di sanalah aku mencurahkan segala perasaanku kepadanya. Susah senang, sehat dan sakit, bahagia dan kesedihan, bahkan rindu dan cemas. Semua ada di sana. Email satu-satunya penghubungku dengannya. Hubungan sepihak. Kenyataannya jangankan membalas, dibuka pun tidak. 

Kerinduan semakin memuncak saat aku kembali ke tanah air. Di saat aku dapat memeluk kedua orang tuaku. Di saat Farah menghambur ke dalam pelukanku. Tetapi ia tidak ada di sana. Aku tidak melihat binar rindunya.

Bahagianya saat bertemu keluarga tercinta, bukan berarti aku bisa melupakan sosoknya. 

Namanya tidak hanya muncul dalam kesendirianku, tetapi juga muncul di gelak tawa dan binaran bahagia keluargaku. Namanya selalu muncul bersamaan dengan Farah yang ada di sisiku. 

Rindu itu menyesakkan dada. Penderitaan yang kualami di negeri orang tidak apa-apanya dibanding rindu yang telah menguasai jiwa ragaku. 

Sekarat di musim dingin masih bisa kutahan dibanding satu-satunya balasan email darinya. Satu balasan emailnya dari tiga ratus lima benar-benar membuatku hancur. 

Jawabannya telah menghancurkan asa yang telah kusulam sekian tahun. Satu persatu simpul terlepas, tinggal benang yang tercerai. Anehnya, aku ingin menggenggam benang itu dan kusulam kembali dalam bentuk lain.

 Pemikiran itu muncul setelah kusadari siapa dirinya. Di balik balasan tersimpan cintanya untukku. 


Kubaca ulang potongan pesan darinya.


Kak, terimalah Aisyah demi Allah, demi ummat, dan demi cinta Kakak padaku.


Kakak dan Aisyah adalah orang yang paling kusayangi di dunia ini, sesudah orang tuaku. Kebahagiaan Kakak dan Aisyah adalah kebahagiaanku juga. 


Aku akan sangat berbahagia jika Kakak berjodoh dengan Aisyah, sahabatku. 


Iya, kebahagiaannya adalah bisa berkorban untuk agama. Sifat inilah yang membuatku menyukainya. Namun, siapa sangka diriku pun dikorbankannya. 


Aku tersenyum getir. 


Kau menyukaiku, Silmi. Kau tidak mungkin mengorbankan sesuatu yang tidak penting dalam hidupmu. Tidak mungkin tiba-tiba kau mengorbankan milik temanmu meski untuk hal darurat. Jika dalam situasi memaksa, kau pasti berpikir, apa saja milikmu yang dapat dikorbankan. 

Dari hati yang paling dalam aku bahagia. Kau menganggapku milikmu. Itu lebih dari cukup. 

Meski benang-benang cintaku terurai, aku akan menyulam kembali dalam bentuk yang berbeda. Akan kusulam dalam bentuk penghormatan, kekaguman dan sumber inspirasi. 

Aku mengagumimu dan berharap suatu aku pun bisa sepertimu. Melakukan sesuatu atas dasar agama. Begitu juga dalam rumah tangga. Sekarang, cinta tak lagi utama. Aku akan berusaha mencintai dan menghormati siapapun nanti istriku. Bersamanya, aku akan membangun rumah tangga atas dasar agama. Bukankah Al-Qur'an juga menganjurkan begitu?


وَٱلۡمُؤۡمِنُونَ وَٱلۡمُؤۡمِنَٰتُ بَعۡضُهُمۡ أَوۡلِيَآءُ بَعۡضٖۚ يَأۡمُرُونَ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَيَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِ وَيُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤۡتُونَ ٱلزَّكَوٰةَ وَيُطِيعُونَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥٓۚ أُوْلَٰٓئِكَ سَيَرۡحَمُهُمُ ٱللَّهُۗ إِنَّ ٱللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٞ


Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, melaksanakan salat, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah. Sungguh, Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana. (Qs.  At-Taubah : 71)

Rumah tangga dibina bukan hanya saling membantu dalam urusan dapur, sumur atau kasur. Melainkan rumah tangga yang dibina atas saling ingat mengingatkan dan tolong menolong untuk taat kepada Allah, juga menghidupkan syair-syair Islam di atas muka bumi ini. 

Lalu bagaimana dengan perasaanku padanya? Bisa hilang begitu saja setelah mendapat pemikiran ini? Tidak. Mungkin tidak akan pernah.

"Baiklah, kalau begitu." Hanya kalimat pendek ini yang bisa terkirim. Ingin rasanya menulis banyak kalimat, mencurahkan segala sesak. Tetapi rasanya percuma. Untuk apa ia tahu kedalaman perasaanku? Kenyataannya ia bukan calon jodohku. Bisa-bisa malah menjadi fitnah di antara kami. Tidak perlu Silmi tahu.

Biarlah perasaanku bersemayam di sana. Di ruang hatiku yang paling dalam. Bahkan mulut, telinga, atau mata ini pun tak perlu mengeja.

 Cukup hanya paru-paruku yang tahu, karena dia yang paling dekat dengan jantungku. Karena dialah, yang paling merasakan irama detak jantungku. Jika paru-paru mengenali getaran itu, cukup kurapalkan doa lewat embusan napasku. Doa pun tak perlu terucap. 


🌹🌹🌹


Sore itu, sewaktu aku pulang dari rumah nenekku. Dari teras sudah terdengar ramainya di ruang tamu. Aku bertanya-tanya keluargaku sedang membicarakan apa? Sakit?

"Siapa yang sakit?" Aku bergegas masuk. Aku tak menyangka pandanganku langsung memaku sosoknya yang juga membeku. 

Perasaan yang kusimpan rapat merengsek keluar begitu saja. Beruntungnya ada keluargaku ada di sana. Rasa malu lumayan cukup sebagai pertahanan dan kesadaran diri. Andai tidak ada mereka, entah apa yang terjadi. Sektika aku teringat, dua orang bersendirian, maka ketiganya setan. 

Ujian tidak hanya di sini. Ayah ibu menahannya, mengajaknya makan bersama. Kupahami, karena mereka juga menyukai Silmi. Ironisnya, mereka meninggalkan kami berdua. Farah yang biasanya nempel padaku, mendadak ada keperluan. Dari sini aku tahu, ini olah Farah. Tidak mungkin, Silmi tiba-tiba ke sini tanpa olahnya. 

Beberapa saat aku sempat menatapnya. Ia menjelma menjadi gadis yang cantik. Kesederhanaan masih saja membalut badannya. Wajah malu membuat dia semakin memesona di mataku. Ya, bukankah perempuan itu harus memiliki sifat malu ketika berhadapan dengan laki-laki yang bukan mahram? Seperti Shafura yang malu ketika harus berhadapan dengan Musa, demi menyampaikan pesan ayahnya. 

Shafura? 

'Kau memang pantas mengemban nama itu.'

Sifat malu dan pengorbanan yang kau miliki. Kau pantas menjadi istri seorang da'i. Aku bertanya-tanya, siapakah da'i itu yang akan memilikimu?

Seketika gusar menambah oktaf gemuruh di dada. Aku terpaksa bersikap cuek untuk membendungnya. Aku tahu ia kecewa, tapi apa boleh buat. Mungkin kami harus seperti ini. 


***


Sesuai permintaan Farah, akhirnya hari yang ditentukan datang. Kami sekeluarga bersama Silmi pergi ke tempat wisata di Tanuhi. Lagi gemuruh bertalu-talu di dada. Aku jadi ragu, bisakah aku menganggapnya hanya sebagai teman. Aku sangsi. Terlebih lagi melihat sikap Fahri yang juga menyukainya. Naluriku semakin memberontak. 

Berkali-kali kuucapkan doa agar Allah menenangkan hatiku dan melindungi kami dari fitnah. 

Namun, seberapa pun kuatnya menahan diri, ada kalanya aku lengah. Diam-diam aku mengamatinya. Bagai oase di tengah sahara. Rinduku sedikit terobati. 

Aku lihat ia tergoda dengan dengan kejernihan airnya. Tetapi ia menahan diri agar tidak menceburkan diri ke kolam. Aku yakin, ia tahu bahwa perempuan mukmin dilarang mandi di pemandian umum, terlebih lagi di tempat terbuka seperti ini. Aku lega, dengan pengetahuan agama, ia bisa melindungi dirinya sendiri.

Aku tak bisa menahan cemburu ketika Fahri diam-diam mengikutinya. Apa yang mereka lakukan di atas paviliun sana? Hatiku sedikit lega, melihat mereka turun dan sepertinya Silmi berusaha menghindar. 

Aku tak bisa menahan senyum ketika melihatnya memainkan air. Lalu diam-diam Farah mendekatinya dari belakang. Ternyata mereka masih saja kekanak-kanakan. Iya, mereka sama-sama perempuan. Persahabatan mereka tidak ada batas dan lekang oleh waktu, sangat berbeda denganku. 

Aku terlambat menyadarinya kalau ternyata itu berbahaya buat Silmi posisinya di bibir kolam. 

"Duaarrr."

Benar saja. Keterkejutan membuatnya hilang keseimbangan dan terjatuh. Sesaat aku tertawa oleh tingkah mereka. 

Tidak. Ada yang aneh dengan Farah, tapi bukan waktu yang tepat memikirkannya. Aku panik saat menyadari ia tidak bisa berenang.  Panik bercampur takut ketika melihatnya berjuang muncul ke permukaan untuk meminta pertolongan.

Aku berlari ke arah kolam dan langsung menceburkan diri. 

Aku langsung meraih tubuhnya, mengangkatnya  dan menaruhnya ke bibir kolam. Ia terbatuk-batuk. Mungkin karena sudah banyak tertelan air. Napasnya juga tidak teratur. 

Aku naik dan berjongkok di sampingnya.

"Kau tidak apa-apa," tanyaku dengan napas tersengal-sengal. 

 Detak Cinta Shafura  Part 26: Doa yang Tak Terungkap  POV Zaid.  Silmi Nazwa Shafura nama lengkapnya. Orang-orang memanggilnya Silmi. Suatu...
El Nurien
El Nurien

 Detak Cinta Shafura

 Part 25: Pengakuan Fahri




"Ngga mandi, Silmi?"

Drett… .

Mengapa Fahri selalu membuat naluri perempuanku jadi selalu siaga?

 Fahri mendekatiku di kolam besar yang suhunya dingin. Farah sudah mandi dengan girangnya. 

Aku hanya bisa menggeleng pasrah. Sebenarnya aku sangat ingin merasakan kesegaran airnya. Sayangnya, aku tak mungkin mandi. Pakaian yang dikenakan Farah basah menempel di tubuhnya, sehingga membentuk lekukan tubuh. Penampakan yang terjadi pada Farah sudah cukup sebagai peringatan bagiku.

Fahri mendekat dan duduk di sampingku. Reflek membuat badanku bergeser. 

Fahri hanya mengenakan celana setengah lutut, menampakkan kulit putihnya. Ternyata dia pun memiliki badan yang … .

Astaghfirullah. Ya, Allah jagakan pandanganku. 

Tak lama Zaid bergabung, melepaskan kaos oblongnya, dan langsung menceburkan dirinya. Sesaat pun mataku sempat menangkap kulit putihnya, dan badan yang ceking. Zaid sangat kurus, sangat berbeda dengan Fahri yang memiliki badan gagah. 

Astaghfirullah. 

Ya Allah, dalam beberapa detik, sudah berapa maksiat kulakukan? Ampuni aku ya, Allah. Seharusnya dari semula aku sudah menolak ajakan ini. 

Aku harus meninggalkan tempat ini. 

Kemana? 

Tante dan Om Herman sudah berendam di kolam yang airnya panas, sebaiknya aku tidak mengganggu mereka

Aku memutuskan jalan-jalan saja, walaupun harus meninggalkan kesejukkan air ini. Kemana? Sendiri? Ah, sangat tidak menyenangkan. 

Setidaknya aku bisa menjauh dari Zaid dan Fahri, kakak beradik itu. Berlama-lama di dekat mereka, bisa copot imanku. 

Kakiku terus saja melangkah menyusuri taman ini, hingga sampai di deretan pondok penginapan. Desainnya cantik yang menarik. Dengan arsitektur yang entahlah, aku buta tentang bentuk bangunan. Yang pasti, daya tariknya terletak di bubungan tinggi dan perpaduan warna yang menarik, krem dengan atap merah. Kakiku terus saja melangkah memasuki wilayah ini. Dan langsung tergoda dengan pancuran air. Segarnya.

Kaget bukan kepalang, ketika membalikkan badan, di belakangku ada Fahri.

"Kak Fahri, jangan diam-diam begitu, bikin kaget saja!"  Sungutku kesal.

Fahri hanya tertawa. 

"Siapa yang diam-diam! Dari tadi aku di belakangmu, kamunya saja yang terlalu khusyu menikmati kesegaran airnya." 

Aku tak mendengarkan jawabannya, aku terlanjur kesal. Tanpa menghiraukannya, aku berjalan mendekati sebuah pondok penginapan. Tanpa merasa bersalah kakiku terus melangkah menaiki tangga yang ada di luar. Mumpung tidak ada penghuninya. Fahri pun mengikutiku. 

“Masya Allah, indah sekali,” seruku setengah histeris. 

Betapa tidak. Dilihat dari atas, pemandangan sangat indah. Bahkan deretan pondok penginapan ini terlihat bagai pasukan gagah yang berbaris rapi. Hamparan gunung-gunung menghijau, belum lagi daun-daun yang bergesekan, bagai tarian bidadari yang membuat penontonnya sangat terpesona. Tak puas aku memandang, kuedarkan mata ke seluruh arah. Tak ingin satupun luput dari penglihatan.

Jantungku rasanya copot, ketika pandanganku terus berputar, tiba-tiba mataku bertemu dengan mata Fahri. Tatapan matanya yang lekat, membuat jantungku berdetak cepat. 

"Ehm.. Sepertinya kamu sangat menyukai tempat ini?" kata Fahri, sambil mengalihkan pandangannya.

Butuh beberapa detik untuk menenangkan diri dan menanggapi perkataannya. Beruntung udara sejuk membuatku cepat menguasai diri. Aku tak bisa membayangkan jika hal tadi terjadi  di ruangan sempit. Mungkin inilah salah satu hikmah, larangan berduaan. 

"Sangat suka. Seakan-akan aku merasa bebas," sahutku tanpa memandangnya. "Bagaimana ya, jika di lihat di malam hari ya? Hmm... mungkin gelap. Tapi, kita bisa memandang bintang, ditemani embusan angin pegunungan. Pasti menyenangkan sekali." 

Aku tahu Fahri terus menatapku. Aku tak ingin lagi memutar pandangan, aku tak boleh bertatapan dengannya. 

"Aku bisa memenuhi keinginanmu."

Refleks aku menoleh. Menatapnya dengan kerutan kening. 

Ia menjawab dengan mengangkat alisnya. 

"Menikahlah denganku."

Mataku membelalak. Barusan tadi apa yang kudengar?

Fahri berdehem sekali. 

"Maaf jika mengagetkanmu."

Permohonan maaf Fahri terdengar tanpa diimbangi dengan rasa bersalah. "Begini. Kalau kita ingin melihatnya dari malam, maka kita harus menginap di sini dan … ."

"Dan?” keningku mengkerut.

“Dan aku tahu, hanya bisa dilakukan oleh sepasang kekasih halal."

Wajahnya terlihat serius. Dadaku kembali bergemuruh. Laki-laki, dua beradik ini, hari ini bisa membuatku kehilangan nyawa.

“Jadi Kakak ingin menikahiku, hanya karena ingin mengajakku menginap di sini?" Seketika aku tak bisa menahan tawa. 

"Ya, di antaranya. Selain itu, karena memang aku menyukaimu sedari dulu. Sayangnya, aku tak punya kesempatan dekat denganmu."

Kalimat terakhirnya membuat jantung terasa lepas. Kakiku terasa lemas. Darahku terasa terhenti, keringat tubuh mulai membanjiri. Padahal di sini udaranya sejuk sekali.

"Aku serius."

Kedua tangan Fahri terangkat untuk memegang pundakku. 

Spontan aku terkejut dan mundur beberapa langkah. Tubuhku jadi menegang. 

Fahri mengembuskan napasnya dengan keras. 

"Aku serius dengan perasaan dan lamaranku. Jika kamu menerimanya, maka akan kuteruskan lagi ke orang tuaku. Mereka akan senang sekali mendengar ini. Mereka juga sangat menyayangimu."

Aku tak tahu harus berkata apa. Secepat inikah dia menyukai dan melamarku. Bagaimana dengan perasaanku?

Baiklah, aku tahu kamu masih terkejut akan hal ini, dan masih bimbang. Aku beri kamu waktu untuk memikirkan segalanya."

"Berapa lama?" gumamku. 

"Berapa maumu? Tapi jangan terlalu lama. Biar ada kepastian saja. Aku juga tak suka menunggu terlalu lama."

"Jika jawabannya tidak sesuai dengan harapan Kakak, apa Kak Fahri akan membenciku?"

Sebenarnya tak ada alasan untuk tidak menyukai laki-laki ini, hanya saja, Zaid. Fahri kakaknya Zaid.

"Aku hargai keputusanmu. Mungkin aku masih belum beruntung. Hanya saja, aku minta kamu mempertimbangkan cintaku.”

***

Aku memilih duduk di atas hamparan tikar yang di bawa Tante Kurnia dan Om Herman. Mereka masih duduk di sisi kolam dengan kaki terendam. Sesekali mereka tertawa. Aku merasa iri. Mungkinkah aku bisa seperti mereka, jika aku menikah nanti?

Astaghfriullah, lagi-lagi aku berandai-andai. Farah dan Fahri duduk santai di gazebo. Entah apa yang bicarakan, terlihat mereka senang sekali. 

Setelah minum segelas sirup aku kembali berdiri mendekati kolam yang paling besar. 

Aku berjongkok, lalu menceduk air dengan lalu melempar kembali ke tanah. Kesejukan airnya benar-benar menggoda. Aku sangat ingin menceburkan diri ke dalamnya. Andai tidak ingat sebuah hadits yang menjelaskan perempuan mukmin dilarang mandi di pemandian umum. 

Mataku teralih kepada sepasang  kekasih dewasa yang mabuk asmara sedang menyeberangi jembatan. Meninggalkan tempat ini. Mereka berjalan dengan posisi berangkulan. 

Aku bertanya-tanya apakah mereka suami istri. Dilihat dari usia, mereka memang suami istri. Tapi jika memang suami istri, tidak cukupkah mereka menuai asmara di rumah saja?

Aku kembali berdiri, dengan niat hati mendatangi lapangan basket yang tidak terlalu jauh dari area pemandian. 

Namun, di saat aku memutar badan tiba-tiba….

"Duaar," teriak Farah membuatku kehilangan keseimbangan. 

Farah mengulurkan tangannya, tetapi ada yang aneh dalam uluran itu. Kurasakan ia malah mendorongku hingga tubuhku oleng dan tercebur ke kolam. 

Langsung saja badanku tenggelam. Aku semaput. Panik. Aku berusaha untuk muncul ke permukaan, tetapi kepanikan membuatku semakin kehilangan tenaga. Air terus saja masuk ke mulut, membuatku semakin kesulitan bernapas.

 Detak Cinta Shafura  Part 25: Pengakuan Fahri "Ngga mandi, Silmi?" Drett… . Mengapa Fahri selalu membuat naluri perempuanku jadi ...
El Nurien
El Nurien

 Detak Cinta Shafura

 Part 25: Tingkah Fahri




Farah mengembuskan napasnya dengan keras, seakan-akan telah melepaskan semua beban di hatinya.

Apa? Kalimat terakhirnya membuatku khawatir. Aku kenal baik siapa Farah. Dia orang yang sangat gigih. Tidak ada yang bisa menghalanginya jika ia menginginkan sesuatu. Andai bukan Zaid, mungkin ia telah menjadi orang yang menghalalkan segala cara. 

Aku harus memikirkan cara agar ia tidak melakukan tindakan apapun demi hubunganku dengan kakaknya. Ia semakin dicegah, ia semakin berambisi. 

"Maafkan aku, Farah. Bukan maksudnya menyakiti Kak Zaid. Sedikitpun tidak. Bahkan aku pun bahagia, jika memang Kak Zaid mencintaiku. Hanya saja, mengertilah posisiku, Farah. Aku tak mungkin, menikah dengan Kak Zaid, di atas penderitaan Aisyah. Aisyah dan Zaid sama-sama orang yang kusayangi. Maka tak mungkin aku berbahagia, di atas penderitaan salah satunya.”

"Apakah dengan menikahkan Aisyah dengan Kak Zaid, bisa membuat mereka bahagia?" sahut Farah cepat, setengah berteriak.

"Kenapa tidak? Aisyah telah jatuh hati pada Kak Zaid. Dan aku rasa Kak Zaid pun tak kan menyesal menikah dengan gadis seperti Aisyah. Aku yakin, semuanya akan baik-baik saja."

"Sesederhana itu kamu memikirkan cinta Zaid? Lalu bagaimana denganmu?”

"Aku... ." 

Aku tak bisa menjawabnya. Selama ini aku tak berpikir bagaimana keadaanku selanjutnya. Menurutku, asal Kak Zaid tidak membuka rahasia ini, maka kami bertiga akan baik-baik saja. 

"Apakah sudah kamu pikirkan, bagaimana jika Kak Zaid menikah dengan Aisyah? Sedangkan kamu masih mengajar di sana? Kamu dan Kak Zaid, akan sering bertemu."

"Tidak. I-i-ya, mungkin saja, tapi sangat jarang. Karena sistem kerja di pondok kami, tidak bercampur baur dengan kerja laki-laki. Memang selama ini, Kyai Ibrahim selalu mendukung pondok putri, memberi masukan kepada Ummi maupun Aisyah. Begitu juga dengan Ustaz-Ustaz yang lain, tapi itu di belakang lapangan. Kerja di lapangan tetap Ummi atau Aisyah dengan sesama kami yang mempunyai tugas kerja. Jadi walaupun pondok putra dan putri berdekatan, bahkan satu asuhan, dapat dipastikan laki-laki dan perempuan tidak kerja dalam waktu dan tempat yang bersamaan. Adapun jika kami pondok putri memerlukan bantuan laki-laki, maka bisa disampaikan lewat telpon atau oleh mahram, misalnya ustazah kepada suaminya yang juga seorang Ustadz, maka Ustadz tersebut akan menyampaikan kepada mereka yang bertugas. Jadi dapat dipastikan, aku dan Kak Zaid akan jarang bertemu, walaupun kami satu wadah."

"Oke. Bagaimana dengan kamu, yang setiap hari dekat Aisyah, apakah itu tidak membuatmu, terus dibayang-bayangi sosok Kak Zaid. Bagaimana juga Kak Zaid, dengan kedekatanmu dengan Aisyah, tentu saja Aisyah akan menaruh kepercayaan padamu. Yang setiap saat bisa saja dia tergantung padamu, dan setiap saat bisa  selalu kamu, dan kamu yang disebut-sebut Aisyah di depan Zaid. Apakah itu sesuatu yang tidak menyakitkan buat Kak Zaid?"

"A-a-aku."

"Katakan, Silmi! Kalian telah menempuh jalan berpisah, namun kondisi kalian tidak membuat kalian benar-benar jauh, itu sangat sulit bagi kalian untuk saling melupakan."

"Lalu aku harus bagaimana?" sahutku. Ingin rasanya aku menangis. Farah telah membuatku takut.

"Aku tidak mungkin keluar dari pondok itu, sedangkan masih banyak tanggung jawabku di sana. Setidaknya menunggu sampai tiga anak didikku, berhasil tes 30 juz. Aku ga mungkin meninggalkan mereka, di saat usaha mereka sudah mencapai puncak-puncaknya. Aku juga ga mungkin, menarik kembali permintaanku karena itu berarti aku telah menyakiti Aisyah."

"Tapi semuanya belum terlambat. Pertunangan mereka, masih belum terlalu jauh. Masih belum dibicarakan kapan ketentuan acara nikah. Setidaknya, kita bisa membatalkannya.”

"Lalu bagaimana dengan Aisyah?" sahutku cepat. Aku benar-benar kesal dengan keegoisan Farah.

"Aisyah harus menerima kenyataan ini, dan mumpung semuanya tidak terlalu jauh."

"Tidak!"

Tubuhku terhempas ke atas ranjang. Bayangan-bayangan wajah Aisyah berkelebat di kepalaku. 

"Tidak Farah. Aku tidak akan melakukannya. Aku tidak sanggup melihat air mata Aisyah. Aku lebih sanggup menjalani semua takdir yang menimpaku, walau harus berjauhan dengan laki-laki yang kucintai, tapi tidak untuk air mata Aisyah. Sudah cukup dia menanggung beban yang sangat besar. Sudah cukup aku melihat air matanya, saat ditinggalkan Ummi. Sudah cukup aku melihat wajah lelahnya dalam menanggung beban besar yang dia tanggung

Hatiku memang perih tidak bersama Zaid. Namun, tak kalah perihnya, mengingat semua cerita-cerita pedih yang dialami Aisyah.

Bahkan saat mendengar Kyai Ibrahim, melamar Zaid, akalku pun mengakui hanya Zaid yang pantas mendampingi Aisyah. Sudahlah Farah, jangan kita perbesar masalah ini. Aku yakin, Kak Zaid akan bahagia dengan Aisyah. Aisyah gadis cantik, saleha, hafal Qur'an, alim, cerd... .”

"Masalahnya cinta, Silmi! Bukan masalah ketertarikan pada keindahan atau kelebihan yang dimiliki seseorang. Andai keindahan atau kelebihan, yang mendatangkan cinta, kenapa Zaid tidak jatuh cinta saja pada gadis-gadis Yaman, wajah bangsa arab, dengan hidung mancung dan mata yang besar dan bening, yang juga satu almamater dengannya. Masalahnya Zaid begitu mencintaimu, Silmi. Hanya itu, dan aku lihat jelas sekali dalam sorot matanya."

"Farah, apakah kamu sudah bicara pada Zaid masalah ini? Meski atas permintaanku, tetap saja itu atas dasar kesadarannya.

"Aaaarrrgghhh… aku benar-benar tak mengerti jalan pikiran kalian!" Farah mengerang. Ia berdiri, lalu menghadapku.

"Aku tidak akan pernah menerima ini."


***

Seperti yang telah Farah rencanakan, tibalah hari Tanuhi yang ia inginkan. Sebenarnya aku enggan sekali bergabung bersama mereka, tetapi, aku pun tidak menemukan  cara untuk menolaknya. Pagi ini sebuah bunyi mobil masuk kedalam halaman rumahku. Dari bunyi klaksonnya aku tahu itu mereka sudah menjemputku. 

Tak lama aku sudah berada di dalam mobil mereka yang dikemudi oleh Fahri. Om Herman duduk di muka.  Sedangkan di jok tengah, Farah, Tante Kurnia dan aku. Zaid duduk di jok paling belakang. Sepanjang jalan hatiku kembali deg-degan. Aku dan Zaid hanya terhalang sandaran jok yang kududuki. Hatiku benar-benar tak karuan.

Ya Allah inikah yang namanya cinta? Rindu saat berjauhan, namun ketika berdekatan, dalam diri seakan ada badai bergolak. Campuran rasa senang, merutuk, dan kecewa. Aku merasakan keringat dingin sudah membanjiri seluruh tubuh. Bagaimanakah dengan Zaid? Apakah dia merasakan hal yang sama?

 Ingin sekali aku melihatnya. Sekali saja. Hanya  ingin mengetahui bagaimana ekspresinya saat kami bersama seperti ini? Bukankah selama ini dia rindu padaku? 

Astaghfirullah. 

Aku mulai kacau lagi. 

"Silmi,” panggil Tante Kurnia.

"Iya, Tante.”

“Sepertinya kamu sangat pendiam. Padahal kan dulu kamu, ga... ."

"Ah, Mama, itukan dulu, saat Silmi masih kecil, sekarang Silmi sudah jadi gadis. Tentu tak bisa disamakan, sekarang dia telah berubah peri manis," sela Zaid sambil tertawa kecil. Tawa yang terdengar sinis di telinga.

Peri? Apakah ia menyinggung keputusanku. 

Sret. Kembali sembilu mengiris hatiku.

"Kita telah memasuki wilayah pegunungan, jalannya berkelok-kelok seperti ular, dan menanjak. Bahkan menanjak curam."

Tak selesai Fahri memberi aba-aba, tiba-tiba mobil membelok dengan cukup tajam. 

Sepanjang jalan aku tak putus-putus bertakbir, bertasbih. Selain karena jalan yang membuat adrenalin meningkat, juga karena pemandangannya sangat indah. Di desa Batu Bini, aku sangat terkesan dengan kokohnya sebuah gunung. Dilihat dari kejauhan seakan-akan kami berjalan menuju lurus ke arah gunung. 

Kiri kanan terlihat hamparan gunung, sesekali terlihat jurang dan lereng gunung. Berpadu dengan cuaca hari ini yang cerah. Warna kehijauan semakin mengkilau.

 Subhanallah.

Betapa besar keagungan Allah. Sungguh, Allah Maha Pencipta yang karya-Nya tiada tandingannya. Yang bikin selalu hati berdecak kagum dan selalu memuji-Nya.

Masya Allah, sangat fantastik. Aku pun mendengar Zaid sering bertasbih, bertahmid dan bertakbir. 

Farah dan Tante Kurnia terdengar sesekali menjerit, kadang mereka saling berpelukan. Aku jadi tersenyum geli melihat mereka. Andai ada Ibu di sampingku, atau orang yang menyayangiku, mungkin aku juga begitu. 

"Kak Fahri, masih jauhkah?"

”Dalam 10 menit sudah berapa kali Farah menanyakan hal sama. 

“Sudahlah Farah. Diam saja. Jangan ganggu konsentrasi Kak Fahri yang sedang mengemudi,” tegur Zaid.

“Iya, nih anak. Dari tadi bawel aja bawaannya. Sudah segede itu, masih aja manjanya ga ilang-ilang,” gerutu Fahri sambil menggantung senyum. 

Sesaat Fahri melirik kaca spion, menatapku. Aku tidak bisa mengartikannya, namun membuat perasaanku tidak nyaman. 

"Biarin, mumpung Kakak-kakakku belum pada nikah, inilah kesempatanku bermanja-manja,” sungut Farah kesal.

 "Alhamdulillah, sudah sampai," seru Fahri, sambil memasukkan mobil ke dalam area parkiran. 

"Alhamdulillah," sahut kami bersamaan. Farah lebih senang, bagai merpati yang lepas dari kandangnya.

Area taman wisatanya terlihat sepi. Mungkin karena hari ini bukan hari libur. Jadi pengunjungnya sangat sepi. Hanya terlihat sepasang suami istri. Tapi ini malah membuat semakin nyaman.

Begitu menginjakkan kaki, terdengar suasana pegunungan, udaranya sejuk, bunyi-bunyi alam yang bersahutan lembut nan merdu, dan anginnya bersahutan dengan gemericik dedaunan.

Kami harus melewati jembatan, untuk memasuki area taman wisata. Di bawah jembatan, sungai yang jernih mengalir tenang, bunyi aliran sungai dan nyanyian makhluk-makhluk alam bagai instrumen yang membentuk nyanyian indah.

Tante Kurnia dan Om Herman memilih istirahat di atas tikar yang sudah dihampar. Tante Kurnia telah menyiapkan segalanya, ada makanan, kue-kue, minuman, dan sirup sudah tersusun di atas hamparan tikar. 

Sedangkan kami berempat langsung mendekati sebuah kolam air. Ada beberapa kolam di dalam area. Dengan berbeda-beda ukuran. Dua kolam yang cukup besar dan dalam, dua lagi ukuran kecil dan sangat surut.

Farah sedikit menjerit ketika tangan menjulur ke kolam air panas. Aku pun rasa tak sabar, ingin merasakan sensasi air panas. Perlahan kuulurkan tangan ke dalam air panas dan langsung mendapatkan rasa  nyaman. 

Zaid merendam kakinya, sedangkan Fahri sudah berendam, tinggal kepalanya yang saja muncul.

"Kita harus memulai mengadaptasikan tubuh kita dengan perlahan. Sedikit demi sedikit," kata Zaid. 

Aku sensasi hangat menyelimuti tangan dengan napas tertahan. Hanya beberapa saat, aku menarik tanganku. Ternyata ketahanan kulitku di air hangat hanya sebentar. Aku kembali merendam tanganku setelah dirasa mulai dingin.

"Air hangat ini cocok untuk pengobatan berbagai penyakit. Setidaknya untuk merelaksasi kan seluruh otot tubuh. Jadi walau hanya dengan merendam kaki, insya Allah sudah mencukupi. Karena pada telapak kaki kita, terdapat banyak titik syaraf yang menghubungkan ke seluruh bagian tubuh manusia.”

 Aku hanya mengangguk. Mukaku menunduk kebawah, memandangi kakiku yang pakai kaos.

Sayang sekali, aku tak bisa merendam kaki. Tak mungkin kulepas kaos kaki ini, karena Zaid dan Fahri bukan mahramku. Aku tak boleh menampakkan aurat di depan mereka, walaupun mereka sahabatku sejak kecil.

Aku mengedarkan pandangan ke seluruh area. Di sini ada tiga kolam untuk orang dewasa, dan satu kolam untuk anak-anak. Menurut Zaid kolam yang kami datangi inilah yang paling panas. Di sebelahnya ada kolam yang sangat besar, dengan suhunya yang cukup dingin. Jadi cocok untuk berenang. 

Ada lapangan basket, beberapa gazebo, dan paling sisi di area taman ini ada beberapa pondok penginapan yang bernuansa budaya Banjarmasin. Bubungan tinggi. 

"Sepertinya, Kakak pernah ke sini?” tanyaku tanpa berani menatapnya.

"Iya, pernah ke sini sekali, sebelum aku ke Yaman, sayangnya waktu itu kamu tidak ada, padahal aku... ."

Reflek wajahku menoleh karena kalimatnya yang terpotong. Sesaat kami saling bersitatap. Hanya beberapa detik. Namun, tatapannya benar-benar membuat hatiku luruh.

Tatapannya membuat alarm imanku menjerit. Memerintahkanku agar segera menjauh.

"Mau kemana?"

Aku tak mengacuhkannya. Sebenarnya aku pun ingin berlama-lama bersamanya, tetapi kondisi tidaknya memungkinkan. Andai hati-hati kami tidak terkontaminasi, maka kami tetap bisa menikmati persahabatan ini. Bersamanya adalah hal yang menyenangkan dan kurindukan. Itu dulu. Sekarang, hati kami telah tercemar, dan ada sosok Aisyah di antara kami.

"Ngga mandi, Silmi?"

Deg. 

Mengapa Fahri selalu membuat naluri perempuanku jadi selalu siaga?


 Detak Cinta Shafura  Part 25: Tingkah Fahri Farah mengembuskan napasnya dengan keras, seakan-akan telah melepaskan semua beban di hatinya. ...
El Nurien